Sunday 19 July 2020

DRAF PENYELENGGARAAN SISTEM KREDIT SEMESTER MADRASAH ALIYAH NEGERI (MAN) 15 JAKARTA JALAN INAYAH NO. 24 KELAPA DUA WETAN, CIRACAS – JAKARTA TIMUR. - ppt download

DRAF PENYELENGGARAAN SISTEM KREDIT SEMESTER MADRASAH ALIYAH NEGERI (MAN) 15 JAKARTA JALAN INAYAH NO. 24 KELAPA DUA WETAN, CIRACAS – JAKARTA TIMUR. - ppt download: DIDASARI HASIL PENELITIAN BLOOM TH 1976 There are good learners and there are poor learners (Banyak siswa yang baik belajarnya dan banyak siswa yang tidak baik belajarnya). There are faster learners and there are slower learners (Banyak siswa yang cepat belajarnya dan banyak siswa yang lamban belajarnya). Most students become very similar with regard to learning ability, rate of learning, and motivation for further learning ---when provided with favorable learning conditions (Sebagian besar siswa akan memiliki kemampuan belajar, kecepatan belajar, dan motivasi belajar jauh lebih baik apabila dilengkapi dengan kondisi belajar yang menyenangkan).

Monday 6 February 2017

PROGRAM BK KARIER UNTUK KORBAN PHK, TKI/TKW DAN PROBLEMATIKANYA DAN MASYARAKAT MARGINAL

BAB I
PENDAHULUAN
PROGRAM BK KARIER UNTUK KORBAN PHK, TKI/TKW
DAN PROBLEMATIKANYA DAN MASYARAKAT MARGINAL

A.      Latar Belakang
Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat didunia. Pada tahun 1990 jumlah penduduk Indonesia mencapai179 juta jiwa. Sepuluh tahun berikutnya jumlah tersebut telah meningkat menjadi 205 juta jiwa. Dengan demikian pertambahan jumlah penduduk selama dasawarsa ini mencapaisekitar 15% atau tumbuh dengan rata-rata 2% pertahun. disatu sisi, jumlah penduduk yang besar diyakini merupakan modal dasar dalam mencapai tujuan pembangunan nasional, namun disisi lain, dengan pengelolaan yang tidak tepat, jumlah penduduk  yang besar sekaligus akan menimbulkan masalah
Masalah Pemutusan Hubungan Kerja yang seolah tiada habisnya kita dengar di negeri ini telah menjadi bagian masalah tersendiri di republik yang kita cintai ini, kemudian tak kalah hebohnya silih berganti kejadian dan peristiwa penganiayaan TKI juga menjadi primadona berita baik di media televisi, koran ataupun majalah. Tak hanya penganiayaan, termasuk diberitakan juga pelecehan seksual, pemulangan, bahkan sampai pada hukuman penjara atas TKI. Aksi-aksi itu seolah telah merepresentasikan beberapa masalah utama yang dialami  para tenaga kerja Indonesia atau TKI, selama bekerja diluar negeri. Belum lagi  kasus Pembunuhan, dengan modus bagian organ tubuh mereka diambil untuk dijual. Tidak jarang, sekaligus orang yang dijual. Itulah yang menjadi faktor utama pada praktek perdagangan manusia atau yang lebih dikenal dengan istilah human trafficking, yang banyak menjadi profesi para sindikat dan mafia diluar negeri. Masalah yang terjadi ini seolah telah menjadi hingar bingar yang seakan tiada solusi atas penyelesaian masalahnya, kalaupun ada jawaban atas permasalah ini tidak sampai penyelesaiannya sampai dengan kepada akar permasalahannya, belum lagi ditambah dengan masalah yeng berkaitan dengan masyarakat terbuang (marginal), ini seolah seperti bom waktu yang seakan siap meledak.
Disinilah peran Bimbingan Konseling Karier dituntun untuk memainkan perannya sebagai salah satu bidang layanan yang diharapkan mampu menjadi solusi atas permasalah bangsa, hal ini seolah bukan hanya masalah sosial bangsa dan negara, tapi sudah mencakup masalah yang berskala internasional

B.       Rumusan Masalah
i.    Apakah pengertian PHK ?
ii.  Apakah pengertian TKI dan problematikanya?
iii.                        Apakah pengertian Masyrakat marginal?
iv.                        Apakah program BK Karier atas solusi permasalah tersebut?

C.       Tujuan Pembahasan
i.    Untuk mengetahui bagaimana Pengertian PHK
ii.  Untuk mengetahui bagaimana Pengertian TKI dan problematikanya
iii.                        Untuk mengetahui bagaimana Pengertian Masyrakat marginal
iv.                        Mengetahui bagaimana solusi program BK Karier masalah ini


BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian PHK
            Dalam dunia kerja, kita lazim mendengar istilah Pemutusan Hubungan Kerja atau yang sering disingkat dengan kata PHK. PHK sering kali menimbulkan keresahan khususnya bagi para pekerja. Bagaimana tidak?  Keputusan PHK ini akan berdampak buruk bagi kelangsungan hidup dan masa depan para pekerja yang mengalaminya.            Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan perusahaan/majikan. Hal ini dapat terjadi karena pengunduran diri, pemberhentian oleh perusahaan atau habis kontrak.
Menurut pasal 61 Undang – Undang No. 13 tahun 2003 mengenai tenaga kerja, perjanjian kerja dapat berakhir apabila :
a.  pekerja meninggal dunia
b. jangka waktu kontak kerja telah berakhir
c.  adanya putusan pengadilan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
d.           adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
Jadi, pihak yang mengakhiri perjanjian kerja sebelum jangka waktu yang ditentukan, wajib membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja. Perusahaan dapat melakukan PHK apabila pekerja melakukan pelanggaran terhadap perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama (PKB). Akan tetapi sebelum mem-PHK, perusahaan wajib memberikan surat peringatan secara 3 kali berturut-turut. Perusahaan juga dapat menentukan sanksi yang layak tergantung jenis pelanggaran, dan untuk pelanggaran tertentu, perusahaan bisa mengeluarkan SP 3 secara langsung atau langsung memecat. Semua hal ini diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan masing-masing. Karena setiap perusahaan mempunyai peraturan yang berbeda-beda.
Selain karena kesalahan pekerja, pemecatan mungkin dilakukan karena alasan lain. Misalnya bila perusahaan memutuskan melakukan efisiensi, penggabungan atau peleburan, dalam keadaan merugi/pailit. PHK akan terjadi karena keadaan diluar kuasa perusahaan. Bagi pekerja yang diPHK, alasan PHK berperan besar dalam menentukan apakah pekerja tersebut berhak atau tidak berhak atas uang pesangon, uang penghargaan dan uang penggantian hak.
B.       Pengertian TKI dan Problematikanya
Ada beberapa pendapat  mengenai pengertian Tenaga Kerja Indonesia. Menurut Pasal 1 bagian (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, TKI adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah. Sedangkan menurut buku pedoman pengawasam perusahaan jasa Tenaga Kerja Indonesia adalah warga negara Indonesia baik laki-laki maupun perempuan yang melakukan kegiatan di bidang perekonomian, sosial, keilmuan, kesenian, dan olahraga profesional serta mengikuti pelatihan kerja di luar negeri baik di darat, laut maupun udara dalam jangka waktu tertentu berdasarkan perjanjian kerja yaitu suatu perjanjian antara pekerja dan pengusaha secara lisan dan atau tertulis baik untuk waktu tertentu maupun untuk waktu tidak tertentu yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. Dengan adanya perjanjian kerja ini TKI akan lebih terlindungi apabila nantinya dikemudian hari  pihak majikan atau pihak perusahaan tmpat TKI bekerja “wanprestasi” maka TKI dapat menentukan sesuai perjanjian kerja yang telah dibuat sebelumnya.
Berdasarkan beberapa pengertian TKI tersebut, maka dapat dikemukakan bahwa TKI adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam jangka waktu tertentu berdasarkan perjanjian kerja melalui prosedur /penempatan TKI dengan menerima upah.
Namun, hampir setiap tahun kita mendengar penyiksaan TKI di luar negeri, baik itu di Arab Saudi, Malaysia, Singapura, Taiwan, Hong Kong dan Negara lainnya. Dari mulai tidak menerima gaji sama sekali, bekerja 20 jam per hari, disiksa majikan, hingga pada saat mereka pulang ke tanah air pun, mereka ditipu para calo yang berkeliaran di bandara. Jika bertanya tentang jumlah kasus penyiksaan dan berbagai masalah TKI di luar negeri, mungkin hanya Tuhan yang tahu, karena masih banyak kasus lain yang tidak terungkap.
Menurut Andrie Herlina Riza dalam sebuah artikel yang ditulisnya dengan judul TKI – Pahlawan Devisa Yang Teraniaya mengungkapkan ada ada 4 hal mendasar yang menjadi inti dari permasalahan TKI yaitu:
1. Kesempatan kerja
Perekonomian Indonesia mengalami surplus tenaga kerja. Jumlah penawaran tenaga kerja melampaui permintaannya. Pemerintah memperkirakan angka pengangguran turun dari 7,9 persen di tahun 2009 menjadi 7,6% pada 2010. Tetapi sebenarnya masih banyak orang dengan status bekerja, namun melakukan pekerjaan yang tidak layak. Sebelum krisis ekonomi 1997, angka elastisitas penyerapan tenaga kerja cukuptinggi. Setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi menyerap lebih dari 400 ribu tenaga kerja baru. Sementara pada masa puncak krisis (1998-2000), penyerapan tenaga kerja menurun drastis hingga di bawah 200 ribu penyerapan untuk setiap persen pertumbuhan ekonomi. Meskipun saat ini sudah membaik, penyerapan tenaga kerja belum sebaik sebelum krisis. Pertumbuhan penawaran tenaga kerja jelas dipengaruhi pertumbuhan penduduk. Sensus Penduduk 2010 menunjukkan kecenderungan naiknya pertumbuhan penduduk Indonesia periode 2000-2010 dibanding 10 tahun sebelumnya. Ini akan membebani pasar kerja dalam beberapa tahun mendatang. Setiap tahun sekitar 2,5 juta tenaga kerja baru masuk ke pasar kerja. Jika angka penyerapan tenaga kerja saat ini  sekitar 250 ribu untuk setiap 1% pertumbuhan ekonomi, setidaknya 10% pertumbuhan ekonomi dibutuhkan. Padahal kenyataannya, pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini jauh di bawah angka 10%. Sulitnya memperoleh pekerjaan di dalam negeri mendorong sebagian pekerja "mengadu nasib" di luar negeri. Tekanan penduduk (population pressure) dalam beberapa tahun mendatang akan semakin besar. Sekitar 56% pekerja Indonesia hanya lulusan SD ke bawah. Semakin sedikit kesempatan kerja untuk para lulusan SD. Hal inidiperburuk tidak adanya sistem jaminan sosial di Negara ini. Jadi, setiap  orang bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Tidak ada pilihan lain, sehingga harus bekerja termasuk ke luar negeri. Aliran pekerja ke luar negeri menjadi salah satu solusi untuk mengatasi surplus tenaga kerja dalam negeri. Tetapi, jika tidak dikelola dengan baik, maka akan terus menimbulkan masalah. Data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI(BNP2TKI) menunjukkan adanya tren kenaikan TKI bermasalah dari sekitar 14% pada 2008 menjadi lebih dari 20% pada 2009.
2. Upah buruh di Indonesia terlalu kecil
Dari berbagai survey tentang masalah tenaga kerja, umumnya mereka menyebutkan bahwa upah buruh di Indonesia adalah yang paling rendah atau murah dibandingkan dengan upah buruh di negara-negara Asia lainnya. Upah yang sangat kecil ini jelas sekali sangat tidak mencukupi kebutuhan keluarga, dimana semua harga barang-barang  yang ada di pasaran dalam negeri cenderung selalu naik setiap tahunnya.  Upah ini jelas berbanding terbalik dengan pengeluaran yang harus dikeluarkan untuk mencukupikebutuhan keluarga. Saat tergiur imbalan dolar, ringgit, atau riyal yang tentunya lebih tinggi, mereka pun tidak memikirkan cerita buruk tentang TKI lagi.
3. Oknum PJTKI
Pemerintah mensyaratkan bahwa TKI harus legal, dikirim melalui  agen resmi yang membantunya untuk membuat paspor dan visa, memperoleh surat keterangan kesehatan, membayar asuransi dan kewajiban lainnya, memiliki keterampilan dan kemampuan bahasa. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) memperkirakan pada 2010 terdapat sekitar 2,7 juta TKI bekerja di luar negeri. Namun jumlahnya dapat lebih besar mengingat banyak TKI ilegal tidak tercatat. Sekitar 45% TKI memilih bekerja di Malaysia karena kemudahan komunikasi. Sementara 35% TKI bekerja di Arab Saudi. Masalah TKI muncul sejak proses awal di Indonesia. Umumnya penyaluran TKI melalui agen tenaga kerja, baik yang legal maupun ilegal. Agen TKI mengontrol hampir seluruh proses awal, mulai dari rekrutmen, paspor dan aplikasi visa, pelatihan, transit, dan penempatan TKI. Namun, masih banyaknya Perusahaan Jasa Tenaga Kerja (PJTKI) yang tidak mendapat izin dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) sehingga menyebabkan aliran TKI tidak terkontrol. Banyak TKI baru pertama kali ke luar negeri, direkrut makelar yang datang ke desanya, dengan janji upah tertentu, pilihan pekerjaan yang banyak, dan menawarkan bantuan kemudahan proses. Rendahnya pendidikan calon TKI mengakibatkan mereka menghadapi risiko mudah ditipu pihak lain. Mereka tidak memahami aturan dan persyaratan untuk bekerja di luar negeri. Rendahnya laporan TKI yang mengalami kasus tertentu ke pihak berwenang juga didasarkan  kekhawatiran mereka karena memiliki identitas palsu. Banyak TKI usianya masih terlalu muda, namun demi kelancaran proses, usia di dokumen dipalsukan. Pemalsuan tidak hanya usia, tetapi juga nama dan alamat. Oleh karena itu, tidak mudah melacak para TKI bermasalah di luar negeri. Sementara itu, dapat diyakinkan bahwa pemalsuan dan manipulasi data oleh TKI dan paraagen, terjadi karena pihak yang mengawasi dan menentukan membolehkan dan terkadang menawarkan praktek itu dilancarkan.  Para pelaku sindikat tidak peduli seperti apa nasib TKI di luar negeri. Yang penting bagi mereka adalah menikmati  keuntungan dari transaksi pengiriman TKI.
4. Lemahnya pengawasan dan kurangnya perhatian dari Pemerintah.
Pemerintah sebagai pelaku dan pelaksana pemerintahan, dirasakan sangat  kurang sekali perhatiannya atas nasib para TKI ini. Pencermatan keadaan secara hukum dalam permasalahan TKI, semestinya melibatkan elemen-elemen fundamental termasuk administrasi, kontrak, asuransi, dan MoU antar negara. Tanpa adanya dasar hukum yang kuat dan administrasi yang legitimate, pemerintah Indonesia akan sulit mengatasi permasalahan tenaga kerja Indonesia. Sudah semestinya pemerintah Indonesia benar-benar serius, karena dengan demikian masalah-masalah yang selama ini terjadi bisa berkurang banyak. Tapi sayangnya, pemerintah selalu menunggu sampai masalahnya sudah menjadi besar dan buruk. Ironis nya seringkali kasus-kasus itu baruditangani oleh pemerintah, setelah kasus-kasus tersebut menjadi isu publik. Penanganan kasus TKI yang dilakukan Pemerintah Indonesia sama sekali tidak menyentuh akar persoalan yang sesungguhnya. Sebaliknya, pemerintah dan semua pihak terkait selalu berbangga jika mendengar majikan dihukum dan TKI diberikan berbagai biaya sebagai kompensasi. Tetapi, sumber masalah yang ada di dalam negeri tetap dibiarkan kian menggurita.
C.       Pengertian Masyrakat Marginal
Marjinal berasal dari bahasa inggris 'marginal' yang berarti jumlah atau efek yang sangat kecil. Artinya, marjinal adalah suatu kelompok yang jumlahnya sangat kecil atau bisa juga diartikan sebagai kelompok pra-sejahtera. Marjinal juga identik dengan masyarakat kecil atau kaum yang terpinggirkan. Jadi kaum marjinal adalah masyarakat kelas bawah yang terpinggirkan dari kehidupan masyarakat. contoh dari kaum marjinal antara lain pengemis, pemulung, buruh, petani, dan orang-orang dengan penghasilan pas-pasan atau bahkan kekurangan. Mereka ini adalah bagian tak terpisahkan dari Negara ini. Perjuangan kaum marjinal yang mungkin seringkali kita mengabaikannya. Sebagaimana Mother Terresa, pejuang dan tokoh kemanusiaan dari Calcuta, mengatakan:
"The poor,the marginalized and the ones who are not counted, they exist because we create them. Especially by the superstructure and then by me, by you, by all of us. Consequently, it is our responsibility to help elevate them."
Artinya, kaum miskin, kaum marjinal, dan orang-orang yang tidak diperhitungkan di masyarakat ada karena kitalah yang menciptakan mereka. Terutama oleh struktur sosial, juga oleh saya, Anda dan kita semua. Sehingga, kita mempunyai tanggung jawab untuk membantu dan mengangkat derajat mereka.
       Keberadaan kaum marginal pelan tapi pasti menjadi penyebab terjadinya akumulasi segala bentuk penyakit masyarakat seperti pelacuran, gelandangan / pengemis, anak jalanan, pencurian, perampokan, human trafficking, narapidana, dan lain - lain di suatu negara. Dengan demikian masyarakat (kaum) marjinal ini bila tidak diberdayakan melalui pemberian solusi yang tepat, maka berarti pula ini disiapkan untuk menjadi benih bom waktu yang dahsyat untuk merusak sendi - sendi kehidupan berbangsa dan bernegara kondisi masyarakat marjinal bila dibiarkan berlarut-larut akan berdampak pada beberapa persoalan :
a. Semakin banyaknya angka putus sekolah (drop out) dan buta huruf
b. Semakin menurunya kualitas SDM
c. Semakin tingginya angka pengangguran.
d. Semakin tingginya penyakit – penyakit sosial masyarakat dan kerawanan sosial.
e. Indeks kemajuan pendidikan di Indonesia semakin tertinggal dengan negara – negara lain.
D.      Program BK Karier atas solusi permasalah ketenagakerjaan
Jumlah penduduk yang besar dengan laju pertumbuhan yang tinggi merupakan masalah klasik yang dihadapi Indonesia. Masalah kependudukan ini pada gilirannya menimbulkan masalah lain di sektor ketenagakerjaan. pengangguran dengan angka yang relatif semakin tinggi dari tahun ketahun membutuhkan upaya pemecahan yang tidak sederhana. Kebijakan pembangunan ekonomi yang pernah dilaksanakan diIndonesia ternyata tidak mampu berbuat banyak. Kebijakan yang bias kepada perusahaan-perusahaan besar yang cenderung bersifat padat modal, memang mampu membawa perekonomian Indonesia tumbuh dengan angka yang menggembirakan, namun mekanisme trickle Down effect dari kebijakan tersebut temyata tidak segera muncul seperti yang diharapkan. Perusahaan-perusahaan besar sebagai lokomotif perekonomian nasional tidak mampu menampung angkatan kerja Indonesia yang ada. Antara para tenaga kerja itu sendiri harus saling bersaing ketat, untuk bisa masuk ke sektor formal, karena sektor ini menuntut kualifikasi tertentu terkait dengan kualitas pendidikan dan keahlian tenaga kerja yang akan digunakannya.
Program BK Karier dalam menghadapi problematika ini menurut hemat kami dapat diselesaikan dengan layanan informasi karier berbasis kewirausaan, karena banyaknya  Manfaat yang didapatkan dengan adanya wirausaha , seperti:
(1) Menambah daya tampung tenaga kerja, sehingga dapat mengurangi pengangguran.
(2) Sebagai generator pembangunan lingkungan, bidang produksi, distribusi, pemeliharaan lingkungan, kesejahteraan, dan sebagainya.
(3) Menjadi contoh bagi anggota masyarakat lain, sebagai pribadi unggul yang patut dicontoh, diteladani, karena seorang wirausaha itu adalah orang terpuji, jujur, berani, hidup tidak merugikan orang lain.
(4) selalu menghormati hukum dan peraturan yang berlaku, berusaha selalu menjaga dan membangun lingkungan.
(5) berusaha memberi bantuan kepada orang lain dan pembangunan sosial sesuai dengan kemampuannya.
(6) berusaha mendidik karyawannya menjadi orang mandiri, disiplin, jujur, tekun dalam menghadapi pekerjaan.
(7) memberi contoh bagaimana kita harus bekerja keras, tetapi tidak melupakan perintah-perintah agama, dekat kepada Allah SWT.
(8) hidup secara efisien, tidak berfoya-foya dan tidak boros.
(9) memelihara keserasian lingkungan, baik dalam pergaulan maupun kebersihan lingkungan.


nafi ahmed write

PENGEMBANGAN PROG BK KARIR BERBASIS GENDER DAN KELINTAS BUDAYAAN (MULTY CULTURAL)

BAB I
PENDAHULUAN
PENGEMBANGAN PROG BK KARIR BERBASIS GENDER DAN KELINTAS BUDAYAAN (MULTY CULTURAL)

A.    LATAR BELAKANG
Bimbingan karir sebagai suatu proses membantu pribadi untuk mengembangkan penerimaan kesatuan dan gambaran diri serta peranannya dalam dunia kerja. Menurut batasan ini, ada dua hal penting, pertama proses membantu individu untuk memahami dan menerima diri sendiri, dan kedua memahami dan menyesuaikan diri dalam dunia kerja. Bimbingan karir merupakan salah satu bentuk layanan dalam membantu siswa merencanakan karirnya. Faktor-faktor yang mendukung perkembangan diri tersebut misalnya informasi karir yang diperoleh siswa dan status sosial ekonomi orang tua. Tujuan bimbingan karir adalah membantu siswa dengan cara yang sistematis dan terlibat dalam perkembangan karir. Guru pembimbing hendaknya dapat membantu siswa merencanakan karirnya sesuai dengan kemampuan, bakat dan minat yang dimilikinya. Secara essensial bimbingan karir merupakan salah satu proses layanan yang bertujuan membantu siswa dalam proses pemahaman diri, pemahaman nilai-nilai, pengenalan lingkungan, hambatan dan cara mengatasinya serta perencanaan masa depan baik gender ataupun kelintas budayaan. Terdapat konvergensi dalam definisi konseling karir, sebuah proses yang mungkin diawali dengan penerimaan gagasan Super (1980) yang berhubungan dengan sifat interaktif peranan kehidupan. Pada tahun 1991, Linda Brooks dan saya (Brown dan Brooks, 1991) mendefinisikan konseling karir sebagai sebuah proses yang bertujuan untuk memberikan fasilitas pada perkembangan karir dan mungkin melibatkan pemilihan, pemasukan, penyesuaian, atau kemajuan dalam sebuah karir. Kita mendefinisikan permasalahan karir sebagai keragu-raguan yang berkembang karena terlau sedikitnya informasi, keragu-raguan yang tumbuh karena kebimbangan pilihan; ketidakpuasan pada performa pekerjaan; ketak sejenisan antara orang dan peranannya dalam perkerjaan; dan ketak sesuaian antara peranan dan peranan kehidupan lain, seperti keluarga atau waktu luang. The National Career Development Association (NCDA, 1997) menerapkan sebuah definisi yang sama namun lebih sederhana. Organisasi ini mendefinisikan konseling karir sebagai sebuah ‘proses membantu seseorang dalam perkembangan sebuah kehidupan karir dengan sebuah focus pada definisi peranan pekerja dan bagaimana peranan tersebut berinteraksi dengan peranan kehidupan yang lainnya’ (hal.2). sebagian besar isinya, definisi ini merefleksikan posisi yang diambil oleh Gysber, Heppner, dan Johnston (2003); Admunson (2003); dan para ahli teori postmodern lainnya yang mungkin mengambil permasalahan dengan gagasan yang lengkap dalam definisi karena mereka terlihat menganggap bahwa terdapat batasan yang muncul diantara dan ditengah-tengah peranan kehidupan, sebuah anggapan yang akan menjadi tidak konsisten dengan pandangan perspektif holistic mereka.
Mekanisme konseling karir, termasuk pendekatan pada hubungan, penilaian, dl, berbeda-beda berdasarkan pada teori yang diterapkan. Gysber dkk (2003) mengembangkan sebuah taksonomi tugas-tugas yang muncul dalam konseling karir secara simultan dengan proses pengembangan sebuah perserikatan kerja. Tugas ini termasuk mengidentifikasi permasalahan yang disajikan; menyusun hubungan konseling; mengembangkan sebuah ikatan konselor-klien; mengumpukan informasi mengenai klien, termasuk informasi personal dan pengendalian kontekstual; pengaturan tujuan; seleksi intervensi; pengambilan tindakan; dan evaluasi hasil. Seperti yang akan ditunjukan nanti, model konseling multikultural digarisbesarkan pada bab ini menerima sebagian besar gagasan yang berhubungan dengan struktur konseling karir ini dengan perubahan kecil.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Peran Jenis Gender
Peran gender seringkali telah menilai terhadap jenis kelamin seseorang. Masyarakat menghendaki agar jenis tugas atau pekerjaan tertentu dilakukan oleh jenis kelamin tertentu. Memang baik diakui atau tidak, jenis kelamin kadang-kadang menentukan seseorang. Menurut  Santrok dalam memilih karir pekerjaan seorang perempuan mungkin akan mengambil karir yang dapat dijalaninya, tanpa banyak hambatan dengan peran jenis gendernya, misalnya sekretaris, dokter anak, psikolog anak, guru atau dosen, penungguatau penjaga toko dan sebagainya. Demikian pula sebaliknya seorang laki-laki akan memilih faktor yang sesuai dengan dirinya misalnya tentara, polisi, hakim, jaksa dan lain sebagainya.
            Rentangan diskursus dan persoalan gender di dunia hampir setua peradaban manusia itu sendiri. Perbincangan gender itu sendiri hampir-hampir tidak dapat dilepaskan begitu saja dari wacana kebudayaan dan peradaban manusia. Mendiskusikannya lebih lanjut, artinya sama saja berdiskusi tentang filsafat eksistensial manusia, struktur sosial dan tipikal kebudayaan masyarakat, serta dinamika psikologis dalam diri dan antarpribadi (intrapersonal and interpersonal dynamics). Dengan demikian, tidak ada satu cabang ilmu humaniora manapun yang tidak dapat melepaskan diri dari kajian-kajian tentang gender.
Konsep gender adalah suatu konstruksi sosial yang mengatur hubungan pria dan wanita yang terbentuk melalui proses sosialisasi. Konstruksi sosial itu mengalokasikan peranan, hak, kewajiban serta tanggung jawab pria dan wanita dalam fungsi produksi dan reproduksi. Dengan kata lain, terminologi gender merujuk pada sifat yang melekat pada wanita maupun pria sebagai hasil konstruksi secara sosial dan budaya setempat.
Jika seks dianggap sebagai sesuatu yang berhubungan dengan aspek-aspek biologis seseorang yang melibatkan karakteristik perbedaan laki dan perempuan berdasarkan kromosom, anatomi reproduksi, hormon, dan karakter fisiologis lainnya. Sedangkan gender melibatkan aspek-aspek sosiokultural yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan, yaitu apa yang didefinisikan masyarakat sebagai maskulinitas dan femininitas. Simbol-simbol yang dilekatkan itulah yang disebut sebagai pembedaan gender. Dalam batas perbedaan yang paling sederhana, seks dipandang sebagai status yang melekat/bawaan dan gender sebagai status yang diterima/diperoleh (Lindsey, 1994).
Menurut Dzuhayatin dan Fakih (Soemandoyo, 1999) bahwa jenis kelamin sebagai fakta biologis seringkali dicampuradukkan dengan gender sebagai fakta sosial dan budaya. Laki-laki dan perempuan selalu diletakkan dalam dua kutub yang sama sekali berlawanan. Yang hampir selalu terjadi adalah perempuan diletakkan dalam kutub pelengkap (hal-hal yang tidak dimiliki laki-laki sehingga dapat dilengkapi perempuan) atau negatif. Laki-laki lebih sering ditampilkan sebagai sosok yang besar, agresif, prestatif, dominan-superior, asertif dan memiliki mitos sebagai pelindung. Sebaliknya, perempuan digambarkan sebagai sosok yang berpenampilan fisik lebih kecil, lembut, halus, pasif, dan inferior, cenderung mengalah. Nampak sekali bahwa pemahaman itu didasari atas pola pikir androsentris, male biased, dan patriarki yang tumbuh subur dalam masyarakat. Studi eksplorasi tentang stereotipe gender yang dilakukan oleh William dan Best selama rentang tahun 1982, 1990, dan 1992 (Smith dan Bond, 1994) di tiga puluh kebudayaan yang berbeda mengindikasikan bahwa seratus mahasiswa laki-laki dan perempuan di tiap-tiap negara tersebut membuat semacam konsensus peran gender yang berbeda. Ternyata, laki-laki meyakini memiliki tipikal sifat yang tinggi dalam hal dominasi, otonomi, agresi, suka menonjolkan diri, prestasi tinggi, dan ketahanan mental yang luar biasa. Sementara para wanita justru sebaliknya, yaitu yakin bahwa self-preference yang tinggi justru terdapat pada rasa rendah diri (abasement), afiliasi, rasa hormat, dan dalam hal penyapihan atau pengasuhan anak. Walaupun demikian, William dan Best menegaskan bahwa derajat konsensus yang tinggi lebih banyak muncul pada struktur budaya kolektif, sementara pada struktur budaya individualis seperti halnya di negara barat, derajat konsensus stereotipe gender cenderung rendah dan menurun. Oleh karenanya, mereka menyimpulkan bahwa terdapat korelasi yang kuat antara individualisme dan rendahnya konsensus tentang stereotipe gender.
Bercermin pada temuan-temuan tersebut, tidak dapat disangkal lagi bahwa beberapa aspek citra baku gender merupakan pencerminan distribusi perempuan dan laki-laki ke dalam beberapa peran yang dibedakan. Proses pembentukan citra ini muncul seiring dengan perubahan zaman. Pada zaman dahulu, dengan prinsip the survival of the fittest, proses fisik menjadi prasyarat bagi penguasaan struktur sosial. Sebagai akibatnya, perempuan yang secara fisik tidak memiliki kemampuan dan sosok sebagaimana dipunyai laki-laki menjadi termarjinalisasi dari sektor persaingan budaya. Hampir seluruh aspek kehidupan sosial lebih banyak merefleksikan kelaki-lakian/maskulinitas (Soemandoyo, 1999).
Pandangan-pandangan stereotipe tersebut pada akhirnya menjadi akar masalah ketidakadilan gender dan perlakuan diskriminatif terhadap perempuan. Ketidakadilan gender itu sendiri dapat menjelma dalam proses marjinalisasi (kondisi terpinggirkan), subordinasi (posisi diri selalu dibawah dan tidak berdaya), bertambahnya beban kerja tidak hanya sekedar di sektor domestik tetapi juga sektor publik, serta fenomena kekerasan terhadap perempuan, seperti pelecehan, perkosaan, penganiayaan, dan lain-lain.
Sebagai contoh, dalam hal pilihan karir saja, terdapat perbedaan dan bias yang cukup tinggi antara laki-laki dan wanita sebagai konsekuensi dari stereotipe peran wanita dalam ruang lingkup tradisional (Gati, Givon, dan Osipow, 1995). Kebanyakan perempuan hanya berkutat pada sektor-sektor tradisional dan bertahan pada level kerja serta level kompensasi gaji yang terlalu rendah. Untuk fenomena Indonesia sendiri, problem tenaga kerja wanita juga menarik untuk dikaji secara serius. Pada dekade tahun 1980-an, terdapat beragam kajian-kajian tematik yang membahas fenomena kemiskinan dan perempuan bekerja. Beberapa data menunjukkan (Soetrisno, 1993) bahwa sebagian besar kaum perempuan yang terkategori miskin baik di wilayah urban maupun rural telah bekerja dan terus mencari peluang kerja demi pemenuhan kebutuhan dasar (subsisten). Ada yang bekerja sebagai buruh tani, buruh perkebunan, pedagang kecil, pengrajin, pelacur jalanan, pembantu rumah tangga, buruh pabrik, dan pekerja migran. Bahkan, kebanyakan mereka diindikasikan telah terugikan baik secara ekonomi maupun sosial, yaitu terperangkap dalam proses yang cenderung memarjinalisasikan, mengkooptasi, dan mengeskploitasi mereka.
Studi tentang curahan waktu kerja di pedesaan menunjukkan bahwa jam kerja perempuan lebih panjang dari laki-laki. Kondisi ini terjadi karena perempuan selain melakukan pekerjaan domestik juga melakukan pekerjaan mencari nafkah (White, 1976). Beban ganda bukanlah satu-satunya penyebab kaum perempuan terisolasi dari proses pembangunan, namun tampaknya lebih dikarenakan kebijakan pembangunan itu sendiri tidak berpihak pada kaum perempuan. Program-program pembangunan untuk perempuan sarat dengan bias ideologi gender, seperti program kesehatan untuk Balita, keterampilan menjahit, program Dharma Wanita, 10 program PKK, dan lain-lain.

B.     Perbedaan Jenis Kelamin dalam Minat
Perbedaan jenis kelamin dalam minat telah diteliti dalam sejarah pengukuran minat, dan hasil dari penelitian ini telah menuntut perkembangan inventori.  Pria dan wanikta mencatat tingkat-tingkat minat yang berbeda dalam beberapa hal khususnya wanita mengekspresikan minat artistik dan sosial, sementara pria lebih mengekspresikan minat realistis dan investigatif. 

C.    Perbedaan Budaya dalam Minat
Hubungan antara minat dengan budaya telah diamati seringnya dengan melihat secara statistik pada hubungan antara tipe minat Holland terhadap kelompok suku-ras.  Beberapa penelitian berskala besar memperlihatkan bahwa interkorelasi antara keenam tipe cocok dengan model lingkaran Holland untuk peserta Afrika Amerika, Asia Amerika, Amerika Asli, Meksiko Amerika, dan Kaukasia.  Hal ini memberi kesan bahwa inventori berdasarkan model RIASEC Holland memiliki validitas untuk populasi yang berbeda. Namun, penggunaan inventori minat dengan klien yang berbeda ras, suku, dan budaya, mungkin dapat meningkat jika para konselor berusaha untuk memahami nilai-nilai dan perilaku dari budaya lain dan sadar akan nilai-nilai mereka sendiri sama seperti stereotype dan prasangka yang mungkin ada. 
beberapa nasehat yang berhubungan dengan pembuatan nilai yang tidak diberitahukan mengenai budaya dari seorang individu telah diluncurkan. Namun, pertimbangkan situasi ini. Duduk di dalam kantor anda, anda mencatat bahwa anda mempunyai janji dengan Lawrence Singh. Anda tahu bahwa Lawrence Singh adalah nama yang sangat wajar di India, sama halnya dengan Smith di Amerika serikat. Namun, nama pertama yang eurosentris, Lawrence, menyarankan kemungkinan bahwa keluarganya telah terakulturasi dan mengadopsi nilai-nilai eurosentris. Jika anda akan sensitif secara budaya, apa yang anda lakukan? Saran di sini adalah bahwa anda memperlihatkan dilemma anda pada Lawrence, mungkin dimulai dengan, “saya tertipu dengan nama anda”. Singh adalan nama yang wajar di Asia dan Lawrence jelas sekali merupakan nama orang Amerika. Ceritakan pada saya bagaimana hal tersebut bisa terjadi?”. Skenario lainnya mungkin bahwa anda duduk di kantor anda dan seorang nenek mucul dengan seorang siswa yang nama belakangnya adalah Ho. Jelas bahwa dia ingin duduk dalam sebuah konferensi untuk membahas pilihan karir tuan Frederick Ho, and mungkin ingin menanyakan dua pertanyaan. Yang pertama berhubungan dengan siapa yang akan menjadi pengambil keputusan. Dalam banyak budaya keluarga membuat keputusan karir dan sang nenek mungkin mewakili keluarga; jadi, anda mulai “saya sadar bahwa pada banyak keluarga keturuan Asia Amerika keluarga memilih pekerjaan untuk anak-anak mereka. Sebelum kita mulai, saya ingin menghargai jika anda mau membantu saya memahami siapa yang akan mengambil keputusan dalam permasalahan tuan Frederick.” Anda mungkin juga memuji sang nenek karena kemauannya untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan pemilihan karir dan menanyakan jika pada kenyataannya dia mewakili keluarga. Sangatlah penting jika keluarga menjadi pengambil keputusan yang tidak disarankan konselor karena akan lebih sesuai jika Frederick mengambil keputusannya karirnya sendiri.
Terdapat alat lain untuk menentukan afiliasi budaya -misalnya, bahasa yang digunakan dirumah, kebiasaan, dan tradisi yang diteliti, afiliasi budaya teman-temannya, afiliasi budaya orang tuanya, dan bagian komunitas di mana klien bertempat tinggal – tidak ada yang sangat tepat (Garrett dan Pichette, 2000; Thomason, 1995). Wawancara konseling karir yang pertama mungkin harus berfokus pada variabel ini jika ketidak tentuan mengenai afiliasi budaya muncul pada diri klien.
Salah satu gambaran yang paling kuat pada bagaimana ketaksensitifan dalam komunikasi dapat muncul disajikan oleh Basso (1979) dalam sebuah vignette yang melibatkan seorang lelaki kulit putih dan seorang lelaki dari suku Apache. Si lelaki kulit putih menyapa si Apache dengan sebuah pukulan ringan di punggung. “hallo, kawan. Bagaimana kabarnya? Baik-baik saja kan?” mereka melanjutkannya di rumah si kulit putih dan si kulit putih berkata, “lihat siapa ini; ini adalah si orang kecil. Masuk dan duduklah. Kamu lapar?” kemudian melihat si orang kecil, si kulit putih melanjutkan. Dari keseluruhannya terdapat delapan kesalahan dalam komunikasi lintas budaya dalam percakapan ini. Menggunakan istilah kawan dianggap sebagai kelancangan dan,oleh karena itu, tidak sesuai. Menyakan kabar seseorang mungkin menyebabkan penyakit menurut kepercayaan beberapa orang Apache. Si kulit putih mungkin menganggapnya basa-basi karena ingin menyuruh untuk “duduk”. Mengulang sebuah pertanyaan terlihat kasar bagi banyak suku Apache. Orang tersebut mungkin terlihat bodh karena kelunya lidahnya. Membuat kontak mata langsung dianggap agresif dalam budaya Apache dan banyak lagi lainnya. Akhirnya, menyentuh masyarakat dianggap tidak sopan oleh banyak anggota suku Apache, seperti halnya menggunakan nama asli Amerika tanpa menanyakan apakah hal tersebut tepat atau tidak. Dengan jelas, lelaki kulit putih dalam percakapan ini tidak menganggap perlunya untuk mengubah gaya berkomunikasinya sehingga dapat diterima oleh suku Apache. dalam memfasilitasi pengambilan keputusan karir adalah menentukan siapa yang akan membuat keputusan. Langkah selanjutnya adalah untuk menentukan harapan konselor pada pengambil keputusan dan harapan konselor terhadap klien dan keluarganya. Jika keluarga atau kelompok yang akan mengambil keputusanm mereka mungkin menginginkan informasi yang lebih mengenai kesempatan pendidikan, sumber keuangan, dan kesempatan bekerja. Mereka tidak mungkin meminta bantuan dalam menilai sifat siswa, namun konselor karir mungkin ingin untuk menanyakan apakah mereka telah mempertimbangkan kemampuan mereka, ketertarikan mereka, dan nilai-nilai mereka. Saya telah mewawancarai sejumlah orang yang memiliki keputusan awal karir yang dibuat untuk mereka, dan jarang yang merupakan ketertarikan atau bakat mereka disamping bakat akademik yang dipertimbangkan dalam proses ini. Prestis pekerjaan terlihat semakin menjadi perhatian yang semakin besar bagi orang tua yang membuat keputusan ini.
Satu masalah yang hampir tidak dapat dielakkan bagi para konselor karir melibatkan percekcokan antara para orang tua dan anak-anak mereka tentang siapa yang akan membuat pilihan karir. Seseorang yang telah menyesuaikan diri dengan lingkungan mungkin akan memberontak ketika orang tua mereka memberitahukan pilihan mereka tentang karir, dan para siswa dan para orang tua mungkin akan berkonsultasi dengan konselor karir untuk mendapatkan bantuan. Para konselor karir yang secara normal melibatkan para para orang tua dalam pilihan tentang pekerjaan manakala para orang tua percaya bahwa mereka telah tidak dihormati.
D.    Mengapa Karir Penting 
Perempuan, seperti laki-laki, perlu berbagai sumber utama kepuasan dalam hidup mereka seperti pernah dinyatakan oleh Freud, yang secara psikologis welladjusted manusia dapat "untuk mencintai dan untuk bekerja" secara efektif. Kedua wanita dan laki-laki membutuhkan kepuasan hubungan interpersonal, dengan keluarga dan / atau teman-teman, tetapi juga kepuasan prestasi di dunia luar. Kita sekarang memiliki bukti penelitian bahwa perempuan, seperti laki-laki, harus menggunakan bakat mereka  dan kemampuan dan bahwa peran ganda yang penting bagi orang-orang psikologis kesejahteraan.
E.     Pemanfaatan Kemampuan
Penelitian telah menunjukkan bahwa pemenuhan potensi individu untuk pencapaian sangat penting. Walaupun peran ibu rumah tangga dan ibu sangat penting dan sering sangat memuaskan, mereka tidak memperbolehkan sebagian besar perempuan untuk memenuhi pembangunan kemampuan mereka yang unik dan bakat. Ini, lebih tepatnya, harus dipenuhi melalui mengejar karir atau relawan dan kegiatan hobi, sama seperti mereka pada pria. Ini bukan untuk diskon pentingnya anak-anak tetapi hanya dengan insufisiensi sebagai jawaban seumur hidup masalah realisasi diri. Bahkan jika seorang wanita menghabiskan sejumlah kreatif tahun membesarkan anak-anak, anak-anak ini mau tidak mau tumbuh dewasa dan memulai kehidupan mereka sendiri, hidup itu haruslah menjadi semakin mandiri dari rumah orangtua. Bukti kuat bahwa ibu rumah tangga yang tidak memiliki outlet lain untuk prestasi dan produktivitas sangat rentan terhadap tekanan psikologis, terutama sebagai anak-anak tumbuh dan meninggalkan rumah.
Penelitian awal pada hubungan antara status perkawinan dan kesehatan psikologis menyimpulkan bahwa individu-individu yang paling sehat adalah menikah laki-laki dan satu perempuan, sedangkan perempuan yang sudah menikah terutama berada di risiko tinggi untuk psikologis. Namun, itu tampaknya tidak akan perkawinan yang merugikan perempuan penyesuaian psikologis, melainkan kurangnya bermakna dibayar pekerjaan. Dalam studi ini, para wanita yang tidak dipekerjakan diperhitungkan untuk yang lebih sering terjadi tekanan psikologis di antara menikah perempuan. Ada beberapa hipotesis tentang mengapa peran ganda yang bermanfaat bagi perempuan buat ekonomi ketika salah satu pasangan atau pasangan menjadi pengangguran.
F.     Keahlian Dibatasi Kepentingan
Penggunaan kemampuan dan minat karir langkah-langkah dalam penilaian dan konseling berasal dari pencocokan atau sifat-faktor pendekatan konseling karir, basis dari pendekatan ini adalah:
·         Orang-orang berbeda dalam pekerjaan mereka berhubungan dengan kemampuan dan kepentingan.
·         Job / pekerjaan lingkungan yang berbeda dalam persyaratan dan dalam jenis
·         kepentingan yang mereka banding.
·         kesesuaian atau kecocokan antara karakteristik individu dan karakteristik pekerjaan adalah suatu pertimbangan penting dalam membuat pilihan karir yang baik.
Diantara variabel penting untuk dipertimbangkan adalah kemampuan dan bakat sebagai termasuk dalam Theory of Work Adjustment dan kejuruan. Pencocokan perspektif, tujuan penilaian adalah untuk membantu konselor dan klien dalam menghasilkan pendidikan atau pilihan karir yang mewakili orang yang baik-lingkungan yang sesuai. Sementara model yang cocok telah didukung oleh banyak penelitian empiris, kami juga telah menyadari bahwa proses pilihan karier untuk beberapa kelompok orang. Sebagai contoh, penelitian telah menunjukkan bahwa perempuan cenderung untuk underutilize kemampuan mereka dalam memilih karier. Selain, perempuan dalam karir dan kurangnya perwakilan perempuan di banyak didominasi laki-laki karier mungkin karena sebagian untuk pembatasan bagaimana kepentingan kejuruan mereka kembangkan.

G.    Peran Ganda
Wanita sekarang ini mungkin tidak melihat ini sebagai baik atau pilihan, tetapi banyak yang memperhatikan rencana karier bagaimana mereka akan mengintegrasikan dengan ini rumah dan keluarga. Sebaliknya, banyak orang merencanakan karir mereka tanpa perlu pengorbanan tingkat pencapaian untuk menampung rumah dan keluarga mencatat bahwa orang-orang mendamaikan tuntutan pekerjaan dan keluarga dengan "kembali ke definisi tradisional ayah sebagai penyedia" Satu implikasi dirasakan disebabkan oleh karier dan prioritas keluarga adalah bahwa wanita untuk siapa suami dan anak-anak adalah prioritas tinggi cenderung aspirasi karir mereka, relatif terhadap wanita lain dan untuk pria-pria. Wanita muda yang tertarik dalam sains memilih untuk mengejar menyusui karena mereka pikir akan cocok dengan baik dengan memiliki dan membesarkan anak-anak atau dengan menjadi tunggal dan motivasi karir ini berbanding terbalik dengan komitmen rumah tangga. Wanita pilihan tentang pekerjaan tetap terkait erat dengan keputusan mereka tentang keluarga; demikian, peran keluarga perempuan pertimbangan membatasi investasi di dunia kerja. Meskipun kami telah menyaksikan peningkatan besar partisipasi tenaga kerja di kalangan wanita di semua kategori perkawinan dan orangtua, hubungan perkawinan / status orangtua pencapaian karier, komitmen, dan inovasi masih sangat kuat.

H.    Hambatan Eksternal Ekuitas
Hambatan diskriminasi dan pelecehan seksual telah lama dibahas sebagai perempuan penting dalam upaya untuk mencapai kesetaraan di tempat kerja. Meskipun diskriminasi gender langsung melawan hukum, diskriminasi informal terus ada. Sebagai contoh, meskipun perempuan mungkin diperbolehkan untuk kerja, hal itu mungkin menjadi jelas bagi mereka, terang-terangan atau lebih halus, bahwa mereka tidak diterima. Pesan mulai dari pelecehan verbal terbuka untuk sekadar diabaikan dan tidak menerima dukungan sosial dari rekan kerja dapat membuat lingkungan yang sangat tidak menyenangkan, dan kurang jelas bentuk diskriminasi dalam membayar, promosi, dan perquisites dari pekerjaan mungkin ada juga. Pentingnya promosi adalah berkaitan dengan keberadaan terus yang mengacu pada jumlah yang sangat kecil perempuan di tingkat manajemen puncak. Hambatan berdasarkan sikap atau organisasi bias, yang mencegah beberapa kelompok orang dari maju dalam sebuah organisasi.
Lingkungan memusuhi pelecehan mengacu terhadap kasus di mana karyawan tunduk pada sindiran seksual, seksis atau seksual berorientasi komentar, menyentuh fisik, atau berorientasi seksual poster atau kartun ditempatkan di area kerja. Masalah di sini adalah tenaga kerja wanita membuat obyek seks di bekerja. Perempuan di sana untuk mencari nafkah dan kemajuan karir mereka, dan pelecehan seksual serius dapat mengganggu tujuan mereka. Meskipun pelecehan seksual tidak terbatas pada laki-laki melecehkan perempuan-perempuan dapat mengganggu pria, dan pelecehan seks sama juga dapat terjadi-sebagian. Atas dasar skala besar survei tenaga kerja wanita, bahwa satu dari setiap dua akan dilecehkan selama kehidupan kerja mereka.. Walaupun tanggapan pelecehan seksual berada di luar cakupan bab ini, seksual pelecehan merupakan penghalang utama ekuitas perempuan di tempat kerja. Penelitian menunjukkan penurunan dalam kepuasan kerja dan komitmen organisasi, pekerjaan penarikan, peningkatan gejala kecemasan dan depresi, dan tingkat yang lebih tinggi penyakit yang terkait dengan stres sebagai tanggapan terhadap pelecehan seksual. Kesehatan mental serta isu-isu ekonomi dan serius bisa kompromi kinerja dan kepuasan kerja. Lain dari kondisi yang terus-menerus mempengaruhi ekuitas perempuan di tempat kerja dan kepuasan kerja mereka adalah bahwa meskipun partisipasi tenaga kerja mereka telah meningkat secara dramatis, bekerja di rumah mereka tidak berkurang. Walaupun beberapa peran ini, secara umum, positif untuk kesehatan mental, gambar menjadi lebih kompleks ketika perempuan diharapkan untuk memikul beban utama rumah tangga dan penitipan anak.

BAB III
PENUTUP
B.     KESIMPULAN
Ada bukti kuat bahwa perbedaan minat ini sebagian karena stereotip sosialisasi gender karena anak laki-laki terkena jenis belajar kesempatan tumbuh dewasa dibandingkan anak perempuan. Karena sosialisasi stereotip gender, gender tidak belajar semua keterampilan yang diperlukan untuk berfungsi adaptif dan menanggapinya. Pendidikan dan pilihan karir juga dapat terbatas karena dibatasi kesempatan belajar (dan diinternalisasi stereotip) bukan karena kurangnya kemampuan atau potensi. Pembatasan ini kesempatan belajar juga dapat, mengakibatkan penurunan efektivitas diri harapan. Dengan demikian, pengembangan minat menyempit dapat membatasi pilihan karir wanita.



DAFTAR PUSTAKA

Gladding, Samuel, T. 2004. Counseling: A Comprehensive  Profession. Singapore: Pearson Education Singapore Pte. Ltd.  
 Munandir. Program Bimbingan Karier di Sekolah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Proyek Pendidikan Tenaga Akademik.
Shertzer, Bruce & Stone, Shelley, C. 1981. Fundamentals of   Guidance. Boston – USA. Houghton Mifflin, Co. 
Suherman AS, Uman, M.Pd. Konseling Karir (Sepanjang Rentang Kehidupan). Program Studi Bimbingan dan Konseling. Sekolah Pascasarjana. UPI
Winkel, W.S. & Hastuti, M.M. Sri. 2004. Bimbingan dan Konseling Di Institusi Pendidikan. Cetakan ketujuh. Yogyakarta: Penerbit Media Abadi.


nafi ahmed write

PEMANFAATAN KUISIONER DAN INFORMASI KARIER (KERJA)

BAB I
PENDAHULUAN
PEMANFAATAN KUISIONER DAN INFORMASI KARIER (KERJA)

A.      Latar Belakang
Keberadaan konselor dalam sistem pendidikan nasional dinyatakan sebagai salah satu kualifikasi pendidik, sejajar dengan kualifikasi guru, dosen, pamong belajar, tutor, widyaiswara, fasilitator, dan instruktur (UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 Ayat 6). Masing-masing kualifikasi pendidik, termasuk konselor, memiliki keunikan konteks tugas dan ekspektasi kinerja. Standar kualifikasi akademik dan kompetensi konselor dikembangkan dan dirumuskan atas dasar kerangka pikir yang menegaskan konteks tugas dan ekspektasi kinerja konselor.
Konteks tugas konselor berada dalam kawasan pelayanan yang bertujuan mengembangkan potensi dan memandirikan konseli dalam pengambilan keputusan dan pilihan untuk mewujudkan kehidupan yang produktif, sejahtera, dan peduli kemaslahatan umum.
Dalam penyelenggaraan layanan BK karier agar lebih tepat sesuai kebutuhan dan minat dari konseli/ klien maka dibutuhkan asesmen sebelum beranjak pada proses konseling karier yang lebih lanjut. Asesmen dapat berupa tes maupun kuesioner guna mendapatkan informasi atau data terkait karier konseli.
Kuesioner adalah instrumen bukan-standar yang sangat populer dan banyak orang pernah menghadapinya. Kuesioner tampaknya sudah menjadi bagian utama gaya hidup Amerika karena terus digunakan untuk mendata reaksi publik, mengumpulkan opini, memprediksi kebutuhan, dan mengevaluasi berbagai komoditas, jasa dan aktivitas. Popularitasnya terkadang sanggup menutupi pereduksian kuesioner sebagai instrumen pengumpulan data jika digunakan untuk kelompok masyarakat umum lantaran penekanan biaya, namun dalam wilayah konseling, akurasinya bisa tetap terjaga.
Kuesioner dalam praktek konseling di Indonesia pun sudah mendapat perhatian namun ada pula yang belum memanfaatkannya dengan efektif dan efisien. Sehingga masih dibutuhkannya tambahan pengetahuan serta keterampilan dalam penyusunan serta penggunaannya agar kuesioner tersebut benar-benar menunjang kebutuhan yang ada.
Kebutuhan akan karier yang lebih baik bagi setiap individu mengharuskan mereka untuk lebih giat mencari informasi karier yang dapat berguna untuk pertimbangan ataau pedoman dalam menjalani kariernya. Informasi karier (kerja) inipun menjadi hal yang perlu mendapat perhatian dalam praktek BK karier, sehingga konselor sangat perlu mengetahui akan perkembangan informasi karier saat ini agar nantinya dapat disebarluaskan bagi yang berkepentingan maupun dalam praktek layanan BK karier itu sendiri.
Melihat akan kebutuhan tersebutlah, maka pemakalah berasumsi bahwa perlunya disusun suatu makalah yang membahas secara utuh terkait pemanfaaatan kuesioner dan informasi karier (kerja) khususnya dalam praktek bimbingan dan konseling karier.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, dalam makalah ini terdapat beberapa rumusan masalah yang akan dibahas. Adapun  rumusan masalah yang dimaksud ialah sebagai berikut:
1.    Apa definisi Kuisioner?
2.    Apa tujuan penggunaan Kuesioner?
3.    Apa saja prinsip dan pertimbangan dalam penyusunan dan penggunaan Kuesioner?
4.    Bagaimana prosedur penyusunan kuesioner?
5.    Bagaimana penggunaan kuesioner dalam konseling karier?
6.    Bagaimana penggunaan informasi karier dan informasi kerja?
7.    Apa saja peran Informasi dan Informasi apa saja yang dibutuhkan oleh konselor karier?
8.    Apa saja sumber-sumber informasi?
C.      Tujuan Pembuatan Makalah
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini diantaranya ialah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui definisi Kuisioner.
2.      Untuk mengetahui tujuan penggunaan Kuesioner.
3.      Untuk mengetahui prinsip dan pertimbangan dalam penyusunan dan penggunaan Kuesioner.
4.      Untuk mengetahui prosedur penyusunan kuesioner.
5.      Untuk mengetahui penggunaan kuesioner dalam konseling karier.
6.      Untuk mengetahui penggunaan informasi karier dan informasi kerja.
7.      Untuk mengetahui peran Informasi dan Informasi apa saja yang dibutuhkan oleh konselor karier.
8.      Untuk mengetahui sumber-sumber informasi.

BAB II
DASAR TEORI

A.  Kuesioner
1.    Definisi Kuesioner
Dalam kehidupan di masyarakat seringkali kita mendengar kata “kuis” dalam acara media televisi maupun radio atau dalam kegiatan akademisi (semacam ujian). Biasanya kuis diidentikkan dengan kegiatan pemberian sejumlah pertanyaan yang harus dijawab oleh responden demi mendapatkan skor atau nilai yang merupakan reward atas pertanyaan yang berhasil dijawab dengan benar atau tepat.
Sedangkan kuesioner merupakan bahasa serapan dari kata dalam bahasa Inggris “questioner” yang berasal dari kata “question” yang berarti pertanyaan, soal, keraguan, usul. Tambahan imbuhan “er” dalam bahasa Inggris menunjukkan kata pelaku seperti halnya singer (penyanyi), teller (kasir), interviewer (pewawancara). Namun questioner lebih sebagai suatu alat atau benda (biasanya kertas) yang berisi sejumlah pertanyaan.
Dalam bahasa Indonesia kuisioner disebut pula dengan angket. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, angket berarti daftar pertanyaan tertulis mengenai masalah tertentu dengan ruang untuk jawaban bagi setiap pertanyaan.
Sugiyono (2013:142) menjelaskan kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawabnya. Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang efisien bila peneliti tahu dengan pasti variabel yang akan diukur dan tahu apa yang bisa diharapkan dari responden. Selain itu, kuesioner juga cocok digunakan bila jumlah responden cukup besar dan tersebar di wilayah yang luas. Kuesioner dapat berupa pertanyaan/pernyataan tertutup atau terbuka, dapat diberikan kepada responden secara langsung atau dikirim melalui pos atau internet.
2.    Tujuan Penggunaan Kuesioner
Gibson dan Mitchell (2011:416) menjelaskan bahwa kuesioner memiliki banyak jenis penggunaan bagi konselor. Yang paling umum, kuesioner jelas menyediakan cara termudah mengumpulkan sejumlah besar informasi yang berguna untuk memahami klien. Di sisi lain, kuesioner termasuk teknik yang melibatkan partisipasi aktif klien sehingga memampukan klien memahami dirinya, minimal untuk kondisi tertentu. Yang lebih spesifik, kuesioner bisa dirancang untuk mengumpulkan jenis khusus informasi yang terkait kebutuhan khusus klien. Kuesioner juga bisa digunakan untuk dapat memvalidasi data lain yang sudah tersedia. Selain itu kuesioner dapat membantu mengidentifikasikan masalah yang dihadapi individu atau kelompok sebagai basis menetapkan tujuan program dan evaluasi sebagai basis penyempurnaan program.

3.    Prinsip dan Pertimbangan dalam Penyusunan dan Penggunaan Kuesioner
Uma Sekaran dalam Sugiyono (2013:142-143) mengemukakan beberapa prinsip dalam penulisan angket sebagai teknik pengumpulan data yaitu: prinsip penulisan,  pengukuran dan penampilan fisik.
a.       Prinsip Penulisan Angket
Prinsip ini menyangkut beberapa faktor yaitu: isi dan tujuan pertanyaan, bahasa yang digunakan mudah, pertanyaan tertutup terbuka-negatif positif, pertanyaan tidak mendua, tidak menanyakan hal-hal yang sudah lupa, pertanyaan tidak mengarahkan, panjang pertanyaan, dan urutan pertanyaan.
1)       Isi dan tujuan pertanyaan
Yang dimaksud di sini adalah, apakah isi pertanyaan tersebut merupakan bentuk pengukuran atau bukan? Kalau berbentuk pengukuran maka dalam membuat pertanyaan harus teliti, setiap pertanyaan harus skala pengukuran dan jumlah itemnya mencukupi untuk mengukur variabel yang diteliti.
2)       Bahasa yang digunakan
Bahasa yang digunakan dalam penulisan kuesioner (angket) harus disesuaikan dengan kemampuan berbahasa responden. Kalau sekiranya responden tidak dapat berbahasa Indonesia, maka angket jangan disusun dengan bahasa Indonesia. Jadi bahasa yang digunakan dalam angket harus memperhatikan jenjang pendidikan responden, keadaan sosial budaya, dan “frame of reference" dari responden.
3)       Tipe dan bentuk pertanyaan
Tipe pertanyaan dalam angket dapat terbuka atau tertutup, (kalau dalam wawancara: terstruktur dan tidak terstruktur) dan bentuknya dapat menggunakan kalimat positif atau negatif. Pertanyaan terbuka, adalah pertanyaan yang mengharapkan responden untuk menuliskan jawabannya berbentuk uraian tentang sesuatu hal. Contoh: bagaimanakah tanggapan anda terhadap iklan-iklan di TV saat ini? Sebaliknya pertanyaan tertutup, adalah pertanyaan yang mengharapkan jawaban singkat atau mengharapkan responden untuk memilih salah satu alternatif jawaban dari setiap pertanyaan yang telah tersedia. Setiap pertanyaan angket yang mengharapkan jawaban berbentuk data nominal, ordinal, interval, dan ratio, adalah bentuk pertanyaan tertutup. Pertanyaan tertutup akan membantu responden untuk menjawab dengan cepat, dan juga memudahkan peneliti dalam melakukan analisis data terhadap seluruh angket yang telah terkumpul. Pertanyaan/pernyataan dalam angket perlu dibuat kalimat positif dan negatif agar responden dalam memberikan jawaban setiap pertanyaan lebih serius, dan tidak mekanistis.
4)       Pertanyaan tidak mendua
Setiap pertanyaan dalam angket jangan mendua (double-barreled) sehingga menyulitkan responden untuk memberikan jawaban. Contoh: Bagaimana pendapat anda tentang kualitas dan kecepatan pelayanan  KTP? Ini adalah pertanyaan yang mendua, karena menanyakan tentang dua hal sekaligus, yaitu kualitas dan harga. Sebaiknya pertanyaan tersebut dijadikan menjadi dua yaitu bagaimanakah kualitas pelayanan KTP? Bagaimanakah kecepatan pelayanan?
5)       Tidak menanyakan yang sudah lupa
Setiap pertanyaan dalam instrumen angket, sebaiknya juga tidak menanyakan hal-hal yang sekiranya responden sudah lupa, atau pertanyaan yang memerlukan jawaban dengan berpikir berat. Contoh: Bagaimanakah kinerja para penguasa Indonesia 30 tahun yang lalu? Menurut anda, bagaimanakah cara mengatasi krisis ekonomi saat ini? (kecuali penelitian yang mengharapkan pendapat para ahli). Kalau misalnya umur responden baru 25 tahun, dan pendidikannya rendah, maka akan sulit memberikan jawaban dari pertanyaan semacam itu.
6)               Pertanyaan tidak menggiring
Pertanyaan dalam angket sebaiknya juga tidak menggiring ke jawaban yang baik saja atau ke yang jelek saja. Misalnya: bagaimanakah kalau bonus atas jasa pelayanan ditingkatkan? Jawaban responden tentu cenderung akan setuju. Bagaimanakah prestasi kerja anda selama setahun terakhir? Jawabannya akan cenderung baik.
7)               Panjang pertanyaan
Pertanyaan dalam angket sebaiknya tidak terlalu panjang, sehingga akan membuat jenuh responden dalam mengisi. Bila jumlah variabel banyak sehingga memerlukan instrumen yang banyak, maka instrumen tersebut dibuat bervariasi dalam penampilan, model skala pengukuran yang digunakan, dan cara mengisinya. Disarankan empirik jumlah pertanyaan yang memadai adalah antara 20 s/d 30 pertanyaan.
8)               Urutan pertanyaan
Urutan pertanyaan dalam angket, dimulai dari yang umum menuju ke hal yang spesifik, atau dari yang mudah menuju ke hal yang sulit, atau diacak. Hal ini perlu dipertimbangkan karena secara psikologis akan mempengaruhi semangat responden untuk menjawab. Kalau pada awalnya sudah diberi pertanyaan yang sulit, atau yang spesifik, maka responden akan patah semangat untuk mengisi angket yang telah mereka terima. Urutan pertanyaan yang diacak perlu dibuat bila tingkat kematangan respon terhadap masalah yang ditanyakan sudah tinggi.

b.       Prinsip Pengukuran
Angket yang diberikan kepada responden adalah merupakan instrumen penelitian, yang digunakan untuk mengukur variabel yang akan diteliti. Oleh karena itu instrumen angket tersebut harus dapat digunakan untuk mendapatkan data yang valid dan reliabel tentang variabel yang diukur. Sugiyono (2013:121) menjelaskan valid berarti instrumen dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur, sedangkan reliabel berarti instrumen yang bila digunakan beberapa kali untuk mengukur objek yang sama, akan menghasilkan data yang sama.
Supaya diperoleh data penelitian yang valid dan reliabel, maka sebelum instrumen angket tersebut diberikan pada responden, maka perlu diuji validitas dan reliabilitasnya terlebih dulu. Instrumen yang tidak valid dan reliabel bila digunakan untuk mengumpulkan data, akan menghasilkan data yang tidak valid dan reliabel pula.
Arikunto (2010:269) mengatakan bahwa untuk memperoleh kuisioner dengan hasil yang mantap adalah dengan proses uji coba. Sampel yang diambil untuk keperluan uji coba haruslah sampel dari populasi dimana sampel penelitian akan diambil. Dalam uji coba, responden diberi kesempatan untuk memberikan saran-saran perbaikan bagi kuisioner yang diujicobakan itu. Situasi sewaktu uji coba dilaksanakan harus sama dengan situasi kapan penelitian yang sesungguhnya dilaksanakan.

c.        Penampilan Fisik Angket
Penampilan fisik angket sebagai alat pengumpul data mempengaruhi respon atau keseriusan responden dalam mengisi angket. Angket yang dibuat di kertas buram, akan mendapat respon yang kurang menarik bagi responden, bila dibandingkan angket yang dicetak dalam kertas yang bagus dan berwarna. Tetapi angket yang dicetak di kertas yang bagus dan berwarna akan menjadi mahal.
Sedangkan Gibson dan Mitchell (2011:418) memberikan empat pertimbangan dasar yang layak diperhatikan untuk merancang kuesioner yaitu sebagai berikut:
1)       Instruksi: Jelaskan tujuan instrumen dan berikan cara menyelesaikan kuesioner dalam kata-kata yang sejelas dan seringkas mung­kin.
2)       Rancangan item: Rancanglah item yang jelas, ringkas dan tidak rumit. Item mestinya hanya mengarah ke satu respons dan harus dinyatakan dengan suatu cara sehingga perespons tidak terhiaskan atau terpengaruh oleh pemikiran lain bagi caranya merespons. Item kuesioner mestinya disesuaikan dengan tingkat bahasa responden.
3)       Kandungan item: Pertanyaan mestinya dirancang untuk mengumpulkan beberapa jenis informasi yang tepat dengan tujuan asesmen instrumen. Namun, kehati-hatian harus ditingkatkan terkait sensitivitas sosial, perbedaan budaya atau informasi pribadi lain­nya. Contohnya, item-item seperti "Apakah Anda pernah berhubungan seksual sebelum menikah?", atau "Apakah Anda pernah berpikir untuk melakukan sebuah kejahatan?", mungkin dapat memunculkan kemarahan atau kecurigaan pada beberapa responden yang kemudian akan mengubah respons mereka terhadap keseluruhan kuesioner. Meskipun item kuesioner yang tidak ditandai boleh diberlakukan untuk topik yang sensitif, namun ia tidak punya nilai apa pun bagi proses konseling.
4)       Panjang kuesioner: Pertimbangan terakhir namun penting adalah kuesioner jangan terlalu panjang, atau terlalu pendek. Kuesioner yang terlalu panjang melemahkan niat responden menyelesaikannya, namun yang terlalu pendek akan menghilangkan kemung­kinan mengumpulkan data yang penting bagi proses konseling. Panjang kuesioner harus bisa memfasilitasi pengumpulan data penting, sangat baik jika dapat disesuaikan dengan tujuan kon­seling, yang untuk maksud ini kuesioner dirancang.
Ada hal lain pula yang perlu menjadi pertimbangan dalam penyusunan kuesioner serta penggunaannya yaitu terkait penentuan responden, pemberian nama responden dalam kuesioner dan cara penyebaran kuesioner. Arikunto (2010:268) mengatakan bahwa penentuan sampel sebagai responden kuesioner perlu mendapat perhatian jika memang data yang dibutuhkan cukup dengan perwakilan dari suatu populasi. Apabila salah mengambil sampel, informasi atau data yang dibutuhkan barangkali tidak akan diperoleh secara maksimal.
Pemberian nama responden pada kuesioner (angket) juga perlu dipertimbangkan. Arikunto (2010:269) mengatakan angket anonim (tanpa nama) memang ada kebaikannya karena responden bebas mengemukakan pendapat. Akan tetapi penggunaan angket anonim mempunyai beberapa kelemahan pula, yaitu:
1)   Sukar ditelusuri apabila ada kekurangan pengisian yang disebabkan karena responden kurang memahami maksud item.
2)   Tidak mungkin mengadakan analisis lebih lanjut apabila peneliti ingin memecah kelompok berdasarkan karakteristik yang diperlukan.
Arikunto menambahkan bahwa penelitian yang dilakukan oleh Francis J. Di Vesta memberikan gambaran hasil bahwa tidak ada perbedaan ketelitian jawaban yang diberikan oleh orang dewasa, baik yang anonim maupun yang bernama. Faktor-faktor yang mempengaruhi perlu tidaknya angket diberi nama adalah:
1)      Tingkat kematangan responden.
2)      Tingkat subjektivitas item yang menyebabkan responden enggan memberikan jawaban.
3)      Kemungkinan tentang banyaknya angket.
4)      Prosedur (teknik) yang akan diambil pada waktu menganalisis data.

Terkait penyebaran atau pemberian kuesioner (angket) kepada responden juga perlu diperhatikan. Sugiyono (2013:142) menjelaskan bila penelitian dilakukan pada lingkup yang tidak terlalu luas, sehingga kuesioner dapat diantarkan langsung dalam waktu tidak terlalu lama, maka pengiriman angket kepada responden tidak perlu melalui pos. Dengan adanya kontak langsung antara peneliti dengan responden akan menciptakan suatu kondisi yang cukup baik, sehingga responden dengan sukarela akan memberikan data obyektif dan cepat.

4.    Prosedur Penyusunan Kuesioner
Sebelum suatu kuesioner disusun, maka perlu melalui beberapa prosedur sebagai berikut (Arikunto, 2010:268):
a.       Merumuskan tujuan yang akan dicapai dengan kuesioner.
b.      Mengidentifikasikan variabel yang akan dijadikan sasaran kuesioner.
c.       Menjabarkan setiap variabel menjadi sub-variabel yang lebih spesifik dan tunggal.
d.      Menentukan jenis data yang akan dikumpulkan, sekaligus untuk menentukan teknik analisisnya. 
5.      Penggunaan Kuesioner dalam Konseling Karier
Ada berbagai cara untuk bagaimana penggunaan yang tepat waktu dan sensitif kuesioner-kuesioner psikometrik dan kuesioner-kuesioner lain dapat membantu secara signifikan proses konseling karier. Nathan dan Hill (2012:137) mengatakan bahwa pendekatan semacam itu dapat berfungsi untuk : menyediakan sebuah kerangka kerja untuk dialog, meningkatkan kejelasan dan rasa percaya diri, membangkitkan insights personal baru, membantu perspektif-perspektif jangka panjang, mengurangi resiko pengambilan keputusan yang serampangan, dan membantu menjelaskan perilaku di tempat kerja di masa lalu.
Contoh kuesioner yang digunakan dalam konseling karier ialah kuesioner motivasi. Jim Barrett (2006:18) mengatakan bahwa kuesioner motivasi yang umum ialah kuesioner yang mencakup sebagian jenis pekerjaan di semua tingkat. Jika Anda sudah pribadi yang dewasa dan mungkin telah memiliki karir dengan tanggung jawab, mungkin sebagai manajer, Anda dapat diminta untuk menyelesaikan kuesioner yang dirancang khusus untuk para manajer Ketika Anda pergi untuk wawancara. 
B.  Informasi Karier (Kerja)
1.    Sistem Bantuan Karier Terkomputerisasi
Penggunaan komputer terus meningkat dengna cepat sembari memperoleh penerimaan publik yang semakin luas. Komputer, yang sudah populer dibidang bisnis, industri dan pendidikan tinggi, sekarang telah umum digunakan di sekolahan pada jenjang kelas berapapun, dan demam komputer rumahan akan terus berlanjut (Gibson, 2011: 503). Kepuasan anak-anak muda dengan komputer cukup menakjubkan, tercermin bukan hanya dari minat mereka pada games online atau offline, tetapi juga penggunaan internet dan sejumlah tambahan perangkat lunak dan keras untuk musik, kreasi gambar, kreaktivitas rancangan 3-D dan sumber rujukan pengetahuan terpercaya. Faktanya, anak muda AS sekarang sudah banyak yang melek-komputer, kendati harus menggunakan layanan komputer diperpustakaan bagi mereka di kelas ekonomi menengah kebawah. Minat siswa sdi semua usia pada komputer telah memberikan sekolah kesempatan tak terelakkan bagi penggunanya dalam motivasi dan pembelajaran. Potensi ini muncul bagi program konseling sekolah juga, khususnya untuk menyediakan informasi dan bantuan karier.
Penggunaan komputer di dalam program konseling dalam lingkup pendidikan bukan barang baru, sudah dimulai sejak 1960-an, namun pengenalan mikrokomputer ditahun 1970-an mempromosikan perubahan-perubahan utama selain juga kesempatan bagi penggunaan sistem biumbingan karier dibantu komputer. Keuntungan ekonomi dan teknis mikrokomputer terus menjadi stimulus utama penggunanya di lingkup sekolah untuk tujuan bimbingan konseling karier.
a.       Jenis Sistem Bantuan Karier Terkomputerisasi
Di bagian berikut, dua jenis sistem akan dibahas secara ringkas yaitu sebagai berikut:
1)      Sistem informasi
Sistem informasi umumnya dirancang untuk menyediakan bagi para pengguna skema penelusuran terstruktur bagi pekerja dan penyebaran informasi kerja dan pendidikan bagi pengguna. Langkah-langkah prosedural ini bisa digunakan secara terpisah atau secara berurutan. Dibagian awal, pengguna dapat menyelesaikan tugas atau menyediakan rating, bahkan skor tesnya, yang mengindikasi minat dan bakat sebagai basis untuk penelusuran komputer bagi pekerja yang sesuai. Di dalam proses penilaian informasi, pengguna dapat menilai informasi untuk terkait pekerjaan tertentu. Komputer bisa juga bisa diprogram untuk merespons pertanyaan khusus yang mungkin ditanyakan pengguna tentang pekerjaan.
Pengembangan sistem informasi banyak stimulasikan oleh dana yang disediakan oleh Depnaker AS dan Komite \Pengoordinasi Informasi pekerjaan Nasional yang memampukan negara memampukan ini sebagai sistem informasi karir skala federal. Banyak orang mengenal sistem ini sebagai sistem informasi karir/CIS (Carier Information System), menitik beratkan informasi lokal dan regional. Sistem informasi yang lain diidentifikasi sebagai sistem informasi bimbingan/ GIS (Guidance information system), menyediakan akses untuk beragam jenis data nasional terkait karir, peluang pendidikan dan layanan bersenjata. Beberapa sistem inventori minat juga tersedia sebagai pilihan. 
2)      Sistem bimbingan
Sistem bimbingan lebih luas cakupannya dan lebih instruktif ketimbang sistem informasi, menyediakan tambahan bagi penelusuran terorganisasi dan fungsi penyebaran sistem informasi modul-modul seperti penilaian diri, instruksi dalam pengambilan keputusan, dan perencanaan kedepan. Duanya saling populer adalah sistem Bimbingan Interaktif dan Informasi. SIGI (system of Interaktif Guidance and Information) yang sekarang sudah diperbaharui versinya sebagai SIGI PLUS dikembangkan dan dioasarkan lewat lembaga Educational Testing Secvice Protecton, New Jersey; dan Sistem DISCOVER yang dikembangkan oleh Joann Harris-Bowlsbey dan dipasarkan lewat Discover Inc. Di Hunt Valley, Maryland dan American College Testing Program.
Sistem SIGI dirandang awalnya untuk membantu siswa akademik, universitas dan individu dewasa di luar lingkup sekolah. Namun, sekarang SIGI diaplikasikan juga untuk siswa kelas 4 SD sampai individu dewasa diberbagai lingkup. SIGI PLUS terdiri dari 9 modul: (a) Pendahuluan (orientasi hingga prosesnya), (b) Assesment diri, (c) Penelusuran (kemungkinan pekerjaan yang disukai), (d) Informasi (terkait pekerjaan yang memungkinkan), (e) Ketrampilan, (f) Persiapan, (g) Pengentasan (memampukan individu mengerjakan yang diisyaratkan), (h) Memutuskan (pengambilan keputusan), dan (i) langkah-langkah berikutnya (membuat rencana menjadi tindakan nyata).
b.      Informasi Karier dan Internet
Internet memiliki sejumlah besar volume informasi tentang topik riset apapun. Berikut ini sejumlah situs Web yang berkaitan dengan kesadaran karier. Coba ingat-ingatlah alamat Webnya atau kalau perlu dicatat di buku tersendiri.  Dari setiap entri di mesin pencari internet, kita masih bisa menemukan banyak lagi situs lain yang menarik dalam Gibson, 2011: 506 (Cutshall, 2011: 32) :
About.com: Career Plainning,
Carrerplanning.about.com
America’s Career Info Net,
                        www.acnet.org/acinet
America’s Job Bank
                        www.ajb.dni.us
Best Jobs USA
                        www.bestjobsusa.com

Berikut ini adalah taksonomi konseling tahap tatap-muka dan konseling jarak jauh yang dibantu-teknologi:
Tabel Taksonomi Konseling Tahap Tatap Muka Dan Jarak Jauh
ü  Konseling Tatap Muka
v  Konseling pribadi
v  Konseling pasangan
v  Konseling kelompok
ü  Konseling Jarak Jauh Dibantu-Tekhnologi
v  Telekonseling
v  Konseling pribadi berbasis-telepon
v  Konseling pasangan berbasis-telepon
v  Konseling kelompok berbasis-telepon
ü  Konseling Internet
v  Konseling pribadi berbasis e-mail
v  Konseling pribadi berbasis-chating
v  Konseling pasangan berbasis-chating
v  Konseling kelompok berbasis-chating
v  Konseling pribadi berbasis-video
v  Konseling pasangan berbasis-video
v  Konseling kelompok berbasis-video
Sumber: National Board for Certified Counselors, Inc. Dan Center For Credentialing And Education ,Inc, the Practice Of Internet Counseling (2011: 2) © National Board For Certified Counselors And Afilliates, 3 Terrace Way, Suite D, Greensboro, NC 274033660

Pemberian konseling jarak jauh yang dibantu teknologi terus tumbuh dan berkembang sampai sekarang sering dengan kontroversi yang juga terus menguat atasnya. Di dalam kategori ini, konseling telepon juga sudah digunakan secara luas namun ia pun masih tidak luput dari kontroversi tersebut.
c.       Pertimbangan-Pertimbangan Etis
Pertumbuhan cepat penggunaan komputer dibanding konseling dan penggunaan di masa depan yang terus meningkat telah melontarkan pertanyaan etis tertentu terkait penggunaan komputer dalam konseling. Masalah potensial dalam kerahasiaan, kekeliruan interpretasi oleh klien terhadap tes dan data lain, dan kekurangannya interaksi konselor yang tepat dengan klien hanyalah satu dari sekian contoh prinsip-prinsip yang disarankan Sampson dan Pyle (1982: 285-286) tampaknya terus menjadi pedoman etis yang tepat ketika menggunakan sistem konseling, pengentasan dan bimbingan yang dibantu komputer, yaitu:
1)      Memastikan bahwa kerahasiaan data yang dikirim lewat komputer terbatas hanya kepada informasi yang tepat dan dibutuhkan bagi layanan yang disediakan.
2)      Memastikan bahwa kerahasiaan data yang dikirim lewat komputer dihancurkan setelah tidak lagi dibutuhkan bagi layanan konseling
3)      Memastikan bahwa kerahasiaan  data yang dikirim lewat kkomputer akurat dan menyeluruh.
4)      Memastikan bahwa akses kepada data terbatas dan hanya untuk profesional yang tepat dengan menggunakan program pengaman komuter yang terbaik.
5)      Memastikan bahwa mustahil bagi pihat-pihak yang tidak berkempetingan untuk mengidentifikasi individu pemilik data rahasia yang dikirimkan lewat komputer melalui sistem jaringan yang disediakan konselor.
6)      Memastikan bahwa format yang diisi partisipasi diterima oleh pihak-pihak yang berhak meniali, membimbing atau yang melakukan konseling.
7)       Memastikan perlengkapan dan program penskoran tes terkontrol-komputer berungsi dengan tepat sehingga menyediakan bagi individu hasil-hasil tes yang akurat.
8)      Memastikan bahwa interprestasi umum terhadap  hasil tes yang disajikan lewat peranti audiovisual terkontrol mikro-komputer secara akurat mencerminkan tujuan pembuatan tes.
9)      Memastikan kebutuhan klien sudah dinilai untuk menentukan sistem mana yang tepat untuk digunakan sebelum menggunakan sistem pengentasan, bimbingan atau konsleing yang dibantu komputer.
10)  Memastikan bahwa pengenalan bagi penggunaan sistem pengentasan, bimbingan dan konseling dibantu-komputer sudah tersedia untuk mengurangi kecemasan yang mungkin muncul terkait sistem, kesalahpahaman tentang peran komputer, dan kesalahpahaman tentang konsep dasar atau pengoprasian sistem
11)  Memastikan bahwa aktivitas tindak-lanjut yang menggunakan sistem pengentasan, bimbingan dan konseling dibantu-komputer sudah tersedia untuk mengoreksi kesalahpahaman, kesalahan konsep atau penggunaan tidak tepat lainnya ketika menilai kebutuhan klien.
12)  Memastikan bahwa informasi yang terkandung di dalam konseling karier dibantu-komputer dan sistem bimbingan yang akurat dan terbaru.
13)  Memastikan bahwa perlengkapan dan program yang mengoperasikan pengentasan,bimbingan dan  konseling yang dibantu komputer berfungsi dengan benar.
14)  Menentukan kebutuhan intervensi konselor tergantung pada kemungkinan bahwa klien akan mengalami sejumlah kesulitan yang pada gilirannya membatasi efektivitas sistem atau sebaliknya, malah memperburuk problem klien. Menjadi tanggung jawab konselor untuk menentukan apakah pendekatan terbaik yang bisa dilakukan untuk menghindari problem, dan jika ini tetap terjadi, penyelesaian terbaik selalu berupa intervensi langsung atau tidak langsung menyarankan klien membaca buku-buku panduan, latihan tertentu atau kalau perlu lewat telepon dan tatap muka.
Di tahun 1997, National Career Development Association (NCDA) mengesahkan NCDA Guidelines For The Internet For Provisiion Of Career Information And Planning Services. Tentunya kita harus berharap kalau perkembangan yang cepat di dalam teknologi komputer tidak mendorong “pengabaian pertimbangan” pertimbangan-pertimbangan yang cermat terhadap isu-isu etik yang terlibat. Konselor juga harus memiliki tanggung jawab etis untuk menyadari dan berusaha memenuhi kompetensi konseling karir seperti yang diidentifikasikan lewat NCDA. Kompetensi ini bisa dilihat dati wabesite NCDA (w.w.w.ncda.org). ini semua sangat signifikan bagi spesialisasi konseling karir atau yang deskripsi kerjaannya membutuhkan perhatian penting bagi kebutuhan karier klien-kliennya. 
2.    Informasi Karier
NCDA kemudian NVGA dalam Gladding (2012:405) mendefinisikan “informasi kerier sebagai informasi yang berhubungan dengan dunia pekerjaan yang dapat berguna dalam proses pengembangan karier, termasuk informasi pendidikan, jabatan, dan psikososial yang berhubungan dengan pekerjaan , seperti, pelatihan yang disediakan, sifat pekerjaan, dan status pekerjaan dalam berbagai jabatan.”(Sears dalam Gladding, 2012:405). Istilah yang lebih moderen untuk informasi karier adalah data karier yang artinya, “ sekumpulan fakta mengenai peluang jabatan dan pendidikan” (Niles & Harris-Bowlsbey dalam Gladding, 2012:405). Data menjadi informasi hanya jika “ dipahami oleh klien dan digunakan sebagai informasi dalam membuat keputusan, yaitu, membantu klien memilih satu alternatif  diantara berbagai alternatif lainnya.
Seperti telah didiskusikan pada bab sebelumnya, kata bimbingan biasanya berarti aktivitas yang berhubungan secara primer dengan pendidikan. Bimbingan karier mencakup semua aktivitas yang mencoba untuk menyebarkan informasi mengenai jabatan masa kini atau masa depan, sehingga orang-orang menjadi lebih tahu dan sadar mengenai siapa mereka dalam hubungannya dengan dunia pekerjaan. Aktivitas bimbingan dapat berwujud:
a.       Pameran karier (mengundang para praktisi dari sejumlah bidang untuk menjalankan tugas-tugas mereka).
b.      Tugas kepustakaan,
c.       Wanwancara lapan,
d.      Informasi pengalaman lewat komputer,
e.       “Bayangan “karier (mengikuti rutinitas pekerjaan sehari-hari seseorang).
f.       Pengajaran didaktik.
g.      Latihan pengalaman seperti bermain peran misalnya.
Bimbingan karir penyebaran informasi karir secara tradisional digambarkan sebagai aktivitas sekolah. Tetapi prosesnya lebih sering dilakukan diluar lingkungan kelas, misalnya, di lembaga pemerintahan, industri, perpustakaan, dan rumah-rumah atau dengan praktisi pribadi (Harris-Bowlsey dalam Gladding, 2012:405). Sejumlah sistem perencanaan karier berbasis komputer (CBCPSs) dan sistem bimbingan karir yang dibantu komputer (CACGS) menawarkan informasi karier dan membantu para individu untukmemilih nilai dan minat mereka, atau mencari informasi pekerjaan. Salah satu kelebihan sistem perencanaan dan bimbingan berbasis komputer dan dibantu komputer adalah, aksesnya tersedia di banyak tempat dan dapat digunakan oleh orang-orang yang berbeda lintas budaya dan usia.
3.    Menggunakan Informasi Kerja
Pada tahap proses konseling kerier ini, klien seharusnya sudah diinsyafkan dari gagasan bahwa konselor karier adalah “mak jomblang,” artinya seseorang yang akan mentranslasikan informasi tentang klien menjadi “jodoh karier” yang sempurna, dan yang tahu seluruh hal-ilwal pekerjaan yang dimaksud (dengan semua pekerjaan lainnya juga) (Nathan dan Hill, 2012:155). Akan tetapi, untuk membuat keputusan tentang rangkaian tindakan yang akan ditempuh, klien benar-benar membutuhkan informasi tentang berbagai opsi (misalnya, pendiidkan dan pelatihan, opsi-opsi karir yang terkait, berbagai peluang pekerjaan, jalur-jalur karier di dalam sebuah organisasi, alternatif untuk karir-karier tradisional). Klien membutuhkan informasi tentang apa yang ingin dilakukannya, (terkait minat, keribadian, dan nilai-nilai mereka) dan apa yang dapat dilakukannya (dengan kapabilitas, keterampilan, dan kualifikasi mereka). Informasi yang baik akan memungkinkan klien untuk mengakses dirinya sendiri dalam kaitnya dengan berbagai macam pilihan.
Banyak konselor karier merasa cemas tantang topik informasi pekerjaan. Hal ini dapat dipahami: ada begitu banyak informasi pekerjaan yang membingungkan, dengan beragam khualitas, diberbagai media, dan beraneka sumber. Dengan kemauan terbaik di dunia, benar-benar tidak mungkin untuk mengikuti informasi tentang semua kemungkinan karier. Aksesbilitas ke berbagai macam informasi di internet jelas mempermudah tugas riset baik bagi klien maupun konselor karier. Akan tetapi, tidak adanya kategorisasi berarti bahwa informasi semacam itu harus didekati dengan kerangka-kerja dan fokus yang jelas, (Nathan dan Hill, 2012:156).
Konselor karier seharusnya memiliki pengetahuan tentang bagaimana cara mengakses informasi. Seperti layaknya seorang praktisi umum, kadang-kadang perlu untuk merujuk klien ke” konsultan”, orang yang memiliki pengetahuan terperinci tentang karier tertentu. 
4.    Peran Informasi
Menurut Nathan dan Hill (2012:157) peran informasi sangat penting dan tepat guna ketika:
a.       Klien perlu mempertimbangkan realisme ide-ide mereka, dalam kaitannya dengan persyaratan masuk kerja (misalnya, apakah aku memenuhi syarat untuk berlatih sebagai seorang pengacara?”).
b.      Klien merasa terkendala di dalam sebuah pekerjaan (sebagai contoh,” apa lagi yang dapat dilakukan seorang guru selain mengajar?).”
c.       Klien memiliki ide-ide yang sempit dan ingin memeperluas cakrawalanya. (sebagai contoh,” aku selalu bekerja dengan binatang-apalagi karier-karier yang ada?)”
d.      Ide-ide klien didikte oleh gagasan glamor atau romantis (misalnya, “seperti apa sebenarnya bekerja di bidang industri perjalanan itu?”).
e.       Klien perlu mengembangkan keyakinan yang lebih besar tantang kecocokan sebuah pekerjaan sebelum memulai perlatihan (misalnya,” apakah fisioterapi cocok bagiku?)”
Membantu klien memepertimbangkan informasi yang mungkin sudah dimiliki klien, dan informasi mana yang mungkin bertindak sebagai penghalang untuk mempertimbangkan opsi-opsi lain. Latar belakang sosial-ekonomi individu bisa menjadi salah satu determinan kunci dari hal ini. 
5.    Membantu Klien Untuk Memunculkan Berbagai Opsi
Nathan dan Hill (2012: 158) menjelaskan bahwa banyak klien yang membutuhkan dukungan untuk memikirkan ide-ide yang “keluar dari kotak”. Kami menganggap sangat berguna untuk memberi klien latihan sebagai kerangka-kerja untuk memunculkan ide-ide awal sebelum sesi “curah pendapat” bersama. Klien didorong untuk menggunakan “job statisfiers” mereka dengan merangkum berbagai latihan untuk memfokuskan ide-ide mereka, tetapi tetap berpikir terbuka. Kami mendorong mereka untuk “memerhatikan” pekerjaan yang dilakukan orang-orang sekitar mereka, teman, tetangga, dan sispapun yang memiliki hubungan sehari-hari dengannya, dan melihat beberapa wabesite yang direkomdasikan dan direktori karier yang tepat guna. Kadang-kadang ada gunanya utnuk memberi klien sebuah klasifikasi karier, Seperti The Careers Library Classification Index (CLCI) yang digunakan dalam perpustakaan-perpustakaan kerier dan didalam direktori-direktori informasi pekerjaan. Yang lain adalah kategori-kategori Holland dalam Nathan dan Hill, 2012: 159 (Holland, 1983) yang sudah kami rujuk sebelumnya. Tema ini dapat memperluas ide-ide misalnya didalam CLCI, dengan melihat “banking” (Perbankan) akan membawa klien dimana informasi tentang karier-karier lain dibidang keuangan juga ditemukan.
Saran-saran untuk memunculkan berbagai opsi tentang karier adalah:
a.       Mengingat kenangan-kenangan ambisi awal ,
b.      Gambarkan situasi pekerkjaan ideal anda dan setelah itu lihat apa yang akan dipresentasikan,
c.       Lingkari ilkan, pekerjaan yang menarik.
d.      Buat daftar pekerjaan-pekerjaan setiap teman/saudara/tetangga yang anda kenal dan pilih enam yang memiliki daya tarik tertentu.
e.       Tandai pekerjaan-pekerjaan yang menarik didalam indeks sebuah direktori karier.
f.       Curah pendapat ide-ide bersama seorang teman/rekan sejawat/ konselor karier.
g.      Lihat artikel-artikel didalam buku-buku referensi untuk semua ide yang sudah andan miliki, pekerjaan memberikan daftar karier-karier sejenis, sebagai contoh, seorang klien yang tertarik dengan arsitektur akan menemukan teknik sipil, surveying, dan arsitektur lanskap disarankan disana.
h.      Selama seminggu, selama meonton televisi atau melihat orang-orang lain ditempat kerjanya, catat pekerjaan-pekerjaan yang menarik bagi anda.
i.        Pertimbangkan alternatif-alternatif kreaktif juga, misalnya wirausaha, franchising, pekerjaan kerelawanan, menggabungkan dua pekerjaan atau paruh-waktu (misalnya mengajar dan menulis). 
6.    Informasi yang Dibutuhkan oleh Konselor Karier
Konselor karier seharusnya mengetahui tentang berbagai sumber informasi, dan paling tidak memiliki sebuah pengetahuan umum tentang karier, misalnya tentang berbagai bidang pekerjaan sebagai berikut sebagaimana yang dituliskan oleh Nathan dan Hill (2012:160):
a.       Angkatan bersenjata,
b.      Adminitrasi, bisnis, klerikal, dan manajemen.
c.       Seni, kerajinan, dan desain.
d.      Mengajar dan kegiatan-kegiatan kultural,
e.       Hiburan dan kegiatan-kegiatan waktu luang,
f.       Hospitality, katering, dan jasa-jasa lainnya.
g.      Pelayanan kesehatan dan medis,
h.      Pelayanan sosial dan pelayanan-pelayanan terkait.
i.        Hukum dan pekerjaan terkait,
j.        Jasa keamanan dan perlindungan,
k.      Keuangan dan pekerjaan terkait,
l.        Pembelian, penjualan dan jasa-jasa terkait.
m.    Teknik,
n.      Industri manufaktur,
o.      Jasa kontruksi dan pertanahan,
p.      Binatang, tumbuhan dan lingkungan,
q.      Transportasi.
7.    Sumber-Sumber Informasi Non-Tertulis
Sumber pekerjaan paling berharga adalah pengalaman kerja klien sendiri (yang mau tak mau terbatas). Buku-buku referensi hanya memberikan informasi faktual, dan bukan esensi riil pekerjaan. Informasi “psikososial” adalah informasi pekerjaan yang memberikan tambahan bagi ide tentang seperti apakah pekerjaan itu sebenarnyandibanding informasi yang ditemukan didalam buku-buku dan pamflet. Nathan dan Hill (2012:162) menambahkan jenis-jenis pertanyaan yang biasanya tidak disinggung di dalam buku-buku karier yaitu termasuk:
a.       Bagaimana pekerjaan yang sama berbeda didalam sebuah organisasi kecil, bukan didalam sebuah organisasi besar. (contoh, seorang administrator perempuan yang membutuhkan kekuasaan dan pengaruh menyadari bahwa ia akan lebih berkemungkinan untuk mencapai itu didalam sebuah organisasi kecil).
b.      Bagaimana kecocokan budaya perusahaan atau karier dengan identitas individu yang bersangkutan? (misalnya, seorang insiyur mesin gay merasa sangat nyaman di lingkungan yang “macho”).
c.       Bagaimana persyaratan suatu pekerjaan memengaruhi kedua pasangan disebuah hubungan (misalnya, seorang petugas pemadam kebakaran menikahi seorang perempuan yang tidak dapat menerima derajat resiko yang terlibat dalam pekerjaan suaminya).
d.      Apa saja pola-pola interaksi dengan orang lain? (misalnya, seorang sekertaris yang dipromosikan keposisi manajer kantor yang menemukan bahwa pertemanannya dengan orang-orang yang tidak menjadi teman sejawatnya lagi terpengaruh oleh itu).
e.       Apa gaya hidup pekerjaannya, dan apakah itu akan memungkinkan klien untuk memiliki gaya hidup yang secara keseluruhan diinginkannya? (sebagai contoh, pekerjaan-pekerjaan yang melibatkan kerja dimalam hari atau di akhir pekan mungkin akan melibatkan berbagai kesulitan bagi seorang petesis kompetitif.)
Informasi ini lebih sulit untuk ditemukan, hal ini lebih mungkin ditemukan didalam kepala orang lain. Ada berbagai kompleksivitas karena pengalaman pekerjaan begitu bervariasi sehingga banyak macam pola macam kebutuhan, kepribadian, dan preferensi gaya hidup dapat dipenuhi. Sebagai contoh, didalam pekerjaan konselor, sebagian orang bekerja sebagai salah satu anggota tim,yang lain bekerja sendiri, tanpa dukungan teman sejawat, sebagian memiliki kontak yang relatif singkat atau superfisial dengan banyak orang, sebagain memiliki hubungan jangka panjang intensif dengan sejumlah kecil klien. Berukut ini adalah beberapa metode untuk mendapatkan informasi psikososial:
a.       Kunjungan, observasi, work shadowing , pengalaman paruh waktu atau temporer.
b.      Mewawancarai seseorang disebuah pekerjaan.
c.       Badan profesi/ asosiasi perdagangan-sebagai contoh, the law society untuk informasi tentang karier hukum.
d.      Kontak-kontak pribadi; orang tua, patner, saudara, teman sejawat, mantan teman sejawat, dan teman (bersama kontak-kontak mereka) dapat menjadi sumber-sumber informasi pekerjaan yang berharga. Secara umum, semakin jauh informasi diperoleh, “ dari mulut kuda” (sumber informasi awal yang dapat dipercaya), semakin kurang nerharga pula informasi itu.

8.    Informasi Pekerjaan Sebagai Pedoman Bagi Konselor Karier
Nathan dan Hill (2012:165) menjelaskan beberapa pedoman yang harus diperhatikan bagi konselor karier terkait informasi pekerjaan yang diberikan kepada klien, yaitu:
a.       Pastikan bahwa klien memahami bahwa merekalah yang bertanggung jawab untuk melakukan risetnya sendiri. Hal ini mestinya sudah dimulai tahap contracting. Riset bukan sebuah proses klinis-vital bahwa klien”merasa memiliki” bagian prosesnya, tetapi juga tahu sumber daya apa yang tersedia, dan bagaimana cara mengaksesnya.
b.      Hindari penggunaan sesi konseling karier sebagai sarana untuk memasok informasi kepada klien. Ada bahaya mengacaukan kontraknya.
c.       Tunjukan kepada klien bagaimana cara menghasilkan sebuah daftar bagaimana kemungkinan karier.
d.      Bantu klien menjawab pertanyaan, “informasi apa yang saya butuhkan ?” dan, “dimana dan bagaimana saya bisa mendapatkan”?.
e.       Arahkan klien kesumber-sumber informasi formal dan tertulis yang cendrung tidak memihak dan objektif, dan juga ke sumber-sumber lisan –informal bilamana mungkin.
f.       Dorongan dan ukungan yang kuat dari klien didalam proses meriset opsi-opsi karier secara terperinci.
g.      Bantu klien untuk mengaitkan informasi pekerjaan seobjektif mungkin dengan hasil-hasil konseling karier. Sebagai contoh, seorang klien sangat tertarik menjadi pengacara, tetapi tidak terlalu pandai bicara dengan mencoba meyakinkan sendiri bahwa dia pandai bicara ketika membaca bahwa inilah salah satu kualitas yang dibutuhkan. Mungkin membantu untuk membantu memberikan beberapa pertanyaan untuk diajukan ketika meriset. Sebagai contoh, “apa yang benar-benar cocok ayau tampaknya cocok dengan diri saya?” dan dapatkah saya melihat diri saya sendiri seperti ini?”dan, dapatkah saya melihat diri saya sendiri menjadi seperti ini”?.
h.      Bantuan klien untuk mengevaluasi informasinya, dan peringatkan mereka tentang ketidakakuran atau ketidaklengkapan sebagian informasi. Sebagai contoh, kebanyakan informasi pekerjaan ditunjukkan kepada school leavers, dan persyaratan-persyaratan entrynya kemungkinan berbeda di dalam praktik untuk entrants yang usianya sudah matang.
i.        Dukung klien dalam mengatasi reaksi-reaksi emosional mereka ketika mengumpulkan informasi. Sebagian klien akan membutuuhkan dukungan lebih jauh ketika menemui kesulitan atau kemunduran.
Meriset informasi pekerjaan dapat menghasilkan insaights yang mengejutkan begi seorang klien, dan menghasilkan revisi atas konsep dirinya. 
9.    Informasi Pasar Kerja
Pemerintah telah menyediakan informasi pasar kerja secara online. Bagi orang-orang yang ingin menggunakan web-nya, pemerintah mempublikasikan Labour Market Trends secara bulanan, dan ini dapat diakss diperpustakaan-perpustakaan referensi. Untuk informasi lebih terperinci (misalnya tentang tren-tren pekerjaan dibidang pekerjaan tertentu), kami menyarankan untuk mendekati badan perwakilan untuk pekerjaan itu. Informasi dari sumber-sumber ini mungkin lebih anecdotal,  tetapi juga akan lebih spesifik. Informasi tentang tren pekerjaan dan lowongan pekerjaan berubah sangat cepat dan tidak tersedia luas dalam buku referensi. Laporan sesekali dibuat, misalnya oleh the Skills and Enterprise Network, tetapi informasi sebaiknya diperolah dari sumber-sumber yang lebih efemeral (jangka-pendek) seperti artikel surat kabar atau mewawancarai ahli, dan bukan dari buku-buku. Hal ini juga bisa menyesatkan, tren tidak abadi, orang-orang yang memutuskan untuk mengikuti pelatihan dibidang pekerjaan yang saat ini banyak lowongan mungkin menemukan bahwa ketika mereka sudah qualified, bidang pekerjaan itu sudah jenuh. Di samping itu, generalisai tentang sektor-sektor yang sedang menurun tidak selalu berarti bahwa klien tertentu tidak akan berhasil dalam melamar sebuah posisi di sektor itu. Jelas, kesuksesan akan lebih mungkin jika klien sangat termotivasi, kompeten, memiliki keterampilan,  job-hunting  yang baik, dan siap untuk relokasi, (dalam Nathan dan Hill, 2012:167-168).

BAB 3
PEMBAHASAN
Implementasi Pemanfaatan Kuesioner dan Informasi Karier (Kerja)

Kuesioner adalah instrumen bukan-standar yang sangat populer dan banyak orang pernah menghadapinya. Kuesioner tampaknya sudah menjadi bagian utama gaya hidup Amerika karena terus digunakan untuk mendata reaksi publik, mengumpulkan opini, memprediksi kebutuhan, dan mengevaluasi berbagai komoditas, jasa dan aktivitas. Popularitasnya terkadang sanggup menutupi pereduksian kuesioner sebagai instrumen pengumpulan data jika digunakan untuk kelompok masyarakat umum lantaran penekanan biaya, namun dalam wilayah konseling, akurasinya bisa tetap terjaga.
Di Indonesia sendiri terkait penggunaan kuesioner dan informasi kerja dalam rangka bimbingan dan konseling karier sendiri sudah banyak dilaksanakan termasuk dalam jalur pendidikan formal di sekolah maupun di luar jalur pendidikan sekalipun. Contohnya sudah banyak guru BK di sekolah-sekolah yang memanfaatkan kuesioner sebagai alat bantu dalam pemberian layanan BK termasuk dalam hal mengumpulkan informasi atau data terkait klien/ siswa termasuk yang berkenaan dengan kariernya. Ini semacam asesmen awal yang dilakukan untuk nantinya ditindak lanjuti sebagaimana kondisi dan kebutuhan dari klien. Jumlah siswa di sekolah yang banyak menjadi salah satu alasan mengapa guru BK sangat memanfaatkan kuesioner karena memang merupakan solusi untuk mendapatkan data dari responden dalam jumlah besar dengan tingkat efektifitas dan efisiensi waktu dan tenaga yang lebih baik ditambah dengan sudah banyaknya teknologi untuk mempermudah dalam mengolah data hasil kuesioner yang ada.
Informasi karier juga sudah banyak diberikan oleh guru BK di sekolah kepada siswa-siswinya, khususnya untuk yang sudah menginjak kelas atas atau mendekati masa kelulusan. Informasi yang diberikan biasanya berupa pilihan Sekolah untuk studi lanjutan, pilihan beragam Perguruan Tinggi atau peluang kerja khususnya bagi siswa SMK. Pemberian informasi pun melalui beragam media, bisa berupa mading, pengumuman lisan dengan dibantu media yang ada dan melalui beragam cara lainnya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kesadaran seseorang untuk mencari informasi karier yang dapat menunjang  kariernya semakin meningkat dan hal tersebut dibarengi dengan meningkatnya teknologi sumber informasi di era saat ini, sehingga kemudahan untuk mengakses informasi karier sudah lebih tersedia. 


BAB 4
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dalam pelaksanaan bimbingan dan konseling karier, beragam bentuk asesmen sangat dibutuhkan termasuk penggunaan kuesioner dan informasi kerja. Kuesioner (angket) dalam BK Karier berupa kumpulan sejumlah pertanyaan/ pernyataan yang harus dijawab dengan benar, jujur dan tepat oleh responden yang bersangkutan terkait kebutuhan akan data yang berkenaan dengan karier responden untuk selanjutnya diproses dan dianalisis data tersebut guna memasuki langkah selanjutnya dalam proses BK karier yang dilakukan oleh konselor.
Informasi karier (kerja) sudah banyak jenis dan sumbernya yang dapat diakses dengan mudah oleh konselor maupun secara mandiri oleh klien dengan arahan atau bimbingan yang tepat oleh konselor, agar klien memperoleh manfaat dari informasi tersebut guna menunjang karier yang akan atau sedang dijalani olehnya. 
.
B.     Saran
1.    Bagi calon konselor, pendidik konselor maupun konselor sekolah/ Guru BK yang telah menjalankan profesi BK di lapangan diharapkan juga memahami terkait pentingnya pemanfaatan kuesioner dan informasi kerja dalam praktek bimbingan dan konseling karier karena dalam praktek kerjanya tidak dipungkiri akan menangani konseli dengan jumlah besar yang memerlukan penanganan yang tepat guna menunjang kariernya yang lebih baik di masa depan, sehingga segala bentuk media atau alat bantu yang dapat menunjang pelaksanaan BK Karier harus dpat dipahami dan dimanfaatkan dengan sebaik mungkin.
2.      Bagi masyarakat luas diharapkan mampu memanfaatkan informasi karier (kerja) yang tersedia dengan sebaik mungkin dengan tetap meminta bimbingan dari ahlinya.
DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Barrett, Jim. 2006. Career Aptitude and Selection Tests. London and Philadelphia: Kogan Page.

Gibson, RL & Mitchell, MH. 2011. Bimbingan dan Konseling (Introduction to Counseling and Guidance). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Gladding, ST. 2012. Konseling: Profesi yang Menyeluruh (Edisi Keenam). Jakarta: Indeks.

Nathan, R & Hill, L . 2012. Konseling Karier (Career Counselling). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

nafi ahmed write