Monday 6 February 2017

PENGEMBANGAN PROG BK KARIR BERBASIS GENDER DAN KELINTAS BUDAYAAN (MULTY CULTURAL)

BAB I
PENDAHULUAN
PENGEMBANGAN PROG BK KARIR BERBASIS GENDER DAN KELINTAS BUDAYAAN (MULTY CULTURAL)

A.    LATAR BELAKANG
Bimbingan karir sebagai suatu proses membantu pribadi untuk mengembangkan penerimaan kesatuan dan gambaran diri serta peranannya dalam dunia kerja. Menurut batasan ini, ada dua hal penting, pertama proses membantu individu untuk memahami dan menerima diri sendiri, dan kedua memahami dan menyesuaikan diri dalam dunia kerja. Bimbingan karir merupakan salah satu bentuk layanan dalam membantu siswa merencanakan karirnya. Faktor-faktor yang mendukung perkembangan diri tersebut misalnya informasi karir yang diperoleh siswa dan status sosial ekonomi orang tua. Tujuan bimbingan karir adalah membantu siswa dengan cara yang sistematis dan terlibat dalam perkembangan karir. Guru pembimbing hendaknya dapat membantu siswa merencanakan karirnya sesuai dengan kemampuan, bakat dan minat yang dimilikinya. Secara essensial bimbingan karir merupakan salah satu proses layanan yang bertujuan membantu siswa dalam proses pemahaman diri, pemahaman nilai-nilai, pengenalan lingkungan, hambatan dan cara mengatasinya serta perencanaan masa depan baik gender ataupun kelintas budayaan. Terdapat konvergensi dalam definisi konseling karir, sebuah proses yang mungkin diawali dengan penerimaan gagasan Super (1980) yang berhubungan dengan sifat interaktif peranan kehidupan. Pada tahun 1991, Linda Brooks dan saya (Brown dan Brooks, 1991) mendefinisikan konseling karir sebagai sebuah proses yang bertujuan untuk memberikan fasilitas pada perkembangan karir dan mungkin melibatkan pemilihan, pemasukan, penyesuaian, atau kemajuan dalam sebuah karir. Kita mendefinisikan permasalahan karir sebagai keragu-raguan yang berkembang karena terlau sedikitnya informasi, keragu-raguan yang tumbuh karena kebimbangan pilihan; ketidakpuasan pada performa pekerjaan; ketak sejenisan antara orang dan peranannya dalam perkerjaan; dan ketak sesuaian antara peranan dan peranan kehidupan lain, seperti keluarga atau waktu luang. The National Career Development Association (NCDA, 1997) menerapkan sebuah definisi yang sama namun lebih sederhana. Organisasi ini mendefinisikan konseling karir sebagai sebuah ‘proses membantu seseorang dalam perkembangan sebuah kehidupan karir dengan sebuah focus pada definisi peranan pekerja dan bagaimana peranan tersebut berinteraksi dengan peranan kehidupan yang lainnya’ (hal.2). sebagian besar isinya, definisi ini merefleksikan posisi yang diambil oleh Gysber, Heppner, dan Johnston (2003); Admunson (2003); dan para ahli teori postmodern lainnya yang mungkin mengambil permasalahan dengan gagasan yang lengkap dalam definisi karena mereka terlihat menganggap bahwa terdapat batasan yang muncul diantara dan ditengah-tengah peranan kehidupan, sebuah anggapan yang akan menjadi tidak konsisten dengan pandangan perspektif holistic mereka.
Mekanisme konseling karir, termasuk pendekatan pada hubungan, penilaian, dl, berbeda-beda berdasarkan pada teori yang diterapkan. Gysber dkk (2003) mengembangkan sebuah taksonomi tugas-tugas yang muncul dalam konseling karir secara simultan dengan proses pengembangan sebuah perserikatan kerja. Tugas ini termasuk mengidentifikasi permasalahan yang disajikan; menyusun hubungan konseling; mengembangkan sebuah ikatan konselor-klien; mengumpukan informasi mengenai klien, termasuk informasi personal dan pengendalian kontekstual; pengaturan tujuan; seleksi intervensi; pengambilan tindakan; dan evaluasi hasil. Seperti yang akan ditunjukan nanti, model konseling multikultural digarisbesarkan pada bab ini menerima sebagian besar gagasan yang berhubungan dengan struktur konseling karir ini dengan perubahan kecil.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Peran Jenis Gender
Peran gender seringkali telah menilai terhadap jenis kelamin seseorang. Masyarakat menghendaki agar jenis tugas atau pekerjaan tertentu dilakukan oleh jenis kelamin tertentu. Memang baik diakui atau tidak, jenis kelamin kadang-kadang menentukan seseorang. Menurut  Santrok dalam memilih karir pekerjaan seorang perempuan mungkin akan mengambil karir yang dapat dijalaninya, tanpa banyak hambatan dengan peran jenis gendernya, misalnya sekretaris, dokter anak, psikolog anak, guru atau dosen, penungguatau penjaga toko dan sebagainya. Demikian pula sebaliknya seorang laki-laki akan memilih faktor yang sesuai dengan dirinya misalnya tentara, polisi, hakim, jaksa dan lain sebagainya.
            Rentangan diskursus dan persoalan gender di dunia hampir setua peradaban manusia itu sendiri. Perbincangan gender itu sendiri hampir-hampir tidak dapat dilepaskan begitu saja dari wacana kebudayaan dan peradaban manusia. Mendiskusikannya lebih lanjut, artinya sama saja berdiskusi tentang filsafat eksistensial manusia, struktur sosial dan tipikal kebudayaan masyarakat, serta dinamika psikologis dalam diri dan antarpribadi (intrapersonal and interpersonal dynamics). Dengan demikian, tidak ada satu cabang ilmu humaniora manapun yang tidak dapat melepaskan diri dari kajian-kajian tentang gender.
Konsep gender adalah suatu konstruksi sosial yang mengatur hubungan pria dan wanita yang terbentuk melalui proses sosialisasi. Konstruksi sosial itu mengalokasikan peranan, hak, kewajiban serta tanggung jawab pria dan wanita dalam fungsi produksi dan reproduksi. Dengan kata lain, terminologi gender merujuk pada sifat yang melekat pada wanita maupun pria sebagai hasil konstruksi secara sosial dan budaya setempat.
Jika seks dianggap sebagai sesuatu yang berhubungan dengan aspek-aspek biologis seseorang yang melibatkan karakteristik perbedaan laki dan perempuan berdasarkan kromosom, anatomi reproduksi, hormon, dan karakter fisiologis lainnya. Sedangkan gender melibatkan aspek-aspek sosiokultural yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan, yaitu apa yang didefinisikan masyarakat sebagai maskulinitas dan femininitas. Simbol-simbol yang dilekatkan itulah yang disebut sebagai pembedaan gender. Dalam batas perbedaan yang paling sederhana, seks dipandang sebagai status yang melekat/bawaan dan gender sebagai status yang diterima/diperoleh (Lindsey, 1994).
Menurut Dzuhayatin dan Fakih (Soemandoyo, 1999) bahwa jenis kelamin sebagai fakta biologis seringkali dicampuradukkan dengan gender sebagai fakta sosial dan budaya. Laki-laki dan perempuan selalu diletakkan dalam dua kutub yang sama sekali berlawanan. Yang hampir selalu terjadi adalah perempuan diletakkan dalam kutub pelengkap (hal-hal yang tidak dimiliki laki-laki sehingga dapat dilengkapi perempuan) atau negatif. Laki-laki lebih sering ditampilkan sebagai sosok yang besar, agresif, prestatif, dominan-superior, asertif dan memiliki mitos sebagai pelindung. Sebaliknya, perempuan digambarkan sebagai sosok yang berpenampilan fisik lebih kecil, lembut, halus, pasif, dan inferior, cenderung mengalah. Nampak sekali bahwa pemahaman itu didasari atas pola pikir androsentris, male biased, dan patriarki yang tumbuh subur dalam masyarakat. Studi eksplorasi tentang stereotipe gender yang dilakukan oleh William dan Best selama rentang tahun 1982, 1990, dan 1992 (Smith dan Bond, 1994) di tiga puluh kebudayaan yang berbeda mengindikasikan bahwa seratus mahasiswa laki-laki dan perempuan di tiap-tiap negara tersebut membuat semacam konsensus peran gender yang berbeda. Ternyata, laki-laki meyakini memiliki tipikal sifat yang tinggi dalam hal dominasi, otonomi, agresi, suka menonjolkan diri, prestasi tinggi, dan ketahanan mental yang luar biasa. Sementara para wanita justru sebaliknya, yaitu yakin bahwa self-preference yang tinggi justru terdapat pada rasa rendah diri (abasement), afiliasi, rasa hormat, dan dalam hal penyapihan atau pengasuhan anak. Walaupun demikian, William dan Best menegaskan bahwa derajat konsensus yang tinggi lebih banyak muncul pada struktur budaya kolektif, sementara pada struktur budaya individualis seperti halnya di negara barat, derajat konsensus stereotipe gender cenderung rendah dan menurun. Oleh karenanya, mereka menyimpulkan bahwa terdapat korelasi yang kuat antara individualisme dan rendahnya konsensus tentang stereotipe gender.
Bercermin pada temuan-temuan tersebut, tidak dapat disangkal lagi bahwa beberapa aspek citra baku gender merupakan pencerminan distribusi perempuan dan laki-laki ke dalam beberapa peran yang dibedakan. Proses pembentukan citra ini muncul seiring dengan perubahan zaman. Pada zaman dahulu, dengan prinsip the survival of the fittest, proses fisik menjadi prasyarat bagi penguasaan struktur sosial. Sebagai akibatnya, perempuan yang secara fisik tidak memiliki kemampuan dan sosok sebagaimana dipunyai laki-laki menjadi termarjinalisasi dari sektor persaingan budaya. Hampir seluruh aspek kehidupan sosial lebih banyak merefleksikan kelaki-lakian/maskulinitas (Soemandoyo, 1999).
Pandangan-pandangan stereotipe tersebut pada akhirnya menjadi akar masalah ketidakadilan gender dan perlakuan diskriminatif terhadap perempuan. Ketidakadilan gender itu sendiri dapat menjelma dalam proses marjinalisasi (kondisi terpinggirkan), subordinasi (posisi diri selalu dibawah dan tidak berdaya), bertambahnya beban kerja tidak hanya sekedar di sektor domestik tetapi juga sektor publik, serta fenomena kekerasan terhadap perempuan, seperti pelecehan, perkosaan, penganiayaan, dan lain-lain.
Sebagai contoh, dalam hal pilihan karir saja, terdapat perbedaan dan bias yang cukup tinggi antara laki-laki dan wanita sebagai konsekuensi dari stereotipe peran wanita dalam ruang lingkup tradisional (Gati, Givon, dan Osipow, 1995). Kebanyakan perempuan hanya berkutat pada sektor-sektor tradisional dan bertahan pada level kerja serta level kompensasi gaji yang terlalu rendah. Untuk fenomena Indonesia sendiri, problem tenaga kerja wanita juga menarik untuk dikaji secara serius. Pada dekade tahun 1980-an, terdapat beragam kajian-kajian tematik yang membahas fenomena kemiskinan dan perempuan bekerja. Beberapa data menunjukkan (Soetrisno, 1993) bahwa sebagian besar kaum perempuan yang terkategori miskin baik di wilayah urban maupun rural telah bekerja dan terus mencari peluang kerja demi pemenuhan kebutuhan dasar (subsisten). Ada yang bekerja sebagai buruh tani, buruh perkebunan, pedagang kecil, pengrajin, pelacur jalanan, pembantu rumah tangga, buruh pabrik, dan pekerja migran. Bahkan, kebanyakan mereka diindikasikan telah terugikan baik secara ekonomi maupun sosial, yaitu terperangkap dalam proses yang cenderung memarjinalisasikan, mengkooptasi, dan mengeskploitasi mereka.
Studi tentang curahan waktu kerja di pedesaan menunjukkan bahwa jam kerja perempuan lebih panjang dari laki-laki. Kondisi ini terjadi karena perempuan selain melakukan pekerjaan domestik juga melakukan pekerjaan mencari nafkah (White, 1976). Beban ganda bukanlah satu-satunya penyebab kaum perempuan terisolasi dari proses pembangunan, namun tampaknya lebih dikarenakan kebijakan pembangunan itu sendiri tidak berpihak pada kaum perempuan. Program-program pembangunan untuk perempuan sarat dengan bias ideologi gender, seperti program kesehatan untuk Balita, keterampilan menjahit, program Dharma Wanita, 10 program PKK, dan lain-lain.

B.     Perbedaan Jenis Kelamin dalam Minat
Perbedaan jenis kelamin dalam minat telah diteliti dalam sejarah pengukuran minat, dan hasil dari penelitian ini telah menuntut perkembangan inventori.  Pria dan wanikta mencatat tingkat-tingkat minat yang berbeda dalam beberapa hal khususnya wanita mengekspresikan minat artistik dan sosial, sementara pria lebih mengekspresikan minat realistis dan investigatif. 

C.    Perbedaan Budaya dalam Minat
Hubungan antara minat dengan budaya telah diamati seringnya dengan melihat secara statistik pada hubungan antara tipe minat Holland terhadap kelompok suku-ras.  Beberapa penelitian berskala besar memperlihatkan bahwa interkorelasi antara keenam tipe cocok dengan model lingkaran Holland untuk peserta Afrika Amerika, Asia Amerika, Amerika Asli, Meksiko Amerika, dan Kaukasia.  Hal ini memberi kesan bahwa inventori berdasarkan model RIASEC Holland memiliki validitas untuk populasi yang berbeda. Namun, penggunaan inventori minat dengan klien yang berbeda ras, suku, dan budaya, mungkin dapat meningkat jika para konselor berusaha untuk memahami nilai-nilai dan perilaku dari budaya lain dan sadar akan nilai-nilai mereka sendiri sama seperti stereotype dan prasangka yang mungkin ada. 
beberapa nasehat yang berhubungan dengan pembuatan nilai yang tidak diberitahukan mengenai budaya dari seorang individu telah diluncurkan. Namun, pertimbangkan situasi ini. Duduk di dalam kantor anda, anda mencatat bahwa anda mempunyai janji dengan Lawrence Singh. Anda tahu bahwa Lawrence Singh adalah nama yang sangat wajar di India, sama halnya dengan Smith di Amerika serikat. Namun, nama pertama yang eurosentris, Lawrence, menyarankan kemungkinan bahwa keluarganya telah terakulturasi dan mengadopsi nilai-nilai eurosentris. Jika anda akan sensitif secara budaya, apa yang anda lakukan? Saran di sini adalah bahwa anda memperlihatkan dilemma anda pada Lawrence, mungkin dimulai dengan, “saya tertipu dengan nama anda”. Singh adalan nama yang wajar di Asia dan Lawrence jelas sekali merupakan nama orang Amerika. Ceritakan pada saya bagaimana hal tersebut bisa terjadi?”. Skenario lainnya mungkin bahwa anda duduk di kantor anda dan seorang nenek mucul dengan seorang siswa yang nama belakangnya adalah Ho. Jelas bahwa dia ingin duduk dalam sebuah konferensi untuk membahas pilihan karir tuan Frederick Ho, and mungkin ingin menanyakan dua pertanyaan. Yang pertama berhubungan dengan siapa yang akan menjadi pengambil keputusan. Dalam banyak budaya keluarga membuat keputusan karir dan sang nenek mungkin mewakili keluarga; jadi, anda mulai “saya sadar bahwa pada banyak keluarga keturuan Asia Amerika keluarga memilih pekerjaan untuk anak-anak mereka. Sebelum kita mulai, saya ingin menghargai jika anda mau membantu saya memahami siapa yang akan mengambil keputusan dalam permasalahan tuan Frederick.” Anda mungkin juga memuji sang nenek karena kemauannya untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan pemilihan karir dan menanyakan jika pada kenyataannya dia mewakili keluarga. Sangatlah penting jika keluarga menjadi pengambil keputusan yang tidak disarankan konselor karena akan lebih sesuai jika Frederick mengambil keputusannya karirnya sendiri.
Terdapat alat lain untuk menentukan afiliasi budaya -misalnya, bahasa yang digunakan dirumah, kebiasaan, dan tradisi yang diteliti, afiliasi budaya teman-temannya, afiliasi budaya orang tuanya, dan bagian komunitas di mana klien bertempat tinggal – tidak ada yang sangat tepat (Garrett dan Pichette, 2000; Thomason, 1995). Wawancara konseling karir yang pertama mungkin harus berfokus pada variabel ini jika ketidak tentuan mengenai afiliasi budaya muncul pada diri klien.
Salah satu gambaran yang paling kuat pada bagaimana ketaksensitifan dalam komunikasi dapat muncul disajikan oleh Basso (1979) dalam sebuah vignette yang melibatkan seorang lelaki kulit putih dan seorang lelaki dari suku Apache. Si lelaki kulit putih menyapa si Apache dengan sebuah pukulan ringan di punggung. “hallo, kawan. Bagaimana kabarnya? Baik-baik saja kan?” mereka melanjutkannya di rumah si kulit putih dan si kulit putih berkata, “lihat siapa ini; ini adalah si orang kecil. Masuk dan duduklah. Kamu lapar?” kemudian melihat si orang kecil, si kulit putih melanjutkan. Dari keseluruhannya terdapat delapan kesalahan dalam komunikasi lintas budaya dalam percakapan ini. Menggunakan istilah kawan dianggap sebagai kelancangan dan,oleh karena itu, tidak sesuai. Menyakan kabar seseorang mungkin menyebabkan penyakit menurut kepercayaan beberapa orang Apache. Si kulit putih mungkin menganggapnya basa-basi karena ingin menyuruh untuk “duduk”. Mengulang sebuah pertanyaan terlihat kasar bagi banyak suku Apache. Orang tersebut mungkin terlihat bodh karena kelunya lidahnya. Membuat kontak mata langsung dianggap agresif dalam budaya Apache dan banyak lagi lainnya. Akhirnya, menyentuh masyarakat dianggap tidak sopan oleh banyak anggota suku Apache, seperti halnya menggunakan nama asli Amerika tanpa menanyakan apakah hal tersebut tepat atau tidak. Dengan jelas, lelaki kulit putih dalam percakapan ini tidak menganggap perlunya untuk mengubah gaya berkomunikasinya sehingga dapat diterima oleh suku Apache. dalam memfasilitasi pengambilan keputusan karir adalah menentukan siapa yang akan membuat keputusan. Langkah selanjutnya adalah untuk menentukan harapan konselor pada pengambil keputusan dan harapan konselor terhadap klien dan keluarganya. Jika keluarga atau kelompok yang akan mengambil keputusanm mereka mungkin menginginkan informasi yang lebih mengenai kesempatan pendidikan, sumber keuangan, dan kesempatan bekerja. Mereka tidak mungkin meminta bantuan dalam menilai sifat siswa, namun konselor karir mungkin ingin untuk menanyakan apakah mereka telah mempertimbangkan kemampuan mereka, ketertarikan mereka, dan nilai-nilai mereka. Saya telah mewawancarai sejumlah orang yang memiliki keputusan awal karir yang dibuat untuk mereka, dan jarang yang merupakan ketertarikan atau bakat mereka disamping bakat akademik yang dipertimbangkan dalam proses ini. Prestis pekerjaan terlihat semakin menjadi perhatian yang semakin besar bagi orang tua yang membuat keputusan ini.
Satu masalah yang hampir tidak dapat dielakkan bagi para konselor karir melibatkan percekcokan antara para orang tua dan anak-anak mereka tentang siapa yang akan membuat pilihan karir. Seseorang yang telah menyesuaikan diri dengan lingkungan mungkin akan memberontak ketika orang tua mereka memberitahukan pilihan mereka tentang karir, dan para siswa dan para orang tua mungkin akan berkonsultasi dengan konselor karir untuk mendapatkan bantuan. Para konselor karir yang secara normal melibatkan para para orang tua dalam pilihan tentang pekerjaan manakala para orang tua percaya bahwa mereka telah tidak dihormati.
D.    Mengapa Karir Penting 
Perempuan, seperti laki-laki, perlu berbagai sumber utama kepuasan dalam hidup mereka seperti pernah dinyatakan oleh Freud, yang secara psikologis welladjusted manusia dapat "untuk mencintai dan untuk bekerja" secara efektif. Kedua wanita dan laki-laki membutuhkan kepuasan hubungan interpersonal, dengan keluarga dan / atau teman-teman, tetapi juga kepuasan prestasi di dunia luar. Kita sekarang memiliki bukti penelitian bahwa perempuan, seperti laki-laki, harus menggunakan bakat mereka  dan kemampuan dan bahwa peran ganda yang penting bagi orang-orang psikologis kesejahteraan.
E.     Pemanfaatan Kemampuan
Penelitian telah menunjukkan bahwa pemenuhan potensi individu untuk pencapaian sangat penting. Walaupun peran ibu rumah tangga dan ibu sangat penting dan sering sangat memuaskan, mereka tidak memperbolehkan sebagian besar perempuan untuk memenuhi pembangunan kemampuan mereka yang unik dan bakat. Ini, lebih tepatnya, harus dipenuhi melalui mengejar karir atau relawan dan kegiatan hobi, sama seperti mereka pada pria. Ini bukan untuk diskon pentingnya anak-anak tetapi hanya dengan insufisiensi sebagai jawaban seumur hidup masalah realisasi diri. Bahkan jika seorang wanita menghabiskan sejumlah kreatif tahun membesarkan anak-anak, anak-anak ini mau tidak mau tumbuh dewasa dan memulai kehidupan mereka sendiri, hidup itu haruslah menjadi semakin mandiri dari rumah orangtua. Bukti kuat bahwa ibu rumah tangga yang tidak memiliki outlet lain untuk prestasi dan produktivitas sangat rentan terhadap tekanan psikologis, terutama sebagai anak-anak tumbuh dan meninggalkan rumah.
Penelitian awal pada hubungan antara status perkawinan dan kesehatan psikologis menyimpulkan bahwa individu-individu yang paling sehat adalah menikah laki-laki dan satu perempuan, sedangkan perempuan yang sudah menikah terutama berada di risiko tinggi untuk psikologis. Namun, itu tampaknya tidak akan perkawinan yang merugikan perempuan penyesuaian psikologis, melainkan kurangnya bermakna dibayar pekerjaan. Dalam studi ini, para wanita yang tidak dipekerjakan diperhitungkan untuk yang lebih sering terjadi tekanan psikologis di antara menikah perempuan. Ada beberapa hipotesis tentang mengapa peran ganda yang bermanfaat bagi perempuan buat ekonomi ketika salah satu pasangan atau pasangan menjadi pengangguran.
F.     Keahlian Dibatasi Kepentingan
Penggunaan kemampuan dan minat karir langkah-langkah dalam penilaian dan konseling berasal dari pencocokan atau sifat-faktor pendekatan konseling karir, basis dari pendekatan ini adalah:
·         Orang-orang berbeda dalam pekerjaan mereka berhubungan dengan kemampuan dan kepentingan.
·         Job / pekerjaan lingkungan yang berbeda dalam persyaratan dan dalam jenis
·         kepentingan yang mereka banding.
·         kesesuaian atau kecocokan antara karakteristik individu dan karakteristik pekerjaan adalah suatu pertimbangan penting dalam membuat pilihan karir yang baik.
Diantara variabel penting untuk dipertimbangkan adalah kemampuan dan bakat sebagai termasuk dalam Theory of Work Adjustment dan kejuruan. Pencocokan perspektif, tujuan penilaian adalah untuk membantu konselor dan klien dalam menghasilkan pendidikan atau pilihan karir yang mewakili orang yang baik-lingkungan yang sesuai. Sementara model yang cocok telah didukung oleh banyak penelitian empiris, kami juga telah menyadari bahwa proses pilihan karier untuk beberapa kelompok orang. Sebagai contoh, penelitian telah menunjukkan bahwa perempuan cenderung untuk underutilize kemampuan mereka dalam memilih karier. Selain, perempuan dalam karir dan kurangnya perwakilan perempuan di banyak didominasi laki-laki karier mungkin karena sebagian untuk pembatasan bagaimana kepentingan kejuruan mereka kembangkan.

G.    Peran Ganda
Wanita sekarang ini mungkin tidak melihat ini sebagai baik atau pilihan, tetapi banyak yang memperhatikan rencana karier bagaimana mereka akan mengintegrasikan dengan ini rumah dan keluarga. Sebaliknya, banyak orang merencanakan karir mereka tanpa perlu pengorbanan tingkat pencapaian untuk menampung rumah dan keluarga mencatat bahwa orang-orang mendamaikan tuntutan pekerjaan dan keluarga dengan "kembali ke definisi tradisional ayah sebagai penyedia" Satu implikasi dirasakan disebabkan oleh karier dan prioritas keluarga adalah bahwa wanita untuk siapa suami dan anak-anak adalah prioritas tinggi cenderung aspirasi karir mereka, relatif terhadap wanita lain dan untuk pria-pria. Wanita muda yang tertarik dalam sains memilih untuk mengejar menyusui karena mereka pikir akan cocok dengan baik dengan memiliki dan membesarkan anak-anak atau dengan menjadi tunggal dan motivasi karir ini berbanding terbalik dengan komitmen rumah tangga. Wanita pilihan tentang pekerjaan tetap terkait erat dengan keputusan mereka tentang keluarga; demikian, peran keluarga perempuan pertimbangan membatasi investasi di dunia kerja. Meskipun kami telah menyaksikan peningkatan besar partisipasi tenaga kerja di kalangan wanita di semua kategori perkawinan dan orangtua, hubungan perkawinan / status orangtua pencapaian karier, komitmen, dan inovasi masih sangat kuat.

H.    Hambatan Eksternal Ekuitas
Hambatan diskriminasi dan pelecehan seksual telah lama dibahas sebagai perempuan penting dalam upaya untuk mencapai kesetaraan di tempat kerja. Meskipun diskriminasi gender langsung melawan hukum, diskriminasi informal terus ada. Sebagai contoh, meskipun perempuan mungkin diperbolehkan untuk kerja, hal itu mungkin menjadi jelas bagi mereka, terang-terangan atau lebih halus, bahwa mereka tidak diterima. Pesan mulai dari pelecehan verbal terbuka untuk sekadar diabaikan dan tidak menerima dukungan sosial dari rekan kerja dapat membuat lingkungan yang sangat tidak menyenangkan, dan kurang jelas bentuk diskriminasi dalam membayar, promosi, dan perquisites dari pekerjaan mungkin ada juga. Pentingnya promosi adalah berkaitan dengan keberadaan terus yang mengacu pada jumlah yang sangat kecil perempuan di tingkat manajemen puncak. Hambatan berdasarkan sikap atau organisasi bias, yang mencegah beberapa kelompok orang dari maju dalam sebuah organisasi.
Lingkungan memusuhi pelecehan mengacu terhadap kasus di mana karyawan tunduk pada sindiran seksual, seksis atau seksual berorientasi komentar, menyentuh fisik, atau berorientasi seksual poster atau kartun ditempatkan di area kerja. Masalah di sini adalah tenaga kerja wanita membuat obyek seks di bekerja. Perempuan di sana untuk mencari nafkah dan kemajuan karir mereka, dan pelecehan seksual serius dapat mengganggu tujuan mereka. Meskipun pelecehan seksual tidak terbatas pada laki-laki melecehkan perempuan-perempuan dapat mengganggu pria, dan pelecehan seks sama juga dapat terjadi-sebagian. Atas dasar skala besar survei tenaga kerja wanita, bahwa satu dari setiap dua akan dilecehkan selama kehidupan kerja mereka.. Walaupun tanggapan pelecehan seksual berada di luar cakupan bab ini, seksual pelecehan merupakan penghalang utama ekuitas perempuan di tempat kerja. Penelitian menunjukkan penurunan dalam kepuasan kerja dan komitmen organisasi, pekerjaan penarikan, peningkatan gejala kecemasan dan depresi, dan tingkat yang lebih tinggi penyakit yang terkait dengan stres sebagai tanggapan terhadap pelecehan seksual. Kesehatan mental serta isu-isu ekonomi dan serius bisa kompromi kinerja dan kepuasan kerja. Lain dari kondisi yang terus-menerus mempengaruhi ekuitas perempuan di tempat kerja dan kepuasan kerja mereka adalah bahwa meskipun partisipasi tenaga kerja mereka telah meningkat secara dramatis, bekerja di rumah mereka tidak berkurang. Walaupun beberapa peran ini, secara umum, positif untuk kesehatan mental, gambar menjadi lebih kompleks ketika perempuan diharapkan untuk memikul beban utama rumah tangga dan penitipan anak.

BAB III
PENUTUP
B.     KESIMPULAN
Ada bukti kuat bahwa perbedaan minat ini sebagian karena stereotip sosialisasi gender karena anak laki-laki terkena jenis belajar kesempatan tumbuh dewasa dibandingkan anak perempuan. Karena sosialisasi stereotip gender, gender tidak belajar semua keterampilan yang diperlukan untuk berfungsi adaptif dan menanggapinya. Pendidikan dan pilihan karir juga dapat terbatas karena dibatasi kesempatan belajar (dan diinternalisasi stereotip) bukan karena kurangnya kemampuan atau potensi. Pembatasan ini kesempatan belajar juga dapat, mengakibatkan penurunan efektivitas diri harapan. Dengan demikian, pengembangan minat menyempit dapat membatasi pilihan karir wanita.



DAFTAR PUSTAKA

Gladding, Samuel, T. 2004. Counseling: A Comprehensive  Profession. Singapore: Pearson Education Singapore Pte. Ltd.  
 Munandir. Program Bimbingan Karier di Sekolah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Proyek Pendidikan Tenaga Akademik.
Shertzer, Bruce & Stone, Shelley, C. 1981. Fundamentals of   Guidance. Boston – USA. Houghton Mifflin, Co. 
Suherman AS, Uman, M.Pd. Konseling Karir (Sepanjang Rentang Kehidupan). Program Studi Bimbingan dan Konseling. Sekolah Pascasarjana. UPI
Winkel, W.S. & Hastuti, M.M. Sri. 2004. Bimbingan dan Konseling Di Institusi Pendidikan. Cetakan ketujuh. Yogyakarta: Penerbit Media Abadi.


nafi ahmed write

1 comment:

  1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    ReplyDelete