BAB I
PENDAHULUAN
MAKNA
KARIR, KEMATANGAN KARIR DAN KEPUASAN KARIR
A.
Latar
Belakang
Konsep baru
tentang pendidikan telah digulirkan pada tahu 1970-an sebagai jawaban terhadap
sistem pendidikan baru yang tidak sesuai untuk mempersiapkan anak muda memasuki
pekerjaan. Pada tahun 1971, commissioner
of education, Sidney P. Marland (dalam Umaan Suherman, 2011:19) mengajukan
rencana khusus yang dialamatkan pada perkembangan karir, sikap dan nilai-nilai
pada pembelajaran tradisional. Filosofi pendidikan baru ini – pendidikan karir
– diintegrasikan ke dalam proses pendidikan, dari mulai taman kanak-kanak
sampai masa dewasa. Program pendidikan karir telah diimplementasikan sejak
tahun 1970-an dengan topik utama seperti kesadaran karir, eksplorasi karir, dan
persiapan karir. Dapat dipahami bahwa program pendidikan karir menjadi
perhatian utama pada gerakan bimbingan karir.
Sejalan dengan
perkembangan pendidikan karir yang semakin marak dan dibutuhkan oleh setiap
orang, maka sudah sepantasnya setiap tenaga professional yang berkecimpung
dalam dunia pendidikan terutama bimbingan dan konseling memahami akan
pentingnya penguasaan materi tentang pendidikan karir. Potret di lapangan saat
ini, terutama di lingkungan sekolah banyak sekali siswa yang kurang memahami
akan pentingnya pendidikan karir sehingga belum mampu menentukan pilihan karir
mereka. Oleh karena itu, perlu kiranya diberikan berbagai pandangan tentang
makna karir, kematangan karir, dan kepuasan karir oleh tenaga bimbingan
konseling tersebut.
Berlandaskan
pada pemikiran di atas perlu kiranya untuk dikaji dan dipahami secara mendalam mengenai
pentingnya pendidikan karir sebagai bekal bagi setiap tenaga professional agar dapat
diaplikasikan dalam dunia pendidikan. Oleh karena itu, pada makalah ini penulis
akan mejelaskan mengengai “Makna Karir, Kematangan Karir dan Kepuasan Karir”.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah dalam
makalah ini adalah:
1.
Bagaimana pandangan tentang makna karir?
2.
Bagaimana pandangan tentang kematangan
karir?
3.
Bagaimana pandangan tentang kepuasan karir?
C.
Tujuan
Adapun tujuan dalam makalah ini
adalah untuk mengetahui:
1.
Pandangan tentang makna karir
2.
Pandangan tentang kematangan karir
3.
Pandangan tentang kepuasan karir
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Makna
Karir
Banyak
istilah yang memiliki kesamaan makna dengan karir, misalnya task, position, job, occupation, vocation, dan avocation. Sejatinya, karir memiliki
spektrum makna yang lebih luas dan dalam dibandingkan istilah sejenis. Karir
mengandung makna urutan okupasi, job dan posisi-posisi yang diduduki sepanjang
pengalaman kerja seseorang (Tolbert dalam Mamat Supriatna, 2009:8).
Kata
karir identik dengan bekerja atau pekerjaan. Winkel (Uman Suherman, 2011:30) mengemukakan
bahwa:
Kata
employment dan job lebih mengarah kepada seseorang yang sibuk mengerjakan sesuatu
dengan mendapat imbalan ekonomis atau usaha dan waktu yang dicurhkan, tanpa
merasa terlibat di dalam pekerjaannya atau memandangnya sebagai sumber kepuasan
pribadi yang bersifat non-ekonomis. Kata occupation
lebih kepada seseorang yang merasa terlibat dalam memperoleh kepuasan di dalam
pekerjaannya karena ada persiapan untuk memegang, namun keterlibatannya
dibatasi pada jam-jam bekerja. Selanjutnya job
juga merujuk pada pekerjaan yang tidak berkelanjutan atau bersifat temporer.
Job hanya menuntut kemampuan minim, pendidikan seadanya, dan dedikasi yang
sedikit. Lain dengan karir yang memerlukan sejumlah pelatihan, pendidikan dan
komitmen pada kehidupan kerja yang dipilih oleh individu. Karir juga merupakan
kesuksesan pada apa yang dipilih oleh individu untuk dilakukan dengan disertai
keuntungan financial dan kebermaknaan personal.
3
|
Berkaitan
dengan pernyataan-pernyataan tersebut tersebut, Crites (Uman Suherman, 2011:31)
mengemukakan bahwa:
First,
the term “career” is contemporary. It has increasingly supplanted “covational”
t designate and encompass the developmental nature of decision making as a
lifelong process.
Second, “career” is
generally more inclusive than “vocational has not only special connotations
(such as vocational-technical education), but also historical meanings thal are
sometimes confused with choice as a “calling”.
Ahli
yang pertama kali memperkenalkan pentingnya karir bagi seorang manusia adalah
Parson (dalam Winkel dan Sri Hastuti, 2006). Ia mengatakan bahwa ada tiga
proses yang harus dilalui seseorang untuk memilih karir yang sesuai dengan
dirinya. Pertama, pemahaman diri yang jelas, mengenai kemampuan yang dimiliki,
bakat, minat, berbagai kelebihan dan kelemahan, serta ciri lainnya. Kedua,
pengetahuan tentang keseluruhan persyaratan yang harus dipenuhi agar dapat
sukses dalam berbagai bidang pekerjaan, untung dan rugi, kompenasi yang
diperoleh serta peluang yang ada dalam pekerjaan tersebut. Proses terakhir
adalah rasionalisasi mengenai hubungan antara kedua kelompok fakta tersebut.
Pada proses terakhir ini, individu akan menyelaraskan pengetahuan tentang
dirinya dengan pengetahuan tentang bidang-bidang pekerjaan untuk kemudian
menentukan pilihan dan aspirasi karirnya.
Menurut
Murray (dalam Mamat Supriatna, 2009:8) “karir dapat dikatakan sebagai suatu
rentangan aktivitas pekerjaan yang saling berhubungan, dalam hal ini seseorang
memajukan kehidupannya dengan melibatkan berbagai perilaku, kemampuan, sikap,
kebutuhan, aspirasi, dan cita-cita sebagai satu rentang hidupnya sendiri”. Definisi
ini memandang karir sebagai rentangan aktivitas pekerjaan yang diakibatkan oleh
adanya kekuatan inner person pada
diri manusia. Perilaku yang tampak karena adanya kekuatan motivatif, kemampuan,
sikap, kebutuhan, aspirasi dan cita-cita sebagai modal dasar bagi karir
individu. Itulah yang oleh Healy (dalam Mamat Supriatna, 2009:9) disebut
sebagai kekuatan karir (power of career).
Kekuatan karir ini akan tampak dalam penguasaan sejumlah kompetensi (fisik,
sosial, intelektual, spiritual) yang mendukung kesuksesan individu dalam
karirnya.
Sukses
karir dapat dicapai melalui pendidikan, hobi, profesi, sosial-pribadi, dan
religi. Mamat Supriatna (2009:9) memberikan cakupan karir pada seluruh aspek
kehidupan individu. Aspek tersebut meliputi:
a. Peran-peran
hidup (life-roles), seperti sebagai
pekerja, anggota keluarga dan warga masyrakat.
b. Adegan-adegan
kehidupan (life-setting), seperti
dalam keluarga, lembaga masyarakat, sekolah, atau pekerjaan.
c. Peristiwa
kehidupan (life-events), seperti
dalam memasuki pekerjaan, perkawinan, pindah tugas, kehilangan pekerjaan, atau
mengundurkan diri dari suatu pekerjaan.
Super (dalam Mamat Supriatna, 2009:18) “memberikan
empat makna terhadap karir”. Makna tersebut adalah sebgai berikut:
a. Jalannya
peristiwa-peristiwa kehidupan
b. Sekuensi
okupsi-okupsi dan peranan-peranan kehidupan lainnya yang keseluruhannya
menyatakan tanggung jawab seseorang kepada pekerjaan dalam keseluruhan pola
perkembangan dirinya
c. Serangkaian
posisi yang diberi upah maupun tidak, yang diduduki seseorang dari sejak remaja
samapi pension
d. Mencakup
perananan-peranan yang berkaitan dengan pekerjaan, seperti pelajar, karyawan,
pensiunan, serta bersama-sama dengan peranan-peranan pelengkap seperti
kesenangan, yang berkaitan dengan keluarga, dan kewarganegaraan.
Berdasarkan berbagai pendapat
diatas, Mamat Supriatna (2009:10) memberikan kesimpulan yang signifikan terhadap
pengertian karir, yaitu “perwujudan diri yang bermakna melalui serangkaian
aktivitas dan mencakup seluruh aspek kehidupan yang berwujud karena adanya kekuatan
inner person. Perwujudan diri akan
bermakna manakala ada kepuasan/kebahagiaan diri dan lingkungan”.
B.
Kematangan Karir
Setiap
manusia yang hidup pasti memiliki rentang hidup, baik dalam aspek apapun termasuk
tentang kematangan karir. Dalam teori rentang hidup dari Super terdapat suatu
konsep yang disebut dengan kematangan karir (career maturity). Kematangan karir (career maturity) merupakan tema penting dan sentral dalam teori
perkembangan karir masa hidup (life span
career development) yang dicetuskan oleh Super. Super memperkenalkan dan
mempopulerkan konsep tentang kematangan karir setelah penelitiannya tentang
pola karir di tahun 1950-an.
Kematangan
karir (career maturity) didefinisikan
sebagai kesesuaian antara perilaku karir individu dengan perilaku karir yang
diharapkan pada usia tertentu disetiap tahap. Crites dalam Herr dan Cramer
(1979: 174) berpendapat bahwa “… the
maturity of an individual’s vocational behavior as indicated by the similarity
between his behavioral and that of the oldest individual’s in his vocational
stages”. Definisi ini lebih menekankan pada kematangan karir sebagai tahap
hidup (life-stages). Sementara itu,
menurut Super dalam Sharf (1992: 155) menyatakan bahwa kematangan karir
didefinisikan sebagai “… the readiness to
make appropriate career decisions….”readiness
to make good choice atau kesiapan individu untuk membuat pilihan karir yang
tepat. Definisi kedua ini lebih menekankan pada kesiapan untuk membuat pilihan
dan keputusan karir secara tepat. Diharapkan tidak salah pilih dan terjebak
dalam pilihan karir yang salah dimasa depan.
Levinson,
Ohler, Caswell dan Kiewra (1998) mendefinisikan kematangan karir sebagai
kemampuan individu dalam membuat suatu pilihan karir yang stabil dan realistic
dan stabil dengan menyadari akan apa yang dibutuhkan dalam membuat suatu
perkiraan keputusan karir. Ditambahkan oleh Crites (1961, dalam Arredondo,
1976) bahwa kematangan karir adalah suatu derajat dan tingkat perkembangan
karir. Derajat perkembangan karir mengacu pada kematangan perilaku kerja
individu sebagai petunjuk kesamaan antar perilaku dan tahap perkembangannya.
Sedangkan tingkat perkembangan kerja mengacu pada kematangan perilaku individu
yang dibandingkan dengan kelompok usianya. Kematangan karir menurut Savickas
(1999, dalam Creed dan Patton, 2002) adalah kesiapan individu dalam membuat
informasi, keputusan karir sesuai dengan usia dan menyelesaikan tugas-tugas
perkembangan terkait dengan karir.
Konteks
dasar dari teori kematangan karir ini adalah perkembangan karir yang dikemukakan
oleh Super. Hal ini dijadikan rujukan inti, mengingat teori perkembangan karir
Super dapat memberikan implikasi terhadap banyak ahli untuk mendalami lebih
jauh serta mengaplikasikannya pada konsep kematangan karir. Super dalam Sharf,
(1992: 121-122) menjelaskan teorinya kedalam beberapa bagian yang merupakan
hasil kerja beberapa ahli antara lain Thorndike, Hull, Bandura, Freud, Jung,
Adler, Rnk, Murray, Maslow, Allport, Rogers dan lain-lain. Berdasarkan analisa
yang dilakukannya, Super membangun asumsi-asumsi bagi teori perkembangan karir
yang dikembangkannya.
Terdapat
asumsi yang paling mendasari teori perkembangan karir Super yaitu dimensi
psikologis dan dimensi geografis. Kedua dimensi tersebut menurut Super dapat
memberikan dampak terhadap aspek-aspek yang ada dalam perkembangan karir
individu. Dimensi psikologis terdiri dari kebutuhan-kebutuhan, nilai-nilai,
minat, intelegensi, kemampuan khusus (bakat). Sedangkan dimensi lingkungan
sosial-ekonomi seperti halnya : keluarga, sekolah, kelompok teman sebaya,
masyarakat luas serta keadaan ekonomi serta tingkatan kondisi masyarakat dalam
tatanan karir dilingkungan yang lebih luas.
Karir
dan pekerjaan biasanya oleh kebanyakan orang disamakan pengertiannya, yaitu
sama-sama bekarja untuk memperoleh penghasilan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Perbadaan antara pekerjaan dan karir dilihat apabila pekerjaan
umumnya hanya menuntut sedikit keahlian, sedikit pendidikan, dan sedikit
dedikasi. Sedangkan pekerjaan sebagai karir berupa adanya pendidikan dan latihan,
komitmen, dan merupakan jalan kehidupan kerja yang dipilih individu. Selain itu
karir mengimplikasikan keberhasilan pada apa yang individu pilih untuk hidupnya
demi memenuhi kebutuhan finansial. Seperti yang dikemukakan oleh Zunker dalam
Winkel dan Sri Hastuti, (2006: 571) bahwa “career
refer to the activities associated with and individual’s lifetime of work”.
Selanjutnya, Crites (1981: 11) menyatakan bahwa “..the term “career” is contemporary – the developmental nature of
decision making as a long life process…”.
Senada
dengan dua pendapat tersebut, Super dalam Herr dan Crammer, (1984: 14)
mengungkapkan bahwa:
Career defined as the course of
events which constitutes a life; the sequence of occupation and other life
roles which combine the express one’s commitment to work in his or her total
pattern of self-development; the series of remunerated and nonremunerated
positions occupied by a person form adolescence is only one; includes
work-realted roles such as those of student, employee, and pensioner together
with complementary a vocational, familial, and civic roles. Careers exist only
as people pursue them; they are person-centered. It as last notion of careers,
“they exist only as people pursue them, “which summarizes much of the rationale
for career guidance.
Ahli-ahli
perkembangan karir mengungkapkan bahwa karir menggambarkan seseorang yang
memandang pekerjaannya sebagai panggilan hidup yang meresap keseluruhan alam
pikirannya dan perasaan sekaligus mewarnai seluruh gaya hidup (life styles) kehidupannya, karir lebih
dari sekedar pekarjaan, karir berhubungan dengan bagaimana individu melihat
dirinya, karir merupakan perkembangan individu (self-development) dalam rentang kehidupan yang meliputi peran-peran
hidup, setting-setting dan peristiwa-peristiwa kehidupan seseorang (Herr dan
Crammer, 1984: 14). Secara umum perspektif karir tersebut dapat dikategorikan
kedalam dua bagian, yaitu karir yang identik dengan pekerjaan dan karir dalam
konteks life span.
Pertama,
karir yang identik dengan pekerjaan mengisyaratkan bahwa sesuatu dikatakan
karir jika memenuhi kriteria-kriteria berikut: (a) keterlibatan dalam individu
dalam menjalankan pekerjaannya; (b) pandangan individu yang melihat pekerjaan
sebagai sumber kepuasan yang bersifat non-ekonomis; (c) persiapan pendidikan
atau pelatihan dalam memperoleh dan menjalankan pekerjaan; (d) komitmen untuk
menjalankan pekerjaan; (e) dedikasi yang tinggi terhadap apa yang dikerjakan;
(f) keuntungan finansial; dan (g) kesejahteraan personal yang membawa
kebermaknaan hidup.
Kedua, dalam konteks life span, karir dimaknai sebagai
perjalanan hidup individu yang bermakna. Kebermaknaan yang dimaksudkan
diperoleh individu melalui integrasi peran, setting dan peristiwa yang
melibatkan pengambilan keputusan-keputusan, komitmen, gaya hidup, dedikasi, dan
persiapan-persiapan untuk menjalani dan mengakhiri kehidupannya. Karir dalam
pengartian ini lebih dari sekedar mengerjakan sesuatu atau bekerja disuatu
tempat, tetapi karir merupakan manifestasi dari hidup dan kehidupan individu itu
sendiri.
C.
Kepuasan Karir
Suatu pepatah
lama mengatakan, "Seorang pekerja yang bahagia adalah pekerja yang
produktif", hal
ini diresapi para pemikir Amerika tentang bagaimana membangun dan
mempertahankan produktivitas yang tinggi dalam organisasi. Pernyataan ini
secara meluas dipercaya di kalangan pengembang karir bahwa orang-orang yang
mengalami kepuasan dalam kehidupan kerja mereka juga mencapai lebih banyak,
baik secara psikologis dan kesehatan fisik, dan bahkan mengalami kepuasan yang
lebih besar dalam peran mereka pada sisi lain dari kehidupan. Jadi, tidak
mengherankan bahwa kepuasan kerja merupakan topik yang paling banyak diteliti
dalam penelitian perilaku organisasi (Spector, 1997).
Karena peningkatan dalam kepuasan kerja merupakan salah
satu hasil yang potensial dari konseling karir, maka konseling karir secara
profesional memerlukan pengetahuan tentang teori dan riset empiris yang dapat
membentuk pemahaman tentang gagasan kepuasan kerja.
1.
Pengertian dan penelitian tentang
kepuasan kerja
Kepuasan kerja umumnya
didefinisikan sebagai variabel afektif yang dihasilkan dari penilaian terhadap
pengalaman kerja individu. Menurut
Marihot Tua Efendi Hariadja (2002:290) mengemukakan bahwa: "Kepuasan Kerja
merupakan sejauhmana individu merasakan secara positif atau negatif berbagai
macam faktor atau dimensi dari tugas-tugas dalam pekerjaannya". Kemudian
Robbins dalam Wibowo (2007:299) mengemukakan bahwa "Kepuasan kerja adalah
sikap umum terhadap pekerjaan seseorang, yang menunjukan perbedaan antara jumlah
penghargaan yang diterima pekerja dan jumlah yang mereka yakini seharusnya
mereka terima". Menurut Keith Davis dalam Anwar Prabu (2001:117)
mengemukakan bahwa "Kepuasan Kerja adalah suatu perasaan yang menyokong
atau tidak menyokong diri pegawai yang berhubungan dengan pekerjaannya maupun
dengan kondisi dirinya".
Locke (1976) mendefinisikan
kepuasan kerja sebagai "sesuatu yang menyenangkan atau keadaan emosi
positif yang dihasilkan dari penilaian salah satu pekerjaan atau pengalaman
kerja "(hal. 1300). Cranny, Smith, dan
Stone (1992) memandang hal ini sebagai "suatu perasaan (maksudnya secara
emosional) reaksi terhadap pekerjaan, sebagai suatu hasil yang dibandingkan
dari kewajiban sebagai hasil akhir yang aktual dengan sesuatu yang dikehendaki
orang-orang. Teori dan Penelitian tentang Kepuasan Kerja (yang
diharapkan, yang sepatutnya didapatkan, dan seterusnya). Dalam istilah yang
sederhana, kepuasan kerja adalah "sejauh mana orang menyukai pekerjaan
mereka "(Spector, 2000, hal 197). Brief (1998) berpendapat bahwa definisi
yang secara umum dapat diterima, menekankan pengaruh kepuasan kerja tetapi
gagal mempertimbangkan bahwa sikap juga memiliki komponen kognitif. Dengan kata
lain, sikap kerja terdiri dari perasaan dan pikiran tentang pekerjaan.
Bahkan meskipun sebagian besar definisi
tentang kepuasan kerja lebih menekankan aspek afektif, namun sebagian besar
pengukuran tentang kepuasan kerja cenderung lebih menekankan komponen kognitif,
daripada afektif (Fisher, 2000; Organ & Near, 1985). Biasanya, langkah-langkah
pengukuran dilakukan dengan meminta orang untuk menilai seberapa puas mereka
dengan membandingkan pengalaman kerja mereka dalam berbagai standar, seperti
apa yang sebelumnya mereka harapkan atau referensi dari kelompok pekerja yang
lain. Survei menunjukkan bahwa orang pada umumnya menyukai pekerjaan mereka. A
2003 Gallup Poll menemukan bahwa mayoritas orang Amerika pada umumnya puas
dengan pekerjaan mereka dan dengan sebagian besar aspek dari pekerjaan mereka.
Temuan ini konsisten dengan temuan-temuan Gallup Poll sebelumnya seperti jajak
pendapat pada tahun 1999 melaporkan bahwa 90% dari pekerja di Amerika umumnya
puas dengan pekerjaannya dan data tahun 2001 melaporkan bahwa sepertiga dari
pekerja di Amerika "mencintai" pekerjaan mereka.
Meskipun kepuasan kerja cenderung tinggi
secara menyeluruh, beberapa orang menunjukkan kecenderungan lebih puas daripada
yang lain. Sebagai contoh, kepuasan kerja cenderung meningkat sejalan dengan
usia (Brush, Moch, & Pooyan, 1987; Siu, Spector, Cooper, & Donald, 2001)
atau distribusi dari pekerja yang baru masuk ke dunia kerja dan pekerja yang
lebih lama, lebih memiliki kepuasan pekerjaan tertinggi (Hochwarter, Ferris,
Perrewe, Witt, & Kiewitz, 2001). Siu et al. menyatakan bahwa pekerja yang
lebih tua lebih puas karena mereka cenderung sudah memiliki kemampuan dan
kesejahteraan lebih baik daripada pekerja muda. Belum ditemukan secara jelas
dalam penelitian, apakah ada perbedaan ras dan seks dalam kepuasan kerja. Di
satu sisi, penelitian telah menemukan bahwa pria dan wanita, sama-sama merasa
puas dengan pekerjaan mereka (Brush et al., 1987; Witt & Nye, 1992). Brush
et al. tidak menemukan bukti adanya perbedaan rasial dalam kepuasan kerja.
Di sisi lain, Greenhaus, Parasuraman, dan
Wormley (1990); Tuch dan Martin (1991) menemukan bahwa orang kulit hitam secara
umum kurang puas dibandingkan keturunan kulit putih. Kedua studi tersebut
menunjukkan bahwa kepuasan kerja yang lebih rendah, dikarenakan pada umumnya
orang kulit Hitam menerima pekerjaan yang kurang memuaskan (yaitu, bayaran yang
lebih rendah, pekerjaan yang kurang stabil) dibandingkan keturunan kulit putih.
Menurut
Marihot Tua Efendi (2002:291) faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja
karyawan yaitu :
a.
Gaji yaitu jumlah
bayaran yang diterima seseorang sebagai akibat dari pelaksanaan
kerja.
b.
Pekerjaan itu
sendiri yaitu isi pekerjaan yang dilakukan seseorang.
c.
Rekan Sekerja
yaitu teman-teman yang senantiasa berinteraksi dalam pelaksanaan pekerjaaan.
d.
Promosi yaitu
kemungkinan seseorang dapat berkembang melalui kenaikan jabatan.
e.
Atasan yaitu
seseorang yang senantiasa memberi perintah atau
petunjuk dalam pelaksanaan kerja.
2.
Korelasi dari kepuasan kerja
Tidak hanya supaya memiliki kepuasan kerja sebagai
sesuatu hal yang penting dari dalam diri sampai saat akhir, tetapi orang-orang yang puas dengan pekerjaan mereka
cenderung mengalami perilaku positif lainnya, secara afektif, dan secara fisik
juga sehat. Bagian ini melaporkan
penelitian yang menghubungkan Teori dan Penelitian tentang Kepuasan Kerja : jenis
kepuasan kerja yang dinyatakan pada penampilan kerja, perilaku kerja tidak
produktif, withdrawal/penarikan perilaku, kepuasan hidup, dan kesehatan.
a. Kinerja
(Penampilan kerja)
Mereka yang puas di tempat kerja pasti akan lebih
produktif. Ada hubungan positif antara kinerja dengan kepuasan kerja, namun
kurang jelas apakah besarnya hubungannya kecil atau sedang. Di lain pihak,
studi individu dengan variabilitas besar dalam besarnya koefisien korelasi
telah ditemukan. Dalam hal ini, peneliti biasanya mencari variabel penting yang
mempengaruhi besarnya korelasi atau untuk masalah metodologis dengan studi
tertentu.
Beberapa ahli berpendapat bahwa hubungan mungkin
terbalik, yaitu kinerja yang baik menyebabkan kepuasan yang tinggi. Bila
kinerja tinggi dan mengarah kepada penghargaan yang dihargai, seperti perasaan
keberhasilan, promosi dan prestasi, cenderung menimbulkan sikap kerja yang
positif. Bahkan korelasi kuat telah ditemukan antara kepuasan dan kinerja
karyawan. Kepuasan kerja adalah hasil dari kinerja yang baik.
Pendekatan lain untuk memahami hubungan kepuasan
kerja-kinerja adalah untuk memeriksa aspek tertentu dari kinerja pekerjaan
daripada menganggap bahwa sikap harus berhubuangan dengan kinerja secara
keseluruhan. Kinerja pekerjaan multidimensi dan dua dimensi kinerja utama
adalah tugas dan kinerja konteksual. Tugas kinerja utama adalah tugas kinerja
kontekstual. Tugas kinerja termasuk perilaku yang membentuk intik teknis dari
pekerjaan (seperti mengajar dan melakukan penelitian bagi para dosen dir
universitas). Sedangkan perilaku yang mendukung kinerja kontekstual meliputi
inti teknis melalui perbaikan lingkungan organisasi, sosial dan psikologis di
mana kinerje tugas terjadi (misalnya membantu untuk melatih rekan kerja baru).
Kepuasan kerja telah terbukti berhubungan positif terhadap kinerja kontekstual
atau perilaku extrarole. Organ (1998) berargumen bahwa orang yang menawarkan
extrarole selama mereka mempertahankan hubungan jangka panjang kepercayaan
dengan organisasi, namun ketika kepercayaan dilanggar dan pekerja menjadi tidak
puas, maka mereka akan menghentikan extrarole tersebut.
Brief dan rekan (1992) mengargumentasikan “perasaan
yang baik-berbuat baik”, yang merupakan penjelasan untuk hubungan antara
kepuasan kerja dan perilaku peran. Mereka berpendapat bahwa tambahan extrarole
ditentukan oleh perasaan yang positif di tempat kerja. Dalam sebuah percobaan
lapangan, Brief menunjukkan bahwa perasaan positif dapat mempengaruhi kepuasan
kerja. Temuan mereka menunjukkan bahwa “...perasaan positif yang lebih banyak
menginduksi kejadi di tempat kerja dapat membuat perubahan yang bertahan dalam
kepuasan kerja, dan dengan demikian pada umumnya lebih tinggi tingkat perilaku
prososial dalam organisasi.
b. Perilaku
yang tidak produktif
Ketidakpuasan
kerja dikaitkan dengan perilaku kerja yang kontraproduktif. Perilaku
kontraproduktif adalah perilaku yang merusak organisasi, seperti sabotase,
pencurian dan tindakan agresi terhadap rekan kerja. Ketika orang-orang tidak
puas dengan pekerjaan mereka, mereka menjadi frustasi dan menyampaikan rasa
frustasi mereka dengan bertindak keluar dari tempat kerja dan sebelumnya
terindikasi melalui gejala fisik.
c. Perilaku
menarik diri
Mereka yang
tidak puas dengan pekerjaan mereka, cenderung lebih sering kehilangan pekerjaan
daripada mereka yang puas dengan pekerjaannya. Namun meta-analisis menemukan
bahwa korelasi berarti antara kepuasan kerja dan ketdakhadiran berada pada
taraf yang lemah. Sehingga dapat dijelaskan bahwa hubungan antara
ketidakhadiran dan kepuasan kerja bisa tidak linier. Dengan demikian, korelasi
yang rendah akan dilaporkan, karena antara data dan cara data dianalisis tidak
sesuai. Kemungkinan lain adalah bahwa distribusi absen mungkin sangat miring.
Dengan kata lain, kebanyakan orang jarang absen. Ini merupakan pelanggaran
terhadap asumsi normalitas yang akan melemahkan koefisien korelasi.
Hacket dan Guion
(1985) berpendapat bahwa nilai-nilai pribadi yang mungkin untuk menjelaskan
variasi dalam perilaku tidak lebih daripada sikap kerja, karena nilai-nilai
yang lebih sentral dengan kepribadian kita sebagai pilihan langsung perilaku
kita. Dengan demikian, orang dengan tingkat kepuasan kerja yang sama dapat
berperilaku berbeda ketika menghadapi situasi di mana nilai-nilai dalam bekerja
dan konflik yang tidak bekerja.
d. Kepuasan
hidup
Di atas telah membahas hubungan antara sikap kerja dan perilaku kerja.
Pada bagian ini berfokus pada hubungan antara sikap kerja dan sikap-sikap
lainnya. Secara khusus, berfokus pada bagaimana kepuasan kerja berhubungan
dengan kepuasan hidup, pada umumnya. Banyak studi telah meneliti hubungan ini
(misalnya, Heller, Hakim, & Watson, 2002; Iverson & Maguire, 2000;
Hakim & Watanabe, 1993; Rain, Lane, & Steiner, 1991).
Tiga hipotesis utama telah ditawarkan: spillover
(penyebaran), upah/kompensasi, dan segmentasi hipotesis/pembagian hipotesis
(Rain et al., 1991).Tiga hipotesis utama: kelebihan,
kompensasi, dan hipotesis segementasi. (1) Hipotesis kelebihan menunjukkan
bahwa perasaan di satu bidang kehidupan mempengaruhi perasaan di daerah lain
pada kehidupan seseorang. Dengan kata lain, pekerjaan dan kepuasan hidup harus
berkorelasi positif. (2) Hipotesis kompensasi mengusulkan bahwa orang cenderung
untuk mengkompensasi ketidakpuasan dalam satu bidang kehidupan mereka dengan
kepuasan di tempat lain (misalnya, orang-orang dalam situasi pekerjaan tidak
memuaskan akan mencari kepuasan dan kesenangan dalam kehidupan keluarga atau
pribadi mereka). Artinya adalah, bahwa kehidupan dan kepuasan kerja diharapkan
akan berkorelasi negatif. Sedangkan (3) hipotesis segmentasi berpendapat bahwa
orang-orang akan memilah-milah kehidupan mereka dan tidak memungkinkan untuk
bekerja, dan kemudian mencari kepuasan di luar bidang pekerjaan untuk
mempengaruhi orang lain. Dengan demikian pekerjaan dan kepuasan hidup mungkin
tidak terkait.
Penyebaran hipotesis menunjukkan bahwa perasaan dalam
satu bidang kehidupan dapat mempengaruhi perasaan di bidang lain dalam
kehidupan seseorang. Dengan kata lain, pekerjaan dan kepuasan hidup harus
berkorelasi positif. Hipotesis kompensasi mengusulkan bahwa orang cenderung
untuk mengkompensasi ketidakpuasan dalam satu bidang kehidupan mereka dengan
kepuasan yang lain (misalnya, orang-orang dalam situasi pekerjaan tidak
memuaskan akan mencari lebih banyak kepuasan dan kesenangan hidup di rumah
mereka). Begitulah, hidup dan kepuasan kerja diharapkan berkorelasi secara
negatif. Segmentasi hipotesis yang berpendapat bahwa orang menggolongkan hidup mereka dan tidak membiarkan kepuasan
kerja dan nonpekerjaan dapat mempengaruhi satu sama lain. Dengan demikian,
pekerjaan dan kepuasan hidup mungkin tidak berhubungan.
Kebanyakan penelitian telah menemukan hubungan positif
antara pekerjaan dan kepuasan hidup, secara empiris mendukung hipotesis
spillover (Rain et al., 1991). Dalam studi longitudinal, Judge dan Watanabe (1993)
menyelidiki sebab langsung dari hubungan ini dan menemukan bahwa pekerjaan dan
kepuasan hidup berkorelasi secara timbal balik. Hubungan antara pekerjaan dan
kepuasan hidup kemungkinan disebabkan, sebagian, secara umum kecenderungan
watak untuk mengalami suasana hati positif (biasanya disebut berpengaruh
positif) atau negatif terhadap suasana hati (berdampak negatif).
Watson dan Slack (1993) berpendapat bahwa kecenderungan
afektif mempengaruhi kepuasan kerja, yang dapat menyebabkan kepuasan hidup.
Lalu, kepuasan hidup yang lebih baik mengarah pada penyesuaian yang lebih baik
(misalnya, mempengaruhi lebih tinggi secara positif dan lebih rendah secara negatif). Sebuah studi
longitudinal (Heller et al., 2002) menemukan bahwa kepribadian tidak
menjelaskan beberapa variance (perbedaan pendapat/ pertentangan) dalam
hubungan.
e. Kesehatan
Sebagian besar
anteseden dan konsekuensi dari stres kerja meliputi ketidakpuasan kerja,
sebagai contohnya; konsekuensi jangka pendek akibat mengalami stres di tempat
kerja. Konsekuensi negatif jangka pendek, seperti ketidakpuasan kerja sehingga
menyebabkan masalah fisik dan psikologis jangka panjang.
Ada juga istilah
burnout (penghilangan). Burnout didefinisikan sebagai “...sindrom psikologis
dalam menanggapi stressor interpersonal kronis pada pekerjaan. Tiga dimensi
utama dalam burnout adalah kelelahan luar biasa, perasaan sinis dan datasemen
dari pekerjaan, dan rasa ketidakefektifan dan kurangnya prestasi”. Burnout
berkorelasi negatif dengan kepuasan kerja, komitmen kerja dan komitmen
organisasi. Mereka yang mengalami kelelahan dan juga mengalami “ketidakcocokan
yang kronis” dengan lingkungan kerja mereka dalam hal beban kerja (misalnya,
bila permintaan melebihi kapasitas individu), kontrol (misalnya, ketika
tanggung jawab melampaui wewenang individu), penghargaan (misalnya, dukungan
sosial), keadilan (misalnya, kurangnya keadilan dalam menyuarakan suara hati),
atau nilai-nilai (misalnya, nilai-nilai organisasi yang bertentangan dengan
satu sama lain atau dengan nilai-nilai pribadi individu). Burnout diasumsikan
mengakibatkan hasil negatif seperti ketidakpuasan kerja dan kinerja pekerjaan
yang buruk.
Kesehatan
psikologi dan kesehatan fisik sering dihubungkan dengan kepuasan kerja.
Kirkcaldy (2002) menemukan bahwa kepuasan kerja yang lebih rendah dan kesehatan
yang buruk dikaitkan dengan mereka yang memiliki lokus kontrol eksternal
(yaitu, keyakinan bahwa peristiwa kehidupan adalah karena kekuatan di luar
kendali individu) dan kepribadi tipe A (yakni, sangat kompetitif, tidak sabar
dan mudah gelisah) dibandingkan dengan mereka yang memiliki lokus kontrol
internal (yaitu, keyakinan bahwa peristiwa kehidupan dalam kendali individu)
dan kepribadian tipe B (yakni, yang memiliki kepribadian yang lebih santai,
daripada kepribadian tipe A).
Komitmen
organisasi dapat menjadi penyangga seseorang dari pengaruh stres kerja terhadap
kepuasan kerja. Seseorang yang memiliki komitmen tinggi pada organisasi, peduli
tentang nasib organisasi mereka, bersedia untuk pergi dan keluar demi
organisasi dan merasakan rasa ketertariakn pada organisasi. Komitmen mungkin
menjadi penyangga terhadap stres, karena membantu orang melampirkan arti bagi
pekerjaan mereka dan menghibungkan orang lebih dekat dengan jaringan sosial
mereka di tempat kerja.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Ada
beberapa simpulan yang dapat diambil dalam pembahasan makalah, yaitu sebagai
berikut:
1. Karir
bermakna sebagai perwujudan diri yang bermakna melalui serangkaian aktivitas
dan mencakup seluruh aspek kehidupan yang berwujud karena adanya kekuatan inner person. Perwujudan diri akan
bermakna manakala ada kepuasan/kebahagiaan diri dan lingkungan.
2. Kematangan
karir (career maturity) didefinisikan
sebagai kesesuaian antara perilaku karir individu dengan perilaku karir yang
diharapkan pada usia tertentu disetiap tahap.
3.
Kepuasan karir bermakna sejauh mana
setiap orang menyukai dan menikmati apa yang dikerjakannya dan memahami secara
positif apa yang dikerjakannya.
B.
Saran
Karir
adalah bagian terpenting dalam kehidupan setiap orang, sehingga menjadi suatu
kebutuhan primer akan pengetahuan mengenai hal tersebut. Oleh karena itu, pada
setiap jenjang pendidikan seharusnya memberikan pendidikan karir bagi setiap peserta
didiknya sehingga mereka memahami serta dapat merencanakan karir dengan sebaik-baiknya.
Dengan pendidikan karir yang baik, maka setiap orang akan mengtahui makna karir
dan dapat mengalami kematangan dalam karirnya serta kepuasan karir dalam
hidupnya akan terpenuhi.
DAFTAR PUSTAKA
Crites, John O. (1981). Career Counseling; Models, Methods and Materials. New
York: McGraw-Hill Book Com
Eka Rachmawati,
Yunia. 2012. Hubungan antara Self
Efficacy dengan Kematangan Karir pada Mahasiswa Tingkat Awal dan Tingkat Akhir
di Universitas Surabaya. Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas
Surabaya. Vol. 1 No. 1 (2012).
Herr, E.L., Crammer, S.H. 1979. Career Guidance and Counseling Throught the
Life Span. Toronto: Little, Brown & Company
Kerrie
G. Wilkins and Terence
J. G. Tracey. 2014. Person
Environment Fit and Vocational Outcome. Journal
Psycho-social
Career Meta-capacities. Pp.
123-138
Lia Gao.
2014. Transactional Leadership and
Employee Creativity: The mediation role of Career Satisfaction. Journal Civil Aviation
Med. Center, CAAC, Beijing, China.
Mamat
Supriatna. 2009. Layanan Bimbingan Karir
di Sekolah Menengah. Bandung: UPI.
Muro, J. J, Kottman, T. 1997. Guidance and Counseling In The Elementary
and MiddleSchools: A Practical Approach. Lowa: Wm. C. Brown Communication,
inc.
Sharf, R. S. 1992. Applying Career Development Theory to
Counseling. California: Brook/Cole Publisher Company
Steven
D. Brown and Robert W. Lent. 2005. Career
Development and Counseling: Putting Theory and Research to Work. John Wiley
and Sons, Inc.
Suherman, Uman.
2011. Konseling Karir Sepanjang Rentang
Kehidupan. Bandung: Alumni
Winkel
& Sri Hastuti. 2006. Bimbingan dan
Konseling di Institusi Pendidikan. Yogyakarta: media abadi
nafi ahmed write
No comments:
Post a Comment