DUNIA KONSELING AND PSIKOLOGI
blog ini seputar dunia konseling dan psikologi serta dasar ilmu pendidikan
Sunday 19 July 2020
DRAF PENYELENGGARAAN SISTEM KREDIT SEMESTER MADRASAH ALIYAH NEGERI (MAN) 15 JAKARTA JALAN INAYAH NO. 24 KELAPA DUA WETAN, CIRACAS – JAKARTA TIMUR. - ppt download
DRAF PENYELENGGARAAN SISTEM KREDIT SEMESTER MADRASAH ALIYAH NEGERI (MAN) 15 JAKARTA JALAN INAYAH NO. 24 KELAPA DUA WETAN, CIRACAS – JAKARTA TIMUR. - ppt download: DIDASARI HASIL PENELITIAN BLOOM TH 1976 There are good learners and there are poor learners (Banyak siswa yang baik belajarnya dan banyak siswa yang tidak baik belajarnya). There are faster learners and there are slower learners (Banyak siswa yang cepat belajarnya dan banyak siswa yang lamban belajarnya). Most students become very similar with regard to learning ability, rate of learning, and motivation for further learning ---when provided with favorable learning conditions (Sebagian besar siswa akan memiliki kemampuan belajar, kecepatan belajar, dan motivasi belajar jauh lebih baik apabila dilengkapi dengan kondisi belajar yang menyenangkan).
Monday 6 February 2017
PROGRAM BK KARIER UNTUK KORBAN PHK, TKI/TKW DAN PROBLEMATIKANYA DAN MASYARAKAT MARGINAL
BAB I
PENDAHULUAN
PROGRAM BK KARIER UNTUK KORBAN
PHK, TKI/TKW
DAN PROBLEMATIKANYA DAN
MASYARAKAT MARGINAL
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat
didunia. Pada tahun 1990 jumlah penduduk Indonesia mencapai179 juta jiwa.
Sepuluh tahun berikutnya jumlah tersebut telah meningkat menjadi 205 juta jiwa.
Dengan demikian pertambahan jumlah penduduk selama dasawarsa ini
mencapaisekitar 15% atau tumbuh dengan rata-rata 2% pertahun. disatu sisi,
jumlah penduduk yang besar diyakini merupakan modal dasar dalam mencapai tujuan
pembangunan nasional, namun disisi lain, dengan pengelolaan yang tidak tepat,
jumlah penduduk yang besar sekaligus
akan menimbulkan masalah
Masalah Pemutusan Hubungan Kerja yang seolah tiada habisnya kita dengar
di negeri ini telah menjadi bagian masalah tersendiri di republik yang kita
cintai ini, kemudian tak kalah hebohnya silih berganti kejadian dan peristiwa
penganiayaan TKI juga menjadi primadona berita baik di media televisi, koran
ataupun majalah. Tak hanya penganiayaan, termasuk diberitakan juga pelecehan
seksual, pemulangan, bahkan sampai pada hukuman penjara atas TKI. Aksi-aksi itu
seolah telah merepresentasikan beberapa masalah utama yang dialami para tenaga kerja Indonesia atau TKI, selama
bekerja diluar negeri. Belum lagi kasus Pembunuhan, dengan modus bagian organ tubuh
mereka diambil untuk dijual. Tidak jarang, sekaligus orang yang dijual. Itulah
yang menjadi faktor utama pada praktek perdagangan manusia atau yang lebih
dikenal dengan istilah human trafficking, yang banyak menjadi profesi para
sindikat dan mafia diluar negeri. Masalah yang terjadi ini seolah telah menjadi
hingar bingar yang seakan tiada solusi atas penyelesaian masalahnya, kalaupun
ada jawaban atas permasalah ini tidak sampai penyelesaiannya sampai dengan
kepada akar permasalahannya, belum lagi ditambah dengan masalah yeng berkaitan
dengan masyarakat terbuang (marginal), ini seolah seperti bom waktu yang seakan
siap meledak.
Disinilah peran Bimbingan Konseling Karier dituntun untuk memainkan
perannya sebagai salah satu bidang layanan yang diharapkan mampu menjadi solusi
atas permasalah bangsa, hal ini seolah bukan hanya masalah sosial bangsa dan
negara, tapi sudah mencakup masalah yang berskala internasional
B. Rumusan Masalah
i. Apakah pengertian PHK ?
ii. Apakah pengertian TKI dan problematikanya?
iii.
Apakah pengertian Masyrakat marginal?
iv.
Apakah
program BK Karier atas solusi permasalah tersebut?
C. Tujuan Pembahasan
i. Untuk mengetahui bagaimana
Pengertian PHK
ii. Untuk mengetahui bagaimana
Pengertian TKI dan
problematikanya
iii.
Untuk mengetahui bagaimana Pengertian Masyrakat marginal
iv.
Mengetahui
bagaimana solusi program BK Karier masalah ini
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian PHK
Dalam
dunia kerja, kita lazim mendengar istilah Pemutusan Hubungan Kerja atau yang
sering disingkat dengan kata PHK. PHK sering kali menimbulkan keresahan
khususnya bagi para pekerja. Bagaimana tidak?
Keputusan PHK ini akan berdampak buruk bagi kelangsungan hidup dan masa
depan para pekerja yang mengalaminya. Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal
tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan
perusahaan/majikan. Hal ini dapat terjadi karena pengunduran diri,
pemberhentian oleh perusahaan atau habis kontrak.
Menurut pasal 61 Undang – Undang No. 13 tahun 2003
mengenai tenaga kerja, perjanjian kerja dapat berakhir apabila :
a. pekerja meninggal dunia
b. jangka waktu kontak kerja telah berakhir
c. adanya putusan pengadilan atau penetapan
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap
d.
adanya keadaan atau kejadian tertentu yang
dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
Jadi, pihak yang mengakhiri perjanjian
kerja sebelum jangka waktu yang ditentukan, wajib membayar ganti rugi kepada
pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka
waktu perjanjian kerja. Perusahaan dapat melakukan PHK apabila pekerja
melakukan pelanggaran terhadap perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama (PKB). Akan tetapi sebelum mem-PHK, perusahaan wajib
memberikan surat peringatan secara 3 kali berturut-turut. Perusahaan juga dapat
menentukan sanksi yang layak tergantung jenis pelanggaran, dan untuk
pelanggaran tertentu, perusahaan bisa mengeluarkan SP 3 secara langsung atau
langsung memecat. Semua hal ini diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahan masing-masing. Karena setiap perusahaan mempunyai peraturan yang
berbeda-beda.
Selain karena kesalahan pekerja, pemecatan
mungkin dilakukan karena alasan lain. Misalnya bila perusahaan memutuskan
melakukan efisiensi, penggabungan atau peleburan, dalam keadaan merugi/pailit.
PHK akan terjadi karena keadaan diluar kuasa perusahaan. Bagi pekerja yang
diPHK, alasan PHK berperan besar dalam menentukan apakah pekerja tersebut
berhak atau tidak berhak atas uang pesangon, uang penghargaan dan uang
penggantian hak.
B.
Pengertian TKI
dan Problematikanya
Ada beberapa
pendapat mengenai pengertian Tenaga
Kerja Indonesia. Menurut Pasal 1 bagian (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004
tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, TKI
adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar
negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah.
Sedangkan menurut buku pedoman pengawasam perusahaan jasa Tenaga Kerja
Indonesia adalah warga negara Indonesia baik laki-laki maupun perempuan yang
melakukan kegiatan di bidang perekonomian, sosial, keilmuan, kesenian, dan
olahraga profesional serta mengikuti pelatihan kerja di luar negeri baik di
darat, laut maupun udara dalam jangka waktu tertentu berdasarkan perjanjian
kerja yaitu suatu perjanjian antara pekerja dan pengusaha secara lisan dan atau
tertulis baik untuk waktu tertentu maupun untuk waktu tidak tertentu yang
memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. Dengan adanya
perjanjian kerja ini TKI akan lebih terlindungi apabila nantinya dikemudian
hari pihak majikan atau pihak perusahaan
tmpat TKI bekerja “wanprestasi” maka TKI dapat menentukan sesuai perjanjian
kerja yang telah dibuat sebelumnya.
Berdasarkan beberapa pengertian TKI tersebut, maka dapat
dikemukakan bahwa TKI adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat
untuk bekerja di luar negeri dalam jangka waktu tertentu berdasarkan perjanjian
kerja melalui prosedur /penempatan TKI dengan menerima upah.
Namun, hampir setiap tahun kita mendengar penyiksaan TKI di
luar negeri, baik itu di Arab Saudi, Malaysia, Singapura, Taiwan, Hong Kong dan
Negara lainnya. Dari mulai tidak menerima gaji sama sekali, bekerja 20 jam per
hari, disiksa majikan, hingga pada saat mereka pulang ke tanah air pun, mereka
ditipu para calo yang berkeliaran di bandara. Jika bertanya tentang jumlah
kasus penyiksaan dan berbagai masalah TKI di luar negeri, mungkin hanya Tuhan
yang tahu, karena masih banyak kasus lain yang tidak terungkap.
Menurut Andrie Herlina Riza dalam sebuah artikel yang
ditulisnya dengan judul TKI – Pahlawan Devisa Yang Teraniaya mengungkapkan ada
ada 4 hal mendasar yang menjadi inti dari permasalahan TKI yaitu:
1. Kesempatan kerja
Perekonomian Indonesia mengalami surplus tenaga kerja. Jumlah
penawaran tenaga kerja melampaui permintaannya. Pemerintah memperkirakan angka
pengangguran turun dari 7,9 persen di tahun 2009 menjadi 7,6% pada 2010. Tetapi
sebenarnya masih banyak orang dengan status bekerja, namun melakukan pekerjaan
yang tidak layak. Sebelum krisis ekonomi 1997, angka elastisitas penyerapan
tenaga kerja cukuptinggi. Setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi menyerap lebih
dari 400 ribu tenaga kerja baru. Sementara pada masa puncak krisis (1998-2000),
penyerapan tenaga kerja menurun drastis hingga di bawah 200 ribu penyerapan
untuk setiap persen pertumbuhan ekonomi. Meskipun saat ini sudah membaik,
penyerapan tenaga kerja belum sebaik sebelum krisis. Pertumbuhan penawaran
tenaga kerja jelas dipengaruhi pertumbuhan penduduk. Sensus Penduduk 2010
menunjukkan kecenderungan naiknya pertumbuhan penduduk Indonesia periode
2000-2010 dibanding 10 tahun sebelumnya. Ini akan membebani pasar kerja dalam
beberapa tahun mendatang. Setiap tahun sekitar 2,5 juta tenaga kerja baru masuk
ke pasar kerja. Jika angka penyerapan tenaga kerja saat ini sekitar 250 ribu untuk setiap 1% pertumbuhan
ekonomi, setidaknya 10% pertumbuhan ekonomi dibutuhkan. Padahal kenyataannya,
pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini jauh di bawah angka 10%. Sulitnya memperoleh
pekerjaan di dalam negeri mendorong sebagian pekerja "mengadu nasib"
di luar negeri. Tekanan penduduk (population pressure) dalam beberapa tahun
mendatang akan semakin besar. Sekitar 56% pekerja Indonesia hanya lulusan SD ke
bawah. Semakin sedikit kesempatan kerja untuk para lulusan SD. Hal
inidiperburuk tidak adanya sistem jaminan sosial di Negara ini. Jadi,
setiap orang bertanggung jawab atas
dirinya sendiri. Tidak ada pilihan lain, sehingga harus bekerja termasuk ke
luar negeri. Aliran pekerja ke luar negeri menjadi salah satu solusi untuk
mengatasi surplus tenaga kerja dalam negeri. Tetapi, jika tidak dikelola dengan
baik, maka akan terus menimbulkan masalah. Data Badan Nasional Penempatan dan
Perlindungan TKI(BNP2TKI) menunjukkan adanya tren kenaikan TKI bermasalah dari
sekitar 14% pada 2008 menjadi lebih dari 20% pada 2009.
2. Upah buruh di Indonesia
terlalu kecil
Dari berbagai survey tentang masalah tenaga kerja, umumnya
mereka menyebutkan bahwa upah buruh di Indonesia adalah yang paling rendah atau
murah dibandingkan dengan upah buruh di negara-negara Asia lainnya. Upah yang
sangat kecil ini jelas sekali sangat tidak mencukupi kebutuhan keluarga, dimana
semua harga barang-barang yang ada di
pasaran dalam negeri cenderung selalu naik setiap tahunnya. Upah ini jelas berbanding terbalik dengan
pengeluaran yang harus dikeluarkan untuk mencukupikebutuhan keluarga. Saat
tergiur imbalan dolar, ringgit, atau riyal yang tentunya lebih tinggi, mereka
pun tidak memikirkan cerita buruk tentang TKI lagi.
3. Oknum PJTKI
Pemerintah mensyaratkan bahwa TKI harus legal, dikirim
melalui agen resmi yang membantunya
untuk membuat paspor dan visa, memperoleh surat keterangan kesehatan, membayar
asuransi dan kewajiban lainnya, memiliki keterampilan dan kemampuan bahasa.
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) memperkirakan pada
2010 terdapat sekitar 2,7 juta TKI bekerja di luar negeri. Namun jumlahnya
dapat lebih besar mengingat banyak TKI ilegal tidak tercatat. Sekitar 45% TKI
memilih bekerja di Malaysia karena kemudahan komunikasi. Sementara 35% TKI
bekerja di Arab Saudi. Masalah TKI muncul sejak proses awal di Indonesia.
Umumnya penyaluran TKI melalui agen tenaga kerja, baik yang legal maupun
ilegal. Agen TKI mengontrol hampir seluruh proses awal, mulai dari rekrutmen,
paspor dan aplikasi visa, pelatihan, transit, dan penempatan TKI. Namun, masih
banyaknya Perusahaan Jasa Tenaga Kerja (PJTKI) yang tidak mendapat izin dari
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) sehingga menyebabkan aliran
TKI tidak terkontrol. Banyak TKI baru pertama kali ke luar negeri, direkrut
makelar yang datang ke desanya, dengan janji upah tertentu, pilihan pekerjaan
yang banyak, dan menawarkan bantuan kemudahan proses. Rendahnya pendidikan
calon TKI mengakibatkan mereka menghadapi risiko mudah ditipu pihak lain.
Mereka tidak memahami aturan dan persyaratan untuk bekerja di luar negeri.
Rendahnya laporan TKI yang mengalami kasus tertentu ke pihak berwenang juga
didasarkan kekhawatiran mereka karena
memiliki identitas palsu. Banyak TKI usianya masih terlalu muda, namun demi
kelancaran proses, usia di dokumen dipalsukan. Pemalsuan tidak hanya usia,
tetapi juga nama dan alamat. Oleh karena itu, tidak mudah melacak para TKI
bermasalah di luar negeri. Sementara itu, dapat diyakinkan bahwa pemalsuan dan
manipulasi data oleh TKI dan paraagen, terjadi karena pihak yang mengawasi dan
menentukan membolehkan dan terkadang menawarkan praktek itu dilancarkan. Para pelaku sindikat tidak peduli seperti apa
nasib TKI di luar negeri. Yang penting bagi mereka adalah menikmati keuntungan dari transaksi pengiriman TKI.
4. Lemahnya pengawasan dan
kurangnya perhatian dari Pemerintah.
Pemerintah sebagai pelaku dan pelaksana pemerintahan,
dirasakan sangat kurang sekali
perhatiannya atas nasib para TKI ini. Pencermatan keadaan secara hukum dalam
permasalahan TKI, semestinya melibatkan elemen-elemen fundamental termasuk
administrasi, kontrak, asuransi, dan MoU antar negara. Tanpa adanya dasar hukum
yang kuat dan administrasi yang legitimate, pemerintah Indonesia akan sulit mengatasi
permasalahan tenaga kerja Indonesia. Sudah semestinya pemerintah Indonesia
benar-benar serius, karena dengan demikian masalah-masalah yang selama ini
terjadi bisa berkurang banyak. Tapi sayangnya, pemerintah selalu menunggu
sampai masalahnya sudah menjadi besar dan buruk. Ironis nya seringkali
kasus-kasus itu baruditangani oleh pemerintah, setelah kasus-kasus tersebut
menjadi isu publik. Penanganan kasus TKI yang dilakukan Pemerintah Indonesia
sama sekali tidak menyentuh akar persoalan yang sesungguhnya. Sebaliknya,
pemerintah dan semua pihak terkait selalu berbangga jika mendengar majikan
dihukum dan TKI diberikan berbagai biaya sebagai kompensasi. Tetapi, sumber
masalah yang ada di dalam negeri tetap dibiarkan kian menggurita.
C.
Pengertian Masyrakat
Marginal
Marjinal
berasal dari bahasa inggris 'marginal'
yang berarti jumlah atau efek yang sangat kecil. Artinya, marjinal adalah suatu
kelompok yang jumlahnya sangat kecil atau bisa juga diartikan sebagai kelompok
pra-sejahtera. Marjinal juga identik dengan masyarakat kecil atau kaum yang
terpinggirkan. Jadi kaum marjinal adalah masyarakat kelas bawah yang
terpinggirkan dari kehidupan masyarakat. contoh dari kaum marjinal antara lain
pengemis, pemulung, buruh, petani, dan orang-orang dengan penghasilan pas-pasan
atau bahkan kekurangan. Mereka ini adalah bagian tak terpisahkan dari Negara
ini. Perjuangan kaum marjinal yang mungkin seringkali kita mengabaikannya.
Sebagaimana Mother Terresa, pejuang dan tokoh kemanusiaan dari Calcuta,
mengatakan:
"The poor,the marginalized and the ones who are not counted, they exist because we create them. Especially by the superstructure and then by me, by you, by all of us. Consequently, it is our responsibility to help elevate them."
Artinya, kaum miskin, kaum marjinal, dan orang-orang yang tidak diperhitungkan di masyarakat ada karena kitalah yang menciptakan mereka. Terutama oleh struktur sosial, juga oleh saya, Anda dan kita semua. Sehingga, kita mempunyai tanggung jawab untuk membantu dan mengangkat derajat mereka.
Keberadaan kaum marginal pelan tapi pasti menjadi penyebab terjadinya akumulasi segala bentuk penyakit masyarakat seperti pelacuran, gelandangan / pengemis, anak jalanan, pencurian, perampokan, human trafficking, narapidana, dan lain - lain di suatu negara. Dengan demikian masyarakat (kaum) marjinal ini bila tidak diberdayakan melalui pemberian solusi yang tepat, maka berarti pula ini disiapkan untuk menjadi benih bom waktu yang dahsyat untuk merusak sendi - sendi kehidupan berbangsa dan bernegara kondisi masyarakat marjinal bila dibiarkan berlarut-larut akan berdampak pada beberapa persoalan :
"The poor,the marginalized and the ones who are not counted, they exist because we create them. Especially by the superstructure and then by me, by you, by all of us. Consequently, it is our responsibility to help elevate them."
Artinya, kaum miskin, kaum marjinal, dan orang-orang yang tidak diperhitungkan di masyarakat ada karena kitalah yang menciptakan mereka. Terutama oleh struktur sosial, juga oleh saya, Anda dan kita semua. Sehingga, kita mempunyai tanggung jawab untuk membantu dan mengangkat derajat mereka.
Keberadaan kaum marginal pelan tapi pasti menjadi penyebab terjadinya akumulasi segala bentuk penyakit masyarakat seperti pelacuran, gelandangan / pengemis, anak jalanan, pencurian, perampokan, human trafficking, narapidana, dan lain - lain di suatu negara. Dengan demikian masyarakat (kaum) marjinal ini bila tidak diberdayakan melalui pemberian solusi yang tepat, maka berarti pula ini disiapkan untuk menjadi benih bom waktu yang dahsyat untuk merusak sendi - sendi kehidupan berbangsa dan bernegara kondisi masyarakat marjinal bila dibiarkan berlarut-larut akan berdampak pada beberapa persoalan :
a.
Semakin banyaknya angka putus sekolah (drop out) dan
buta huruf
b.
Semakin menurunya kualitas SDM
c.
Semakin tingginya angka pengangguran.
d.
Semakin tingginya penyakit – penyakit sosial masyarakat
dan kerawanan sosial.
e.
Indeks kemajuan pendidikan di Indonesia semakin
tertinggal dengan negara – negara lain.
D.
Program
BK Karier atas solusi permasalah ketenagakerjaan
Jumlah
penduduk yang besar dengan laju pertumbuhan yang tinggi merupakan masalah
klasik yang dihadapi Indonesia. Masalah kependudukan ini pada gilirannya
menimbulkan masalah lain di sektor ketenagakerjaan. pengangguran dengan angka
yang relatif semakin tinggi dari tahun ketahun membutuhkan upaya pemecahan yang
tidak sederhana. Kebijakan pembangunan ekonomi yang pernah dilaksanakan
diIndonesia ternyata tidak mampu berbuat banyak. Kebijakan yang bias kepada
perusahaan-perusahaan besar yang cenderung bersifat padat modal, memang mampu
membawa perekonomian Indonesia tumbuh dengan angka yang menggembirakan, namun
mekanisme trickle Down effect dari kebijakan tersebut temyata tidak segera
muncul seperti yang diharapkan. Perusahaan-perusahaan besar sebagai lokomotif
perekonomian nasional tidak mampu menampung angkatan kerja Indonesia yang ada.
Antara para tenaga kerja itu sendiri harus saling bersaing ketat, untuk bisa
masuk ke sektor formal, karena sektor ini menuntut kualifikasi tertentu terkait
dengan kualitas pendidikan dan keahlian tenaga kerja yang akan digunakannya.
Program BK Karier dalam menghadapi
problematika ini menurut hemat kami dapat diselesaikan dengan layanan informasi
karier berbasis kewirausaan, karena banyaknya
Manfaat yang
didapatkan dengan adanya wirausaha , seperti:
(1) Menambah daya tampung tenaga kerja, sehingga dapat
mengurangi pengangguran.
(2) Sebagai generator pembangunan lingkungan, bidang
produksi, distribusi, pemeliharaan lingkungan, kesejahteraan, dan sebagainya.
(3) Menjadi contoh bagi anggota masyarakat lain, sebagai
pribadi unggul yang patut dicontoh, diteladani, karena seorang wirausaha itu
adalah orang terpuji, jujur, berani, hidup tidak merugikan orang lain.
(4) selalu menghormati hukum dan peraturan yang berlaku,
berusaha selalu menjaga dan membangun lingkungan.
(5) berusaha memberi bantuan kepada orang lain dan
pembangunan sosial sesuai dengan kemampuannya.
(6) berusaha mendidik karyawannya menjadi orang mandiri,
disiplin, jujur, tekun dalam menghadapi pekerjaan.
(7) memberi contoh bagaimana kita harus bekerja keras,
tetapi tidak melupakan perintah-perintah agama, dekat kepada Allah SWT.
(8) hidup secara efisien, tidak berfoya-foya dan tidak
boros.
(9) memelihara keserasian lingkungan, baik dalam pergaulan
maupun kebersihan lingkungan.
PENGEMBANGAN PROG BK KARIR BERBASIS GENDER DAN KELINTAS BUDAYAAN (MULTY CULTURAL)
BAB I
PENDAHULUAN
PENGEMBANGAN PROG BK KARIR
BERBASIS GENDER DAN KELINTAS BUDAYAAN (MULTY
CULTURAL)
A. LATAR BELAKANG
Bimbingan
karir sebagai suatu proses membantu pribadi untuk mengembangkan penerimaan
kesatuan dan gambaran diri serta peranannya dalam dunia kerja. Menurut batasan
ini, ada dua hal penting, pertama proses membantu individu untuk memahami dan
menerima diri sendiri, dan kedua memahami dan menyesuaikan diri dalam dunia
kerja. Bimbingan karir merupakan salah satu bentuk layanan dalam membantu siswa
merencanakan karirnya. Faktor-faktor yang mendukung perkembangan diri tersebut
misalnya informasi karir yang diperoleh siswa dan status sosial ekonomi orang
tua. Tujuan bimbingan karir adalah membantu siswa dengan cara yang sistematis
dan terlibat dalam perkembangan karir. Guru pembimbing hendaknya dapat membantu
siswa merencanakan karirnya sesuai dengan kemampuan, bakat dan minat yang
dimilikinya. Secara essensial bimbingan karir merupakan salah satu proses
layanan yang bertujuan membantu siswa dalam proses pemahaman diri, pemahaman
nilai-nilai, pengenalan lingkungan, hambatan dan cara mengatasinya serta
perencanaan masa depan baik gender ataupun kelintas budayaan. Terdapat konvergensi dalam definisi
konseling karir, sebuah proses yang mungkin diawali dengan penerimaan gagasan
Super (1980) yang berhubungan dengan sifat interaktif peranan kehidupan. Pada
tahun 1991, Linda Brooks dan saya (Brown dan Brooks, 1991) mendefinisikan
konseling karir sebagai sebuah proses yang bertujuan untuk memberikan fasilitas
pada perkembangan karir dan mungkin melibatkan pemilihan, pemasukan,
penyesuaian, atau kemajuan dalam sebuah karir. Kita mendefinisikan permasalahan
karir sebagai keragu-raguan yang berkembang karena terlau sedikitnya informasi,
keragu-raguan yang tumbuh karena kebimbangan pilihan; ketidakpuasan pada
performa pekerjaan; ketak sejenisan antara orang dan peranannya dalam
perkerjaan; dan ketak sesuaian antara peranan dan peranan kehidupan lain,
seperti keluarga atau waktu luang. The National Career Development Association
(NCDA, 1997) menerapkan sebuah definisi yang sama namun lebih sederhana.
Organisasi ini mendefinisikan konseling karir sebagai sebuah ‘proses membantu
seseorang dalam perkembangan sebuah kehidupan karir dengan sebuah focus pada
definisi peranan pekerja dan bagaimana peranan tersebut berinteraksi dengan
peranan kehidupan yang lainnya’ (hal.2). sebagian besar isinya, definisi ini
merefleksikan posisi yang diambil oleh Gysber, Heppner, dan Johnston (2003);
Admunson (2003); dan para ahli teori postmodern lainnya yang mungkin mengambil
permasalahan dengan gagasan yang lengkap dalam definisi karena mereka terlihat
menganggap bahwa terdapat batasan yang muncul diantara dan ditengah-tengah
peranan kehidupan, sebuah anggapan yang akan menjadi tidak konsisten dengan
pandangan perspektif holistic mereka.
Mekanisme
konseling karir, termasuk pendekatan pada hubungan, penilaian, dl, berbeda-beda
berdasarkan pada teori yang diterapkan. Gysber dkk (2003) mengembangkan sebuah
taksonomi tugas-tugas yang muncul dalam konseling karir secara simultan dengan
proses pengembangan sebuah perserikatan kerja. Tugas ini termasuk
mengidentifikasi permasalahan yang disajikan; menyusun hubungan konseling;
mengembangkan sebuah ikatan konselor-klien; mengumpukan informasi mengenai
klien, termasuk informasi personal dan pengendalian kontekstual; pengaturan
tujuan; seleksi intervensi; pengambilan tindakan; dan evaluasi hasil. Seperti
yang akan ditunjukan nanti, model konseling multikultural digarisbesarkan pada
bab ini menerima sebagian besar gagasan yang berhubungan dengan struktur
konseling karir ini dengan perubahan kecil.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Peran Jenis Gender
Peran gender seringkali telah menilai terhadap jenis kelamin seseorang.
Masyarakat menghendaki agar jenis tugas atau pekerjaan tertentu dilakukan oleh
jenis kelamin tertentu. Memang baik diakui atau tidak, jenis kelamin
kadang-kadang menentukan seseorang. Menurut
Santrok dalam memilih karir pekerjaan seorang perempuan mungkin akan
mengambil karir yang dapat dijalaninya, tanpa banyak hambatan dengan peran
jenis gendernya, misalnya sekretaris, dokter anak, psikolog anak, guru atau
dosen, penungguatau penjaga toko dan sebagainya. Demikian pula sebaliknya
seorang laki-laki akan memilih faktor yang sesuai dengan dirinya misalnya
tentara, polisi, hakim, jaksa dan lain sebagainya.
Rentangan
diskursus dan persoalan gender di dunia hampir setua peradaban manusia itu
sendiri. Perbincangan gender itu sendiri hampir-hampir tidak dapat dilepaskan
begitu saja dari wacana kebudayaan dan peradaban manusia. Mendiskusikannya
lebih lanjut, artinya sama saja berdiskusi tentang filsafat eksistensial
manusia, struktur sosial dan tipikal kebudayaan masyarakat, serta dinamika
psikologis dalam diri dan antarpribadi (intrapersonal and interpersonal
dynamics). Dengan demikian, tidak ada satu cabang ilmu humaniora manapun
yang tidak dapat melepaskan diri dari kajian-kajian tentang gender.
Konsep gender adalah suatu konstruksi sosial yang mengatur hubungan
pria dan wanita yang terbentuk melalui proses sosialisasi. Konstruksi sosial
itu mengalokasikan peranan, hak, kewajiban serta tanggung jawab pria dan wanita
dalam fungsi produksi dan reproduksi. Dengan kata lain, terminologi gender
merujuk pada sifat yang melekat pada wanita maupun pria sebagai hasil
konstruksi secara sosial dan budaya setempat.
Jika
seks dianggap sebagai sesuatu yang berhubungan dengan aspek-aspek biologis
seseorang yang melibatkan karakteristik perbedaan laki dan perempuan
berdasarkan kromosom, anatomi reproduksi, hormon, dan karakter fisiologis
lainnya. Sedangkan gender melibatkan aspek-aspek sosiokultural yang dilekatkan
pada laki-laki dan perempuan, yaitu apa yang didefinisikan masyarakat sebagai
maskulinitas dan femininitas. Simbol-simbol yang dilekatkan itulah yang disebut
sebagai pembedaan gender. Dalam batas perbedaan yang paling sederhana, seks
dipandang sebagai status yang melekat/bawaan dan gender sebagai status yang
diterima/diperoleh (Lindsey, 1994).
Menurut Dzuhayatin dan Fakih (Soemandoyo, 1999) bahwa jenis kelamin
sebagai fakta biologis seringkali dicampuradukkan dengan gender sebagai fakta
sosial dan budaya. Laki-laki dan perempuan selalu diletakkan dalam dua kutub
yang sama sekali berlawanan. Yang hampir selalu terjadi adalah perempuan
diletakkan dalam kutub pelengkap (hal-hal yang tidak dimiliki laki-laki
sehingga dapat dilengkapi perempuan) atau negatif. Laki-laki lebih sering
ditampilkan sebagai sosok yang besar, agresif, prestatif, dominan-superior,
asertif dan memiliki mitos sebagai pelindung. Sebaliknya, perempuan digambarkan
sebagai sosok yang berpenampilan fisik lebih kecil, lembut, halus, pasif, dan
inferior, cenderung mengalah. Nampak sekali bahwa pemahaman itu didasari atas
pola pikir androsentris, male biased, dan patriarki yang tumbuh subur dalam
masyarakat. Studi eksplorasi tentang stereotipe gender yang dilakukan oleh
William dan Best selama rentang tahun 1982, 1990, dan 1992 (Smith dan Bond,
1994) di tiga puluh kebudayaan yang berbeda mengindikasikan bahwa seratus
mahasiswa laki-laki dan perempuan di tiap-tiap negara tersebut membuat semacam
konsensus peran gender yang berbeda. Ternyata, laki-laki meyakini memiliki
tipikal sifat yang tinggi dalam hal dominasi, otonomi, agresi, suka menonjolkan
diri, prestasi tinggi, dan ketahanan mental yang luar biasa. Sementara para
wanita justru sebaliknya, yaitu yakin bahwa self-preference yang tinggi
justru terdapat pada rasa rendah diri (abasement), afiliasi, rasa
hormat, dan dalam hal penyapihan atau pengasuhan anak. Walaupun demikian,
William dan Best menegaskan bahwa derajat konsensus yang tinggi lebih banyak
muncul pada struktur budaya kolektif, sementara pada struktur budaya
individualis seperti halnya di negara barat, derajat konsensus stereotipe
gender cenderung rendah dan menurun. Oleh karenanya, mereka menyimpulkan bahwa
terdapat korelasi yang kuat antara individualisme dan rendahnya konsensus
tentang stereotipe gender.
Bercermin pada temuan-temuan tersebut, tidak dapat disangkal lagi bahwa
beberapa aspek citra baku gender merupakan pencerminan distribusi perempuan dan
laki-laki ke dalam beberapa peran yang dibedakan. Proses pembentukan citra ini
muncul seiring dengan perubahan zaman. Pada zaman dahulu, dengan prinsip the
survival of the fittest, proses fisik menjadi prasyarat bagi penguasaan struktur
sosial. Sebagai akibatnya, perempuan yang secara fisik tidak memiliki kemampuan
dan sosok sebagaimana dipunyai laki-laki menjadi termarjinalisasi dari sektor
persaingan budaya. Hampir seluruh aspek kehidupan sosial lebih banyak
merefleksikan kelaki-lakian/maskulinitas (Soemandoyo, 1999).
Pandangan-pandangan stereotipe tersebut pada akhirnya menjadi akar
masalah ketidakadilan gender dan perlakuan diskriminatif terhadap perempuan.
Ketidakadilan gender itu sendiri dapat menjelma dalam proses marjinalisasi
(kondisi terpinggirkan), subordinasi (posisi diri selalu dibawah dan tidak
berdaya), bertambahnya beban kerja tidak hanya sekedar di sektor domestik
tetapi juga sektor publik, serta fenomena kekerasan terhadap perempuan, seperti
pelecehan, perkosaan, penganiayaan, dan lain-lain.
Sebagai contoh, dalam hal pilihan karir saja,
terdapat perbedaan dan bias yang cukup tinggi antara laki-laki dan wanita
sebagai konsekuensi dari stereotipe peran wanita dalam ruang lingkup
tradisional (Gati, Givon, dan Osipow, 1995). Kebanyakan
perempuan hanya berkutat pada sektor-sektor tradisional dan bertahan pada level
kerja serta level kompensasi gaji yang terlalu rendah. Untuk fenomena Indonesia
sendiri, problem tenaga kerja wanita juga menarik untuk dikaji secara serius. Pada
dekade tahun 1980-an, terdapat beragam kajian-kajian tematik yang membahas
fenomena kemiskinan dan perempuan bekerja. Beberapa data menunjukkan
(Soetrisno, 1993) bahwa sebagian besar kaum perempuan yang terkategori miskin
baik di wilayah urban maupun rural telah bekerja dan terus mencari peluang
kerja demi pemenuhan kebutuhan dasar (subsisten). Ada yang bekerja sebagai
buruh tani, buruh perkebunan, pedagang kecil, pengrajin, pelacur jalanan,
pembantu rumah tangga, buruh pabrik, dan pekerja migran. Bahkan, kebanyakan
mereka diindikasikan telah terugikan baik secara ekonomi maupun sosial, yaitu
terperangkap dalam proses yang cenderung memarjinalisasikan, mengkooptasi, dan
mengeskploitasi mereka.
Studi tentang curahan waktu kerja di pedesaan
menunjukkan bahwa jam kerja perempuan lebih panjang dari laki-laki. Kondisi ini
terjadi karena perempuan selain melakukan pekerjaan domestik juga melakukan
pekerjaan mencari nafkah (White, 1976). Beban ganda bukanlah satu-satunya
penyebab kaum perempuan terisolasi dari proses pembangunan, namun tampaknya
lebih dikarenakan kebijakan pembangunan itu sendiri tidak berpihak pada kaum
perempuan. Program-program pembangunan untuk perempuan sarat dengan bias
ideologi gender, seperti program kesehatan untuk Balita, keterampilan menjahit,
program Dharma Wanita, 10 program PKK, dan lain-lain.
B. Perbedaan Jenis Kelamin
dalam Minat
Perbedaan
jenis kelamin dalam minat telah diteliti dalam sejarah pengukuran minat, dan
hasil dari penelitian ini telah menuntut perkembangan inventori. Pria dan wanikta mencatat tingkat-tingkat
minat yang berbeda dalam beberapa hal khususnya wanita mengekspresikan minat
artistik dan sosial, sementara pria lebih mengekspresikan minat realistis dan
investigatif.
C. Perbedaan Budaya dalam
Minat
Hubungan
antara minat dengan budaya telah diamati seringnya dengan melihat secara
statistik pada hubungan antara tipe minat Holland terhadap kelompok
suku-ras. Beberapa penelitian berskala
besar memperlihatkan bahwa interkorelasi antara keenam tipe cocok dengan model
lingkaran Holland untuk peserta Afrika Amerika, Asia Amerika, Amerika Asli,
Meksiko Amerika, dan Kaukasia. Hal ini
memberi kesan bahwa inventori berdasarkan model RIASEC Holland memiliki
validitas untuk populasi yang berbeda. Namun, penggunaan inventori minat dengan
klien yang berbeda ras, suku, dan budaya, mungkin dapat meningkat jika para
konselor berusaha untuk memahami nilai-nilai dan perilaku dari budaya lain dan
sadar akan nilai-nilai mereka sendiri sama seperti stereotype dan prasangka
yang mungkin ada.
beberapa nasehat yang berhubungan dengan pembuatan
nilai yang tidak diberitahukan mengenai budaya dari seorang individu telah
diluncurkan. Namun, pertimbangkan situasi ini. Duduk di dalam kantor anda, anda
mencatat bahwa anda mempunyai janji dengan Lawrence Singh. Anda tahu bahwa
Lawrence Singh adalah nama yang sangat wajar di India, sama halnya dengan Smith
di Amerika serikat. Namun, nama pertama yang eurosentris, Lawrence, menyarankan
kemungkinan bahwa keluarganya telah terakulturasi dan mengadopsi nilai-nilai
eurosentris. Jika anda akan sensitif secara budaya, apa yang anda lakukan?
Saran di sini adalah bahwa anda memperlihatkan dilemma anda pada Lawrence,
mungkin dimulai dengan, “saya tertipu dengan nama anda”. Singh adalan nama yang
wajar di Asia dan Lawrence jelas sekali merupakan nama orang Amerika. Ceritakan
pada saya bagaimana hal tersebut bisa terjadi?”. Skenario lainnya mungkin bahwa
anda duduk di kantor anda dan seorang nenek mucul dengan seorang siswa yang
nama belakangnya adalah Ho. Jelas bahwa dia ingin duduk dalam sebuah konferensi
untuk membahas pilihan karir tuan Frederick Ho, and mungkin ingin menanyakan
dua pertanyaan. Yang pertama berhubungan dengan siapa yang akan menjadi
pengambil keputusan. Dalam banyak budaya keluarga membuat keputusan karir dan
sang nenek mungkin mewakili keluarga; jadi, anda mulai “saya sadar bahwa pada
banyak keluarga keturuan Asia Amerika keluarga memilih pekerjaan untuk
anak-anak mereka. Sebelum kita mulai, saya ingin menghargai jika anda mau
membantu saya memahami siapa yang akan mengambil keputusan dalam permasalahan
tuan Frederick.” Anda mungkin juga memuji sang nenek karena kemauannya untuk
berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan pemilihan karir dan
menanyakan jika pada kenyataannya dia mewakili keluarga. Sangatlah penting jika
keluarga menjadi pengambil keputusan yang tidak disarankan konselor karena akan
lebih sesuai jika Frederick mengambil keputusannya karirnya sendiri.
Terdapat alat lain untuk menentukan afiliasi budaya
-misalnya, bahasa yang digunakan dirumah, kebiasaan, dan tradisi yang diteliti,
afiliasi budaya teman-temannya, afiliasi budaya orang tuanya, dan bagian
komunitas di mana klien bertempat tinggal – tidak ada yang sangat tepat
(Garrett dan Pichette, 2000; Thomason, 1995). Wawancara konseling karir yang
pertama mungkin harus berfokus pada variabel ini jika ketidak tentuan mengenai
afiliasi budaya muncul pada diri klien.
Salah satu gambaran yang paling kuat pada bagaimana
ketaksensitifan dalam komunikasi dapat muncul disajikan oleh Basso (1979) dalam
sebuah vignette yang melibatkan seorang lelaki kulit putih dan seorang lelaki
dari suku Apache. Si lelaki kulit putih menyapa si Apache dengan sebuah pukulan
ringan di punggung. “hallo, kawan. Bagaimana kabarnya? Baik-baik saja kan?” mereka
melanjutkannya di rumah si kulit putih dan si kulit putih berkata, “lihat siapa
ini; ini adalah si orang kecil. Masuk dan duduklah. Kamu lapar?” kemudian
melihat si orang kecil, si kulit putih melanjutkan. Dari keseluruhannya
terdapat delapan kesalahan dalam komunikasi lintas budaya dalam percakapan ini.
Menggunakan istilah kawan dianggap sebagai kelancangan dan,oleh karena itu,
tidak sesuai. Menyakan kabar seseorang mungkin menyebabkan penyakit menurut
kepercayaan beberapa orang Apache. Si kulit putih mungkin menganggapnya
basa-basi karena ingin menyuruh untuk “duduk”. Mengulang sebuah pertanyaan
terlihat kasar bagi banyak suku Apache. Orang tersebut mungkin terlihat bodh
karena kelunya lidahnya. Membuat kontak mata langsung dianggap agresif dalam
budaya Apache dan banyak lagi lainnya. Akhirnya, menyentuh masyarakat dianggap
tidak sopan oleh banyak anggota suku Apache, seperti halnya menggunakan nama
asli Amerika tanpa menanyakan apakah hal tersebut tepat atau tidak. Dengan
jelas, lelaki kulit putih dalam percakapan ini tidak menganggap perlunya untuk
mengubah gaya berkomunikasinya sehingga dapat diterima oleh suku Apache.
dalam memfasilitasi pengambilan keputusan karir adalah
menentukan siapa yang akan membuat keputusan. Langkah selanjutnya adalah untuk
menentukan harapan konselor pada pengambil keputusan dan harapan konselor
terhadap klien dan keluarganya. Jika keluarga atau kelompok yang akan mengambil
keputusanm mereka mungkin menginginkan informasi yang lebih mengenai kesempatan
pendidikan, sumber keuangan, dan kesempatan bekerja. Mereka tidak mungkin
meminta bantuan dalam menilai sifat siswa, namun konselor karir mungkin ingin
untuk menanyakan apakah mereka telah mempertimbangkan kemampuan mereka,
ketertarikan mereka, dan nilai-nilai mereka. Saya telah mewawancarai sejumlah
orang yang memiliki keputusan awal karir yang dibuat untuk mereka, dan jarang
yang merupakan ketertarikan atau bakat mereka disamping bakat akademik yang
dipertimbangkan dalam proses ini. Prestis pekerjaan terlihat semakin menjadi perhatian
yang semakin besar bagi orang tua yang membuat keputusan ini.
Satu masalah yang hampir tidak dapat dielakkan bagi para konselor karir melibatkan percekcokan antara para orang tua dan anak-anak mereka tentang siapa yang akan membuat pilihan karir. Seseorang yang telah menyesuaikan diri dengan lingkungan mungkin akan memberontak ketika orang tua mereka memberitahukan pilihan mereka tentang karir, dan para siswa dan para orang tua mungkin akan berkonsultasi dengan konselor karir untuk mendapatkan bantuan. Para konselor karir yang secara normal melibatkan para para orang tua dalam pilihan tentang pekerjaan manakala para orang tua percaya bahwa mereka telah tidak dihormati.
Satu masalah yang hampir tidak dapat dielakkan bagi para konselor karir melibatkan percekcokan antara para orang tua dan anak-anak mereka tentang siapa yang akan membuat pilihan karir. Seseorang yang telah menyesuaikan diri dengan lingkungan mungkin akan memberontak ketika orang tua mereka memberitahukan pilihan mereka tentang karir, dan para siswa dan para orang tua mungkin akan berkonsultasi dengan konselor karir untuk mendapatkan bantuan. Para konselor karir yang secara normal melibatkan para para orang tua dalam pilihan tentang pekerjaan manakala para orang tua percaya bahwa mereka telah tidak dihormati.
D. Mengapa Karir
Penting
Perempuan,
seperti laki-laki, perlu berbagai sumber utama kepuasan dalam hidup mereka
seperti pernah dinyatakan oleh Freud, yang secara psikologis welladjusted
manusia dapat "untuk mencintai dan untuk bekerja" secara efektif.
Kedua wanita dan laki-laki membutuhkan kepuasan hubungan interpersonal, dengan
keluarga dan / atau teman-teman, tetapi juga kepuasan prestasi di dunia luar.
Kita sekarang memiliki bukti penelitian bahwa perempuan, seperti laki-laki,
harus menggunakan bakat mereka dan
kemampuan dan bahwa peran ganda yang penting bagi orang-orang psikologis kesejahteraan.
E. Pemanfaatan Kemampuan
Penelitian
telah menunjukkan bahwa pemenuhan potensi individu untuk pencapaian sangat
penting. Walaupun peran ibu rumah tangga dan ibu sangat penting dan sering
sangat memuaskan, mereka tidak memperbolehkan sebagian besar perempuan untuk
memenuhi pembangunan kemampuan mereka yang unik dan bakat. Ini, lebih tepatnya,
harus dipenuhi melalui mengejar karir atau relawan dan kegiatan hobi, sama
seperti mereka pada pria. Ini bukan untuk diskon pentingnya anak-anak tetapi
hanya dengan insufisiensi sebagai jawaban seumur hidup masalah realisasi diri.
Bahkan jika seorang wanita menghabiskan sejumlah kreatif tahun membesarkan
anak-anak, anak-anak ini mau tidak mau tumbuh dewasa dan memulai kehidupan
mereka sendiri, hidup itu haruslah menjadi semakin mandiri dari rumah orangtua.
Bukti kuat bahwa ibu rumah tangga yang tidak memiliki outlet lain untuk
prestasi dan produktivitas sangat rentan terhadap tekanan psikologis, terutama
sebagai anak-anak tumbuh dan meninggalkan rumah.
Penelitian
awal pada hubungan antara status perkawinan dan kesehatan psikologis
menyimpulkan bahwa individu-individu yang paling sehat adalah menikah laki-laki
dan satu perempuan, sedangkan perempuan yang sudah menikah terutama berada di
risiko tinggi untuk psikologis. Namun, itu tampaknya tidak akan perkawinan yang
merugikan perempuan penyesuaian psikologis, melainkan kurangnya bermakna
dibayar pekerjaan. Dalam studi ini, para wanita yang tidak dipekerjakan
diperhitungkan untuk yang lebih sering terjadi tekanan psikologis di antara
menikah perempuan. Ada beberapa hipotesis tentang mengapa peran ganda yang
bermanfaat bagi perempuan buat ekonomi ketika salah satu pasangan atau pasangan
menjadi pengangguran.
F. Keahlian Dibatasi
Kepentingan
Penggunaan
kemampuan dan minat karir langkah-langkah dalam penilaian dan konseling berasal
dari pencocokan atau sifat-faktor pendekatan konseling karir, basis dari
pendekatan ini adalah:
·
Orang-orang berbeda
dalam pekerjaan mereka berhubungan dengan kemampuan dan kepentingan.
·
Job
/ pekerjaan lingkungan yang berbeda dalam
persyaratan dan dalam jenis
·
kepentingan yang mereka
banding.
·
kesesuaian atau
kecocokan antara karakteristik individu dan karakteristik pekerjaan adalah
suatu pertimbangan penting dalam membuat pilihan karir yang baik.
Diantara variabel penting untuk
dipertimbangkan adalah kemampuan dan bakat sebagai termasuk dalam Theory of Work Adjustment dan kejuruan.
Pencocokan perspektif, tujuan penilaian adalah untuk membantu konselor dan
klien dalam menghasilkan pendidikan atau pilihan karir yang mewakili orang yang
baik-lingkungan yang sesuai. Sementara model yang cocok telah didukung oleh
banyak penelitian empiris, kami juga telah menyadari bahwa proses pilihan
karier untuk beberapa kelompok orang. Sebagai contoh, penelitian telah
menunjukkan bahwa perempuan cenderung untuk underutilize
kemampuan mereka dalam memilih karier. Selain, perempuan dalam karir dan
kurangnya perwakilan perempuan di banyak didominasi laki-laki karier mungkin
karena sebagian untuk pembatasan bagaimana kepentingan kejuruan mereka
kembangkan.
G. Peran Ganda
Wanita sekarang ini mungkin tidak
melihat ini sebagai baik atau pilihan, tetapi banyak yang memperhatikan rencana
karier bagaimana mereka akan mengintegrasikan dengan ini rumah dan keluarga.
Sebaliknya, banyak orang merencanakan karir mereka tanpa perlu pengorbanan
tingkat pencapaian untuk menampung rumah dan keluarga mencatat bahwa
orang-orang mendamaikan tuntutan pekerjaan dan keluarga dengan "kembali ke
definisi tradisional ayah sebagai penyedia" Satu implikasi dirasakan
disebabkan oleh karier dan prioritas keluarga adalah bahwa wanita untuk siapa
suami dan anak-anak adalah prioritas tinggi cenderung aspirasi karir mereka,
relatif terhadap wanita lain dan untuk pria-pria. Wanita muda yang tertarik dalam
sains memilih untuk mengejar menyusui karena mereka pikir akan cocok dengan
baik dengan memiliki dan membesarkan anak-anak atau dengan menjadi tunggal dan motivasi
karir ini berbanding terbalik dengan komitmen rumah tangga. Wanita pilihan
tentang pekerjaan tetap terkait erat dengan keputusan mereka tentang keluarga;
demikian, peran keluarga perempuan pertimbangan membatasi investasi di dunia
kerja. Meskipun kami telah menyaksikan peningkatan besar partisipasi tenaga
kerja di kalangan wanita di semua kategori perkawinan dan orangtua, hubungan
perkawinan / status orangtua pencapaian karier, komitmen, dan inovasi masih
sangat kuat.
H. Hambatan Eksternal
Ekuitas
Hambatan diskriminasi
dan pelecehan seksual telah lama dibahas sebagai perempuan penting dalam upaya
untuk mencapai kesetaraan di tempat kerja. Meskipun diskriminasi gender
langsung melawan hukum, diskriminasi informal terus ada. Sebagai contoh,
meskipun perempuan mungkin diperbolehkan untuk kerja, hal itu mungkin menjadi
jelas bagi mereka, terang-terangan atau lebih halus, bahwa mereka tidak
diterima. Pesan mulai dari pelecehan verbal terbuka untuk sekadar diabaikan dan
tidak menerima dukungan sosial dari rekan kerja dapat membuat lingkungan yang
sangat tidak menyenangkan, dan kurang jelas bentuk diskriminasi dalam membayar,
promosi, dan perquisites dari pekerjaan mungkin ada juga. Pentingnya promosi
adalah berkaitan dengan keberadaan terus yang mengacu pada jumlah yang sangat
kecil perempuan di tingkat manajemen puncak. Hambatan berdasarkan sikap atau
organisasi bias, yang mencegah beberapa kelompok orang dari maju dalam sebuah
organisasi.
Lingkungan memusuhi
pelecehan mengacu terhadap kasus di mana karyawan tunduk pada sindiran seksual,
seksis atau seksual berorientasi komentar, menyentuh fisik, atau berorientasi
seksual poster atau kartun ditempatkan di area kerja. Masalah di sini adalah
tenaga kerja wanita membuat obyek seks di bekerja. Perempuan di sana untuk
mencari nafkah dan kemajuan karir mereka, dan pelecehan seksual serius dapat
mengganggu tujuan mereka. Meskipun pelecehan seksual tidak terbatas pada
laki-laki melecehkan perempuan-perempuan dapat mengganggu pria, dan pelecehan
seks sama juga dapat terjadi-sebagian. Atas dasar skala besar survei tenaga
kerja wanita, bahwa satu dari setiap dua akan dilecehkan selama kehidupan kerja
mereka.. Walaupun tanggapan pelecehan seksual berada di luar cakupan bab ini,
seksual pelecehan merupakan penghalang utama ekuitas perempuan di tempat kerja.
Penelitian menunjukkan penurunan dalam kepuasan kerja dan komitmen organisasi,
pekerjaan penarikan, peningkatan gejala kecemasan dan depresi, dan tingkat yang
lebih tinggi penyakit yang terkait dengan stres sebagai tanggapan terhadap
pelecehan seksual. Kesehatan mental serta isu-isu ekonomi dan serius bisa
kompromi kinerja dan kepuasan kerja. Lain dari kondisi yang terus-menerus
mempengaruhi ekuitas perempuan di tempat kerja dan kepuasan kerja mereka adalah
bahwa meskipun partisipasi tenaga kerja mereka telah meningkat secara dramatis,
bekerja di rumah mereka tidak berkurang. Walaupun beberapa peran ini, secara
umum, positif untuk kesehatan mental, gambar menjadi lebih kompleks ketika
perempuan diharapkan untuk memikul beban utama rumah tangga dan penitipan anak.
BAB III
PENUTUP
B. KESIMPULAN
Ada
bukti kuat bahwa perbedaan minat ini sebagian karena stereotip sosialisasi
gender karena anak laki-laki terkena jenis belajar kesempatan tumbuh dewasa
dibandingkan anak perempuan. Karena sosialisasi stereotip gender, gender tidak
belajar semua keterampilan yang diperlukan untuk berfungsi adaptif dan
menanggapinya. Pendidikan dan pilihan karir juga dapat terbatas karena dibatasi
kesempatan belajar (dan diinternalisasi stereotip) bukan karena kurangnya
kemampuan atau potensi. Pembatasan ini kesempatan belajar juga dapat, mengakibatkan
penurunan efektivitas diri harapan. Dengan demikian, pengembangan minat
menyempit dapat membatasi pilihan karir wanita.
DAFTAR
PUSTAKA
Gladding, Samuel, T. 2004. Counseling: A
Comprehensive Profession. Singapore:
Pearson Education Singapore Pte. Ltd.
Munandir.
Program Bimbingan Karier di Sekolah.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan
Tinggi Proyek Pendidikan Tenaga Akademik.
Shertzer, Bruce & Stone, Shelley, C. 1981. Fundamentals
of Guidance. Boston – USA. Houghton
Mifflin, Co.
Suherman AS, Uman, M.Pd. Konseling Karir (Sepanjang
Rentang Kehidupan). Program Studi Bimbingan dan Konseling. Sekolah
Pascasarjana. UPI
Winkel,
W.S. & Hastuti, M.M. Sri. 2004. Bimbingan dan Konseling Di Institusi
Pendidikan. Cetakan ketujuh.
Yogyakarta: Penerbit Media Abadi.
nafi ahmed write
PEMANFAATAN KUISIONER DAN INFORMASI KARIER (KERJA)
BAB I
PENDAHULUAN
PEMANFAATAN KUISIONER DAN INFORMASI KARIER (KERJA)
A.
Latar
Belakang
Keberadaan konselor dalam sistem pendidikan nasional
dinyatakan sebagai salah satu kualifikasi pendidik, sejajar dengan kualifikasi
guru, dosen, pamong belajar, tutor, widyaiswara, fasilitator, dan instruktur
(UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 Ayat 6). Masing-masing kualifikasi pendidik,
termasuk konselor, memiliki keunikan konteks tugas dan ekspektasi kinerja.
Standar kualifikasi akademik dan kompetensi konselor dikembangkan dan
dirumuskan atas dasar kerangka pikir yang menegaskan konteks tugas dan
ekspektasi kinerja konselor.
Konteks tugas konselor berada dalam kawasan pelayanan
yang bertujuan mengembangkan potensi dan memandirikan konseli dalam pengambilan
keputusan dan pilihan untuk mewujudkan kehidupan yang produktif, sejahtera, dan
peduli kemaslahatan umum.
Dalam penyelenggaraan layanan BK karier agar lebih
tepat sesuai kebutuhan dan minat dari konseli/ klien maka dibutuhkan asesmen
sebelum beranjak pada proses konseling karier yang lebih lanjut. Asesmen dapat
berupa tes maupun kuesioner guna mendapatkan informasi atau data terkait karier
konseli.
Kuesioner
adalah instrumen bukan-standar yang sangat populer dan banyak orang pernah
menghadapinya. Kuesioner tampaknya sudah menjadi bagian utama gaya hidup Amerika karena terus
digunakan untuk mendata reaksi publik, mengumpulkan opini, memprediksi kebutuhan, dan mengevaluasi
berbagai komoditas, jasa dan aktivitas. Popularitasnya terkadang sanggup menutupi
pereduksian kuesioner sebagai instrumen pengumpulan data jika digunakan untuk kelompok masyarakat umum lantaran
penekanan biaya, namun dalam wilayah konseling, akurasinya
bisa tetap terjaga.
Kuesioner
dalam praktek konseling di Indonesia pun sudah mendapat perhatian namun ada
pula yang belum memanfaatkannya dengan efektif dan efisien. Sehingga masih
dibutuhkannya tambahan pengetahuan serta keterampilan dalam penyusunan serta
penggunaannya agar kuesioner tersebut benar-benar menunjang kebutuhan yang ada.
Kebutuhan
akan karier yang lebih baik bagi setiap individu mengharuskan mereka untuk
lebih giat mencari informasi karier yang dapat berguna untuk pertimbangan ataau
pedoman dalam menjalani kariernya. Informasi karier (kerja) inipun menjadi hal
yang perlu mendapat perhatian dalam praktek BK karier, sehingga konselor sangat
perlu mengetahui akan perkembangan informasi karier saat ini agar nantinya
dapat disebarluaskan bagi yang berkepentingan maupun dalam praktek layanan BK
karier itu sendiri.
Melihat
akan kebutuhan tersebutlah, maka pemakalah berasumsi bahwa perlunya disusun
suatu makalah yang membahas secara utuh terkait pemanfaaatan kuesioner dan
informasi karier (kerja) khususnya dalam praktek bimbingan dan konseling
karier.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang dikemukakan di atas, dalam makalah ini terdapat
beberapa rumusan masalah yang akan dibahas. Adapun rumusan masalah yang dimaksud ialah sebagai
berikut:
1. Apa definisi Kuisioner?
2. Apa tujuan penggunaan Kuesioner?
3. Apa saja prinsip dan pertimbangan dalam
penyusunan dan penggunaan Kuesioner?
4. Bagaimana prosedur penyusunan kuesioner?
5. Bagaimana penggunaan kuesioner dalam
konseling karier?
6. Bagaimana
penggunaan informasi karier dan informasi
kerja?
7. Apa saja peran Informasi dan Informasi apa saja yang dibutuhkan
oleh konselor karier?
8. Apa saja sumber-sumber informasi?
C. Tujuan Pembuatan Makalah
Adapun tujuan dari pembuatan makalah
ini diantaranya ialah sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui definisi Kuisioner.
2.
Untuk mengetahui tujuan penggunaan Kuesioner.
3.
Untuk mengetahui prinsip
dan pertimbangan dalam penyusunan dan penggunaan Kuesioner.
4.
Untuk mengetahui prosedur penyusunan kuesioner.
5.
Untuk mengetahui penggunaan kuesioner dalam konseling karier.
6.
Untuk mengetahui penggunaan informasi karier dan informasi kerja.
7.
Untuk mengetahui peran Informasi
dan Informasi apa saja yang dibutuhkan oleh konselor karier.
8.
Untuk mengetahui sumber-sumber
informasi.
BAB II
DASAR TEORI
A. Kuesioner
1. Definisi
Kuesioner
Dalam kehidupan di
masyarakat seringkali kita mendengar kata “kuis” dalam acara media televisi
maupun radio atau dalam kegiatan akademisi (semacam ujian). Biasanya kuis
diidentikkan dengan kegiatan pemberian sejumlah pertanyaan yang harus dijawab
oleh responden demi mendapatkan skor atau nilai yang merupakan reward atas
pertanyaan yang berhasil dijawab dengan benar atau tepat.
Sedangkan kuesioner
merupakan bahasa serapan dari kata dalam bahasa Inggris “questioner” yang
berasal dari kata “question” yang berarti pertanyaan, soal, keraguan, usul. Tambahan
imbuhan “er” dalam bahasa Inggris menunjukkan kata pelaku seperti halnya singer
(penyanyi), teller (kasir), interviewer (pewawancara). Namun questioner lebih
sebagai suatu alat atau benda (biasanya kertas) yang berisi sejumlah
pertanyaan.
Dalam bahasa Indonesia
kuisioner disebut pula dengan angket.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
angket berarti daftar pertanyaan tertulis mengenai masalah tertentu dengan
ruang untuk jawaban bagi setiap pertanyaan.
Sugiyono (2013:142)
menjelaskan kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara
memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis
kepada responden untuk dijawabnya. Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data
yang efisien bila peneliti tahu dengan pasti variabel yang akan diukur dan tahu
apa yang bisa diharapkan dari responden. Selain itu, kuesioner juga cocok
digunakan bila jumlah responden cukup besar dan tersebar di wilayah yang luas.
Kuesioner dapat berupa pertanyaan/pernyataan tertutup atau terbuka, dapat
diberikan kepada responden secara langsung atau dikirim melalui pos atau
internet.
2. Tujuan
Penggunaan Kuesioner
Gibson dan Mitchell (2011:416) menjelaskan bahwa kuesioner
memiliki banyak jenis penggunaan bagi konselor. Yang paling umum, kuesioner jelas menyediakan cara termudah mengumpulkan sejumlah besar informasi
yang berguna untuk memahami klien. Di sisi lain, kuesioner termasuk teknik
yang melibatkan partisipasi aktif klien sehingga memampukan klien memahami dirinya, minimal untuk kondisi tertentu.
Yang lebih spesifik, kuesioner bisa dirancang untuk mengumpulkan jenis khusus informasi yang terkait kebutuhan khusus klien. Kuesioner juga bisa
digunakan untuk dapat memvalidasi data lain yang sudah tersedia. Selain itu kuesioner dapat membantu
mengidentifikasikan masalah yang dihadapi individu atau kelompok sebagai basis
menetapkan tujuan program dan evaluasi sebagai basis penyempurnaan program.
3.
Prinsip dan Pertimbangan dalam Penyusunan dan Penggunaan Kuesioner
Uma Sekaran dalam Sugiyono
(2013:142-143) mengemukakan beberapa prinsip dalam penulisan angket sebagai
teknik pengumpulan data yaitu: prinsip penulisan, pengukuran
dan penampilan fisik.
a. Prinsip Penulisan Angket
Prinsip ini menyangkut beberapa faktor
yaitu: isi dan tujuan pertanyaan,
bahasa yang digunakan mudah, pertanyaan tertutup terbuka-negatif positif, pertanyaan tidak mendua, tidak menanyakan hal-hal yang
sudah lupa,
pertanyaan tidak mengarahkan, panjang pertanyaan, dan urutan pertanyaan.
1) Isi dan tujuan pertanyaan
Yang dimaksud di sini adalah,
apakah isi pertanyaan tersebut
merupakan bentuk pengukuran atau bukan? Kalau berbentuk pengukuran maka dalam membuat pertanyaan harus teliti, setiap
pertanyaan harus skala
pengukuran dan jumlah itemnya mencukupi untuk mengukur variabel yang diteliti.
2)
Bahasa yang digunakan
Bahasa yang digunakan dalam penulisan
kuesioner (angket) harus
disesuaikan dengan kemampuan berbahasa responden. Kalau sekiranya responden tidak dapat berbahasa Indonesia, maka angket
jangan disusun
dengan bahasa Indonesia. Jadi bahasa yang digunakan dalam angket harus memperhatikan jenjang pendidikan
responden, keadaan sosial budaya, dan “frame of reference" dari responden.
3)
Tipe dan bentuk pertanyaan
Tipe pertanyaan dalam angket
dapat terbuka atau tertutup, (kalau
dalam wawancara: terstruktur dan tidak terstruktur) dan
bentuknya dapat menggunakan kalimat positif atau negatif. Pertanyaan terbuka, adalah pertanyaan yang
mengharapkan responden
untuk menuliskan jawabannya berbentuk uraian tentang sesuatu hal. Contoh:
bagaimanakah tanggapan anda terhadap iklan-iklan di TV saat ini? Sebaliknya pertanyaan tertutup, adalah pertanyaan yang mengharapkan jawaban singkat atau mengharapkan responden untuk memilih
salah satu alternatif
jawaban dari setiap pertanyaan yang telah tersedia. Setiap pertanyaan angket yang mengharapkan jawaban berbentuk data nominal, ordinal, interval, dan ratio,
adalah bentuk pertanyaan tertutup. Pertanyaan
tertutup akan membantu responden untuk menjawab dengan cepat, dan juga memudahkan peneliti dalam melakukan
analisis data terhadap seluruh angket yang telah terkumpul.
Pertanyaan/pernyataan dalam angket
perlu dibuat kalimat positif dan negatif agar responden dalam memberikan jawaban setiap pertanyaan lebih serius, dan
tidak mekanistis.
4)
Pertanyaan tidak mendua
Setiap pertanyaan dalam angket
jangan mendua (double-barreled) sehingga menyulitkan responden untuk
memberikan jawaban. Contoh: Bagaimana pendapat anda tentang
kualitas dan kecepatan pelayanan KTP? Ini adalah pertanyaan yang
mendua, karena menanyakan tentang dua hal sekaligus, yaitu kualitas dan harga.
Sebaiknya pertanyaan tersebut dijadikan menjadi dua yaitu bagaimanakah kualitas
pelayanan KTP? Bagaimanakah kecepatan pelayanan?
5)
Tidak menanyakan yang sudah
lupa
Setiap pertanyaan dalam
instrumen angket, sebaiknya juga tidak menanyakan
hal-hal yang sekiranya responden sudah lupa, atau pertanyaan yang memerlukan jawaban dengan berpikir berat. Contoh: Bagaimanakah kinerja para
penguasa Indonesia 30 tahun yang lalu? Menurut anda, bagaimanakah cara
mengatasi krisis ekonomi saat ini? (kecuali penelitian yang mengharapkan
pendapat para ahli). Kalau misalnya umur
responden baru 25 tahun, dan pendidikannya rendah, maka akan sulit memberikan
jawaban dari pertanyaan semacam itu.
6)
Pertanyaan tidak menggiring
Pertanyaan dalam angket
sebaiknya juga tidak menggiring ke
jawaban yang baik saja atau ke yang jelek saja. Misalnya: bagaimanakah kalau bonus atas jasa pelayanan ditingkatkan? Jawaban responden tentu cenderung akan
setuju. Bagaimanakah prestasi kerja anda
selama setahun
terakhir? Jawabannya akan cenderung baik.
7)
Panjang pertanyaan
Pertanyaan dalam angket
sebaiknya tidak terlalu panjang, sehingga akan
membuat jenuh responden dalam mengisi. Bila jumlah variabel banyak sehingga memerlukan instrumen yang banyak, maka
instrumen tersebut
dibuat bervariasi dalam penampilan, model skala pengukuran yang digunakan,
dan cara mengisinya. Disarankan empirik jumlah pertanyaan yang memadai adalah antara 20 s/d 30 pertanyaan.
8)
Urutan pertanyaan
Urutan pertanyaan dalam
angket, dimulai dari yang umum menuju ke
hal yang spesifik, atau dari yang mudah menuju ke hal yang sulit, atau diacak. Hal ini perlu dipertimbangkan karena secara
psikologis akan
mempengaruhi semangat responden untuk menjawab. Kalau pada awalnya sudah diberi pertanyaan yang sulit, atau yang
spesifik, maka responden akan patah
semangat untuk mengisi angket yang telah mereka terima. Urutan pertanyaan yang diacak perlu dibuat bila tingkat
kematangan respon terhadap masalah yang ditanyakan sudah tinggi.
b.
Prinsip Pengukuran
Angket yang diberikan kepada
responden adalah merupakan
instrumen penelitian, yang digunakan untuk mengukur variabel yang akan diteliti. Oleh karena itu instrumen angket tersebut
harus dapat digunakan untuk
mendapatkan data yang valid dan reliabel tentang variabel yang diukur. Sugiyono (2013:121)
menjelaskan valid berarti instrumen
dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur, sedangkan reliabel berarti instrumen yang bila
digunakan beberapa kali untuk mengukur objek yang sama, akan menghasilkan data
yang sama.
Supaya diperoleh data
penelitian yang valid dan reliabel, maka sebelum instrumen angket tersebut diberikan pada responden, maka perlu diuji validitas dan reliabilitasnya
terlebih dulu. Instrumen yang tidak valid dan
reliabel bila digunakan untuk mengumpulkan data, akan menghasilkan data yang tidak valid dan reliabel pula.
Arikunto (2010:269) mengatakan bahwa untuk
memperoleh kuisioner dengan hasil yang mantap adalah dengan proses uji coba.
Sampel yang diambil untuk keperluan uji coba haruslah sampel dari populasi
dimana sampel penelitian akan diambil. Dalam uji coba, responden diberi
kesempatan untuk memberikan saran-saran perbaikan bagi kuisioner yang
diujicobakan itu. Situasi sewaktu uji coba dilaksanakan harus sama dengan
situasi kapan penelitian yang sesungguhnya dilaksanakan.
c.
Penampilan Fisik Angket
Penampilan fisik angket
sebagai alat pengumpul data mempengaruhi respon atau keseriusan responden dalam
mengisi angket. Angket yang
dibuat di kertas buram, akan mendapat respon yang kurang menarik bagi responden, bila dibandingkan angket yang
dicetak dalam kertas yang bagus
dan berwarna. Tetapi angket yang dicetak di kertas yang bagus dan berwarna akan menjadi mahal.
Sedangkan
Gibson dan Mitchell (2011:418) memberikan empat pertimbangan dasar yang layak diperhatikan
untuk merancang kuesioner yaitu sebagai berikut:
1)
Instruksi: Jelaskan
tujuan instrumen dan berikan cara menyelesaikan kuesioner dalam kata-kata yang
sejelas dan seringkas mungkin.
2)
Rancangan item: Rancanglah
item yang jelas, ringkas dan tidak rumit. Item mestinya hanya mengarah ke satu
respons dan harus dinyatakan dengan suatu cara sehingga perespons tidak
terhiaskan atau terpengaruh oleh pemikiran lain bagi caranya merespons. Item
kuesioner mestinya disesuaikan dengan tingkat bahasa responden.
3)
Kandungan item: Pertanyaan
mestinya dirancang untuk mengumpulkan beberapa jenis informasi yang tepat
dengan tujuan asesmen instrumen. Namun, kehati-hatian harus ditingkatkan
terkait sensitivitas sosial, perbedaan budaya atau informasi pribadi lainnya.
Contohnya, item-item seperti "Apakah Anda pernah berhubungan seksual sebelum
menikah?", atau "Apakah Anda pernah berpikir untuk melakukan sebuah
kejahatan?", mungkin dapat memunculkan kemarahan atau kecurigaan pada
beberapa responden yang kemudian akan mengubah respons mereka terhadap
keseluruhan kuesioner. Meskipun item kuesioner yang tidak ditandai boleh
diberlakukan untuk topik yang sensitif, namun ia tidak punya nilai apa pun bagi
proses konseling.
4)
Panjang kuesioner: Pertimbangan
terakhir namun penting adalah kuesioner jangan terlalu panjang, atau terlalu
pendek. Kuesioner yang terlalu panjang melemahkan niat responden menyelesaikannya,
namun yang terlalu pendek akan menghilangkan kemungkinan mengumpulkan data
yang penting bagi proses konseling. Panjang kuesioner harus bisa memfasilitasi
pengumpulan data penting, sangat baik jika dapat disesuaikan dengan tujuan konseling,
yang untuk maksud ini kuesioner dirancang.
Ada hal lain pula yang perlu menjadi pertimbangan
dalam penyusunan kuesioner serta penggunaannya yaitu terkait penentuan
responden, pemberian nama responden dalam kuesioner dan cara penyebaran
kuesioner. Arikunto (2010:268) mengatakan bahwa penentuan sampel sebagai
responden kuesioner perlu mendapat perhatian jika memang data yang dibutuhkan
cukup dengan perwakilan dari suatu populasi. Apabila salah mengambil sampel,
informasi atau data yang dibutuhkan barangkali tidak akan diperoleh secara
maksimal.
Pemberian nama responden pada kuesioner (angket)
juga perlu dipertimbangkan. Arikunto (2010:269) mengatakan angket anonim (tanpa
nama) memang ada kebaikannya karena responden bebas mengemukakan pendapat. Akan
tetapi penggunaan angket anonim mempunyai beberapa kelemahan pula, yaitu:
1)
Sukar ditelusuri apabila ada
kekurangan pengisian yang disebabkan karena responden kurang memahami maksud
item.
2)
Tidak mungkin mengadakan analisis
lebih lanjut apabila peneliti ingin memecah kelompok berdasarkan karakteristik
yang diperlukan.
Arikunto menambahkan bahwa penelitian yang
dilakukan oleh Francis J. Di Vesta memberikan gambaran hasil bahwa tidak ada
perbedaan ketelitian jawaban yang diberikan oleh orang dewasa, baik yang anonim
maupun yang bernama. Faktor-faktor yang mempengaruhi perlu tidaknya angket
diberi nama adalah:
1)
Tingkat kematangan responden.
2)
Tingkat subjektivitas item
yang menyebabkan responden enggan memberikan jawaban.
3)
Kemungkinan tentang banyaknya
angket.
4)
Prosedur (teknik) yang akan
diambil pada waktu menganalisis data.
Terkait penyebaran atau pemberian
kuesioner (angket) kepada responden juga perlu diperhatikan. Sugiyono
(2013:142) menjelaskan bila penelitian dilakukan pada
lingkup yang tidak terlalu luas, sehingga kuesioner dapat diantarkan langsung
dalam waktu tidak terlalu lama, maka pengiriman angket kepada responden tidak
perlu melalui pos. Dengan adanya kontak langsung antara peneliti dengan
responden akan menciptakan suatu kondisi yang cukup baik, sehingga responden
dengan sukarela akan memberikan data obyektif dan cepat.
4. Prosedur Penyusunan Kuesioner
Sebelum suatu kuesioner disusun,
maka perlu melalui beberapa prosedur sebagai berikut (Arikunto, 2010:268):
a.
Merumuskan tujuan yang akan
dicapai dengan kuesioner.
b.
Mengidentifikasikan variabel
yang akan dijadikan sasaran kuesioner.
c.
Menjabarkan setiap variabel
menjadi sub-variabel yang lebih spesifik dan tunggal.
d.
Menentukan jenis data yang
akan dikumpulkan, sekaligus untuk menentukan teknik analisisnya.
5. Penggunaan Kuesioner dalam
Konseling Karier
Ada berbagai
cara untuk bagaimana penggunaan yang tepat waktu dan sensitif
kuesioner-kuesioner psikometrik dan kuesioner-kuesioner lain dapat membantu
secara signifikan proses konseling karier. Nathan dan Hill (2012:137)
mengatakan bahwa pendekatan semacam itu dapat berfungsi untuk : menyediakan
sebuah kerangka kerja untuk dialog, meningkatkan kejelasan dan rasa percaya
diri, membangkitkan insights personal baru, membantu perspektif-perspektif
jangka panjang, mengurangi resiko pengambilan keputusan yang serampangan, dan
membantu menjelaskan perilaku di tempat kerja di masa lalu.
Contoh
kuesioner yang digunakan dalam konseling karier ialah kuesioner motivasi. Jim Barrett
(2006:18) mengatakan bahwa kuesioner motivasi yang umum ialah kuesioner yang
mencakup sebagian jenis pekerjaan di semua tingkat. Jika Anda sudah pribadi
yang dewasa dan mungkin telah memiliki karir dengan tanggung jawab, mungkin
sebagai manajer, Anda dapat diminta untuk menyelesaikan kuesioner yang
dirancang khusus untuk para manajer Ketika Anda pergi untuk wawancara.
B. Informasi Karier (Kerja)
1.
Sistem
Bantuan Karier Terkomputerisasi
Penggunaan
komputer terus meningkat dengna cepat sembari memperoleh penerimaan publik yang
semakin luas. Komputer, yang sudah populer dibidang bisnis, industri dan
pendidikan tinggi, sekarang telah umum digunakan di sekolahan pada jenjang
kelas berapapun, dan demam komputer rumahan akan terus berlanjut (Gibson, 2011:
503). Kepuasan anak-anak muda dengan komputer cukup menakjubkan, tercermin
bukan hanya dari minat mereka pada games online atau offline, tetapi juga
penggunaan internet dan sejumlah tambahan perangkat lunak dan keras untuk
musik, kreasi gambar, kreaktivitas rancangan 3-D dan sumber rujukan pengetahuan
terpercaya. Faktanya, anak muda AS sekarang sudah banyak yang melek-komputer,
kendati harus menggunakan layanan komputer diperpustakaan bagi mereka di kelas
ekonomi menengah kebawah. Minat siswa sdi semua usia pada komputer telah
memberikan sekolah kesempatan tak terelakkan bagi penggunanya dalam motivasi
dan pembelajaran. Potensi ini muncul bagi program konseling sekolah juga,
khususnya untuk menyediakan informasi dan bantuan karier.
Penggunaan
komputer di dalam program konseling dalam lingkup pendidikan bukan barang baru,
sudah dimulai sejak 1960-an, namun pengenalan mikrokomputer ditahun 1970-an
mempromosikan perubahan-perubahan utama selain juga kesempatan bagi penggunaan
sistem biumbingan karier dibantu komputer. Keuntungan ekonomi dan teknis
mikrokomputer terus menjadi stimulus utama penggunanya di lingkup sekolah untuk
tujuan bimbingan konseling karier.
a. Jenis
Sistem Bantuan Karier Terkomputerisasi
Di bagian berikut, dua
jenis sistem akan dibahas secara ringkas yaitu sebagai berikut:
1) Sistem
informasi
Sistem
informasi umumnya dirancang untuk menyediakan bagi para pengguna skema
penelusuran terstruktur bagi pekerja dan penyebaran informasi kerja dan
pendidikan bagi pengguna. Langkah-langkah prosedural ini bisa digunakan secara
terpisah atau secara berurutan. Dibagian awal, pengguna dapat menyelesaikan
tugas atau menyediakan rating, bahkan skor tesnya, yang mengindikasi minat dan
bakat sebagai basis untuk penelusuran komputer bagi pekerja yang sesuai. Di
dalam proses penilaian informasi, pengguna dapat menilai informasi untuk
terkait pekerjaan tertentu. Komputer bisa juga bisa diprogram untuk merespons
pertanyaan khusus yang mungkin ditanyakan pengguna tentang pekerjaan.
Pengembangan
sistem informasi banyak stimulasikan oleh dana yang disediakan oleh Depnaker AS
dan Komite \Pengoordinasi Informasi pekerjaan Nasional yang memampukan negara
memampukan ini sebagai sistem informasi karir skala federal. Banyak orang
mengenal sistem ini sebagai sistem informasi karir/CIS (Carier Information
System), menitik beratkan informasi lokal dan regional. Sistem informasi yang
lain diidentifikasi sebagai sistem informasi bimbingan/ GIS (Guidance
information system), menyediakan akses untuk beragam jenis data nasional
terkait karir, peluang pendidikan dan layanan bersenjata. Beberapa sistem
inventori minat juga tersedia sebagai pilihan.
2) Sistem
bimbingan
Sistem bimbingan lebih luas cakupannya
dan lebih instruktif ketimbang sistem informasi, menyediakan tambahan bagi
penelusuran terorganisasi dan fungsi penyebaran sistem informasi modul-modul
seperti penilaian diri, instruksi dalam pengambilan keputusan, dan perencanaan
kedepan. Duanya saling populer adalah sistem Bimbingan Interaktif dan
Informasi. SIGI (system of Interaktif
Guidance and Information) yang sekarang sudah diperbaharui versinya sebagai
SIGI PLUS dikembangkan dan dioasarkan lewat lembaga Educational Testing Secvice
Protecton, New Jersey; dan Sistem DISCOVER yang dikembangkan oleh Joann
Harris-Bowlsbey dan dipasarkan lewat Discover Inc. Di Hunt Valley, Maryland dan
American College Testing Program.
Sistem SIGI dirandang awalnya untuk
membantu siswa akademik, universitas dan individu dewasa di luar lingkup
sekolah. Namun, sekarang SIGI diaplikasikan juga untuk siswa kelas 4 SD sampai
individu dewasa diberbagai lingkup. SIGI PLUS terdiri dari 9 modul: (a)
Pendahuluan (orientasi hingga prosesnya), (b) Assesment diri, (c) Penelusuran
(kemungkinan pekerjaan yang disukai), (d) Informasi (terkait pekerjaan yang
memungkinkan), (e) Ketrampilan, (f) Persiapan, (g) Pengentasan (memampukan
individu mengerjakan yang diisyaratkan), (h) Memutuskan (pengambilan
keputusan), dan (i) langkah-langkah berikutnya (membuat rencana menjadi
tindakan nyata).
b. Informasi
Karier dan Internet
Internet
memiliki sejumlah besar volume informasi tentang topik riset apapun. Berikut
ini sejumlah situs Web yang berkaitan dengan kesadaran karier. Coba
ingat-ingatlah alamat Webnya atau kalau perlu dicatat di buku tersendiri. Dari setiap entri di mesin pencari internet,
kita masih bisa menemukan banyak lagi situs lain yang menarik dalam Gibson,
2011: 506 (Cutshall, 2011: 32) :
About.com: Career Plainning,
Carrerplanning.about.com
America’s Career Info Net,
www.acnet.org/acinet
America’s Job Bank
www.ajb.dni.us
Best Jobs USA
www.bestjobsusa.com
Berikut ini adalah taksonomi konseling
tahap tatap-muka dan konseling jarak jauh yang dibantu-teknologi:
Tabel Taksonomi Konseling Tahap Tatap
Muka Dan Jarak Jauh
ü Konseling
Tatap Muka
v Konseling
pribadi
v Konseling
pasangan
v Konseling
kelompok
ü Konseling
Jarak Jauh Dibantu-Tekhnologi
v Telekonseling
v Konseling
pribadi berbasis-telepon
v Konseling
pasangan berbasis-telepon
v Konseling
kelompok berbasis-telepon
ü Konseling
Internet
v Konseling
pribadi berbasis e-mail
v Konseling
pribadi berbasis-chating
v Konseling
pasangan berbasis-chating
v Konseling
kelompok berbasis-chating
v Konseling
pribadi berbasis-video
v Konseling
pasangan berbasis-video
v Konseling
kelompok berbasis-video
|
Sumber:
National Board for Certified Counselors, Inc. Dan Center For Credentialing And
Education ,Inc, the Practice Of Internet Counseling (2011: 2) © National Board
For Certified Counselors And Afilliates, 3 Terrace Way, Suite D, Greensboro, NC
274033660
Pemberian konseling jarak jauh yang
dibantu teknologi terus tumbuh dan berkembang sampai sekarang sering dengan
kontroversi yang juga terus menguat atasnya. Di dalam kategori ini, konseling
telepon juga sudah digunakan secara luas namun ia pun masih tidak luput dari
kontroversi tersebut.
c. Pertimbangan-Pertimbangan
Etis
Pertumbuhan
cepat penggunaan komputer dibanding konseling dan penggunaan di masa depan yang
terus meningkat telah melontarkan pertanyaan etis tertentu terkait penggunaan
komputer dalam konseling. Masalah potensial dalam kerahasiaan, kekeliruan
interpretasi oleh klien terhadap tes dan data lain, dan kekurangannya interaksi
konselor yang tepat dengan klien hanyalah satu dari sekian contoh
prinsip-prinsip yang disarankan Sampson dan Pyle (1982: 285-286) tampaknya
terus menjadi pedoman etis yang tepat ketika menggunakan sistem konseling,
pengentasan dan bimbingan yang dibantu komputer, yaitu:
1) Memastikan
bahwa kerahasiaan data yang dikirim lewat komputer terbatas hanya kepada
informasi yang tepat dan dibutuhkan bagi layanan yang disediakan.
2) Memastikan
bahwa kerahasiaan data yang dikirim lewat komputer dihancurkan setelah tidak
lagi dibutuhkan bagi layanan konseling
3) Memastikan
bahwa kerahasiaan data yang dikirim
lewat kkomputer akurat dan menyeluruh.
4) Memastikan
bahwa akses kepada data terbatas dan hanya untuk profesional yang tepat dengan
menggunakan program pengaman komuter yang terbaik.
5) Memastikan
bahwa mustahil bagi pihat-pihak yang tidak berkempetingan untuk
mengidentifikasi individu pemilik data rahasia yang dikirimkan lewat komputer
melalui sistem jaringan yang disediakan konselor.
6) Memastikan
bahwa format yang diisi partisipasi diterima oleh pihak-pihak yang berhak
meniali, membimbing atau yang melakukan konseling.
7) Memastikan perlengkapan dan program penskoran
tes terkontrol-komputer berungsi dengan tepat sehingga menyediakan bagi
individu hasil-hasil tes yang akurat.
8) Memastikan
bahwa interprestasi umum terhadap hasil
tes yang disajikan lewat peranti audiovisual terkontrol mikro-komputer secara
akurat mencerminkan tujuan pembuatan tes.
9) Memastikan
kebutuhan klien sudah dinilai untuk menentukan sistem mana yang tepat untuk
digunakan sebelum menggunakan sistem pengentasan, bimbingan atau konsleing yang
dibantu komputer.
10) Memastikan
bahwa pengenalan bagi penggunaan sistem pengentasan, bimbingan dan konseling
dibantu-komputer sudah tersedia untuk mengurangi kecemasan yang mungkin muncul
terkait sistem, kesalahpahaman tentang peran komputer, dan kesalahpahaman
tentang konsep dasar atau pengoprasian sistem
11) Memastikan
bahwa aktivitas tindak-lanjut yang menggunakan sistem pengentasan, bimbingan
dan konseling dibantu-komputer sudah tersedia untuk mengoreksi kesalahpahaman,
kesalahan konsep atau penggunaan tidak tepat lainnya ketika menilai kebutuhan
klien.
12) Memastikan
bahwa informasi yang terkandung di dalam konseling karier dibantu-komputer dan
sistem bimbingan yang akurat dan terbaru.
13) Memastikan
bahwa perlengkapan dan program yang mengoperasikan pengentasan,bimbingan
dan konseling yang dibantu komputer
berfungsi dengan benar.
14) Menentukan
kebutuhan intervensi konselor tergantung pada kemungkinan bahwa klien akan
mengalami sejumlah kesulitan yang pada gilirannya membatasi efektivitas sistem
atau sebaliknya, malah memperburuk problem klien. Menjadi tanggung jawab
konselor untuk menentukan apakah pendekatan terbaik yang bisa dilakukan untuk
menghindari problem, dan jika ini tetap terjadi, penyelesaian terbaik selalu
berupa intervensi langsung atau tidak langsung menyarankan klien membaca
buku-buku panduan, latihan tertentu atau kalau perlu lewat telepon dan tatap
muka.
Di tahun 1997, National Career Development Association (NCDA) mengesahkan NCDA Guidelines For The Internet For Provisiion
Of Career Information And Planning Services. Tentunya kita harus berharap
kalau perkembangan yang cepat di dalam teknologi komputer tidak mendorong
“pengabaian pertimbangan” pertimbangan-pertimbangan yang cermat terhadap
isu-isu etik yang terlibat. Konselor juga harus memiliki tanggung jawab etis
untuk menyadari dan berusaha memenuhi kompetensi konseling karir seperti yang
diidentifikasikan lewat NCDA. Kompetensi ini bisa dilihat dati wabesite NCDA
(w.w.w.ncda.org). ini semua sangat signifikan bagi spesialisasi konseling karir
atau yang deskripsi kerjaannya membutuhkan perhatian penting bagi kebutuhan
karier klien-kliennya.
2.
Informasi
Karier
NCDA
kemudian NVGA dalam Gladding (2012:405) mendefinisikan “informasi kerier
sebagai informasi yang berhubungan dengan dunia pekerjaan yang dapat berguna
dalam proses pengembangan karier, termasuk informasi pendidikan, jabatan, dan
psikososial yang berhubungan dengan pekerjaan , seperti, pelatihan yang
disediakan, sifat pekerjaan, dan status pekerjaan dalam berbagai
jabatan.”(Sears dalam Gladding, 2012:405). Istilah yang lebih moderen untuk
informasi karier adalah data karier yang artinya, “ sekumpulan fakta mengenai
peluang jabatan dan pendidikan” (Niles & Harris-Bowlsbey dalam Gladding,
2012:405). Data menjadi informasi hanya jika “ dipahami oleh klien dan
digunakan sebagai informasi dalam membuat keputusan, yaitu, membantu klien
memilih satu alternatif diantara
berbagai alternatif lainnya.
Seperti
telah didiskusikan pada bab sebelumnya, kata bimbingan biasanya berarti
aktivitas yang berhubungan secara primer dengan pendidikan. Bimbingan karier
mencakup semua aktivitas yang mencoba untuk menyebarkan informasi mengenai
jabatan masa kini atau masa depan, sehingga orang-orang menjadi lebih tahu dan
sadar mengenai siapa mereka dalam hubungannya dengan dunia pekerjaan. Aktivitas
bimbingan dapat berwujud:
a. Pameran
karier (mengundang para praktisi dari sejumlah bidang untuk menjalankan
tugas-tugas mereka).
b. Tugas
kepustakaan,
c. Wanwancara
lapan,
d. Informasi
pengalaman lewat komputer,
e. “Bayangan
“karier (mengikuti rutinitas pekerjaan sehari-hari seseorang).
f. Pengajaran
didaktik.
g. Latihan
pengalaman seperti bermain peran misalnya.
Bimbingan karir
penyebaran informasi karir secara tradisional digambarkan sebagai aktivitas
sekolah. Tetapi prosesnya lebih sering dilakukan diluar lingkungan kelas,
misalnya, di lembaga pemerintahan, industri, perpustakaan, dan rumah-rumah atau
dengan praktisi pribadi (Harris-Bowlsey dalam Gladding, 2012:405). Sejumlah sistem perencanaan karier berbasis komputer
(CBCPSs) dan sistem bimbingan karir yang dibantu komputer (CACGS) menawarkan
informasi karier dan membantu para individu untukmemilih nilai dan minat
mereka, atau mencari informasi pekerjaan. Salah satu kelebihan sistem
perencanaan dan bimbingan berbasis komputer dan dibantu komputer adalah,
aksesnya tersedia di banyak tempat dan dapat digunakan oleh orang-orang yang
berbeda lintas budaya dan usia.
3.
Menggunakan
Informasi Kerja
Pada
tahap proses konseling kerier ini, klien seharusnya sudah diinsyafkan dari
gagasan bahwa konselor karier adalah “mak jomblang,” artinya seseorang yang
akan mentranslasikan informasi tentang klien menjadi “jodoh karier” yang
sempurna, dan yang tahu seluruh hal-ilwal pekerjaan yang dimaksud (dengan semua
pekerjaan lainnya juga) (Nathan dan Hill, 2012:155). Akan tetapi, untuk membuat
keputusan tentang rangkaian tindakan yang akan ditempuh, klien benar-benar
membutuhkan informasi tentang berbagai opsi (misalnya, pendiidkan dan
pelatihan, opsi-opsi karir yang terkait, berbagai peluang pekerjaan,
jalur-jalur karier di dalam sebuah organisasi, alternatif untuk karir-karier
tradisional). Klien membutuhkan informasi tentang apa yang ingin dilakukannya,
(terkait minat, keribadian, dan nilai-nilai mereka) dan apa yang dapat
dilakukannya (dengan kapabilitas, keterampilan, dan kualifikasi mereka).
Informasi yang baik akan memungkinkan klien untuk mengakses dirinya sendiri
dalam kaitnya dengan berbagai macam pilihan.
Banyak
konselor karier merasa cemas tantang topik informasi pekerjaan. Hal ini dapat
dipahami: ada begitu banyak informasi pekerjaan yang membingungkan, dengan
beragam khualitas, diberbagai media, dan beraneka sumber. Dengan kemauan
terbaik di dunia, benar-benar tidak mungkin untuk mengikuti informasi tentang
semua kemungkinan karier. Aksesbilitas ke berbagai macam informasi di internet
jelas mempermudah tugas riset baik bagi klien maupun konselor karier. Akan
tetapi, tidak adanya kategorisasi berarti bahwa informasi semacam itu harus
didekati dengan kerangka-kerja dan fokus yang jelas, (Nathan dan Hill, 2012:156).
Konselor
karier seharusnya memiliki pengetahuan tentang bagaimana cara mengakses
informasi. Seperti layaknya seorang praktisi umum, kadang-kadang perlu untuk
merujuk klien ke” konsultan”, orang yang memiliki pengetahuan terperinci
tentang karier tertentu.
4.
Peran
Informasi
Menurut
Nathan dan Hill (2012:157) peran informasi sangat penting dan tepat guna
ketika:
a. Klien
perlu mempertimbangkan realisme ide-ide mereka, dalam kaitannya dengan
persyaratan masuk kerja (misalnya, apakah aku memenuhi syarat untuk berlatih
sebagai seorang pengacara?”).
b. Klien
merasa terkendala di dalam sebuah pekerjaan (sebagai contoh,” apa lagi yang
dapat dilakukan seorang guru selain mengajar?).”
c. Klien
memiliki ide-ide yang sempit dan ingin memeperluas cakrawalanya. (sebagai
contoh,” aku selalu bekerja dengan binatang-apalagi karier-karier yang ada?)”
d. Ide-ide
klien didikte oleh gagasan glamor atau romantis (misalnya, “seperti apa
sebenarnya bekerja di bidang industri perjalanan itu?”).
e. Klien
perlu mengembangkan keyakinan yang lebih besar tantang kecocokan sebuah
pekerjaan sebelum memulai perlatihan (misalnya,” apakah fisioterapi cocok
bagiku?)”
Membantu klien memepertimbangkan
informasi yang mungkin sudah dimiliki klien, dan informasi mana yang mungkin
bertindak sebagai penghalang untuk mempertimbangkan opsi-opsi lain. Latar
belakang sosial-ekonomi individu bisa menjadi salah satu determinan kunci dari
hal ini.
5.
Membantu
Klien Untuk Memunculkan Berbagai Opsi
Nathan
dan Hill (2012: 158) menjelaskan bahwa banyak klien yang membutuhkan dukungan
untuk memikirkan ide-ide yang “keluar dari kotak”. Kami menganggap sangat
berguna untuk memberi klien latihan sebagai kerangka-kerja untuk memunculkan
ide-ide awal sebelum sesi “curah pendapat” bersama. Klien didorong untuk
menggunakan “job statisfiers” mereka dengan merangkum berbagai latihan untuk
memfokuskan ide-ide mereka, tetapi tetap berpikir terbuka. Kami mendorong mereka
untuk “memerhatikan” pekerjaan yang dilakukan orang-orang sekitar mereka,
teman, tetangga, dan sispapun yang memiliki hubungan sehari-hari dengannya, dan
melihat beberapa wabesite yang direkomdasikan dan direktori karier yang tepat
guna. Kadang-kadang ada gunanya utnuk memberi klien sebuah klasifikasi karier, Seperti The Careers Library Classification
Index (CLCI) yang digunakan dalam perpustakaan-perpustakaan kerier dan
didalam direktori-direktori informasi pekerjaan. Yang lain adalah
kategori-kategori Holland dalam Nathan dan Hill, 2012: 159 (Holland, 1983) yang
sudah kami rujuk sebelumnya. Tema ini dapat memperluas ide-ide misalnya didalam
CLCI, dengan melihat “banking” (Perbankan) akan membawa klien dimana informasi
tentang karier-karier lain dibidang keuangan juga ditemukan.
Saran-saran
untuk memunculkan berbagai opsi tentang karier adalah:
a. Mengingat
kenangan-kenangan ambisi awal ,
b. Gambarkan
situasi pekerkjaan ideal anda dan setelah itu lihat apa yang akan
dipresentasikan,
c. Lingkari
ilkan, pekerjaan yang menarik.
d. Buat
daftar pekerjaan-pekerjaan setiap teman/saudara/tetangga yang anda kenal dan
pilih enam yang memiliki daya tarik tertentu.
e. Tandai
pekerjaan-pekerjaan yang menarik didalam indeks sebuah direktori karier.
f. Curah
pendapat ide-ide bersama seorang teman/rekan sejawat/ konselor karier.
g. Lihat
artikel-artikel didalam buku-buku referensi untuk semua ide yang sudah andan
miliki, pekerjaan memberikan daftar karier-karier sejenis, sebagai contoh,
seorang klien yang tertarik dengan arsitektur akan menemukan teknik sipil,
surveying, dan arsitektur lanskap disarankan disana.
h. Selama
seminggu, selama meonton televisi atau melihat orang-orang lain ditempat
kerjanya, catat pekerjaan-pekerjaan yang menarik bagi anda.
i.
Pertimbangkan
alternatif-alternatif kreaktif juga, misalnya wirausaha, franchising, pekerjaan
kerelawanan, menggabungkan dua pekerjaan atau paruh-waktu (misalnya mengajar
dan menulis).
6.
Informasi
yang Dibutuhkan oleh Konselor Karier
Konselor
karier seharusnya mengetahui tentang berbagai sumber informasi, dan paling
tidak memiliki sebuah pengetahuan umum tentang karier, misalnya tentang
berbagai bidang pekerjaan sebagai berikut sebagaimana yang dituliskan oleh
Nathan dan Hill (2012:160):
a. Angkatan
bersenjata,
b. Adminitrasi,
bisnis, klerikal, dan manajemen.
c. Seni,
kerajinan, dan desain.
d. Mengajar
dan kegiatan-kegiatan kultural,
e. Hiburan
dan kegiatan-kegiatan waktu luang,
f. Hospitality,
katering, dan jasa-jasa lainnya.
g. Pelayanan
kesehatan dan medis,
h. Pelayanan
sosial dan pelayanan-pelayanan terkait.
i.
Hukum dan pekerjaan
terkait,
j.
Jasa keamanan dan
perlindungan,
k. Keuangan
dan pekerjaan terkait,
l.
Pembelian, penjualan
dan jasa-jasa terkait.
m. Teknik,
n. Industri
manufaktur,
o. Jasa
kontruksi dan pertanahan,
p. Binatang,
tumbuhan dan lingkungan,
q. Transportasi.
7.
Sumber-Sumber
Informasi Non-Tertulis
Sumber
pekerjaan paling berharga adalah pengalaman kerja klien sendiri (yang mau tak
mau terbatas). Buku-buku referensi hanya memberikan informasi faktual, dan
bukan esensi riil pekerjaan. Informasi “psikososial” adalah informasi pekerjaan
yang memberikan tambahan bagi ide tentang seperti apakah pekerjaan itu
sebenarnyandibanding informasi yang ditemukan didalam buku-buku dan pamflet. Nathan
dan Hill (2012:162) menambahkan jenis-jenis pertanyaan yang biasanya tidak
disinggung di dalam buku-buku karier yaitu termasuk:
a. Bagaimana
pekerjaan yang sama berbeda didalam sebuah organisasi kecil, bukan didalam
sebuah organisasi besar. (contoh, seorang administrator perempuan yang
membutuhkan kekuasaan dan pengaruh menyadari bahwa ia akan lebih berkemungkinan
untuk mencapai itu didalam sebuah organisasi kecil).
b. Bagaimana
kecocokan budaya perusahaan atau karier dengan identitas individu yang
bersangkutan? (misalnya, seorang insiyur mesin gay merasa sangat nyaman di lingkungan yang “macho”).
c. Bagaimana
persyaratan suatu pekerjaan memengaruhi kedua pasangan disebuah hubungan
(misalnya, seorang petugas pemadam kebakaran menikahi seorang perempuan yang
tidak dapat menerima derajat resiko yang terlibat dalam pekerjaan suaminya).
d. Apa
saja pola-pola interaksi dengan orang lain? (misalnya, seorang sekertaris yang
dipromosikan keposisi manajer kantor yang menemukan bahwa pertemanannya dengan
orang-orang yang tidak menjadi teman sejawatnya lagi terpengaruh oleh itu).
e. Apa
gaya hidup pekerjaannya, dan apakah itu akan memungkinkan klien untuk memiliki
gaya hidup yang secara keseluruhan diinginkannya? (sebagai contoh,
pekerjaan-pekerjaan yang melibatkan kerja dimalam hari atau di akhir pekan
mungkin akan melibatkan berbagai kesulitan bagi seorang petesis kompetitif.)
Informasi ini lebih sulit untuk
ditemukan, hal ini lebih mungkin ditemukan didalam kepala orang lain. Ada
berbagai kompleksivitas karena pengalaman pekerjaan begitu bervariasi sehingga
banyak macam pola macam kebutuhan, kepribadian, dan preferensi gaya hidup dapat
dipenuhi. Sebagai contoh, didalam pekerjaan konselor, sebagian orang bekerja
sebagai salah satu anggota tim,yang lain bekerja sendiri, tanpa dukungan teman
sejawat, sebagian memiliki kontak yang relatif singkat atau superfisial dengan
banyak orang, sebagain memiliki hubungan jangka panjang intensif dengan
sejumlah kecil klien. Berukut ini adalah beberapa metode untuk mendapatkan
informasi psikososial:
a. Kunjungan,
observasi, work shadowing ,
pengalaman paruh waktu atau temporer.
b. Mewawancarai
seseorang disebuah pekerjaan.
c. Badan
profesi/ asosiasi perdagangan-sebagai contoh, the law society untuk informasi
tentang karier hukum.
d. Kontak-kontak
pribadi; orang tua, patner, saudara, teman sejawat, mantan teman sejawat, dan
teman (bersama kontak-kontak mereka) dapat menjadi sumber-sumber informasi
pekerjaan yang berharga. Secara umum, semakin jauh informasi diperoleh, “ dari
mulut kuda” (sumber informasi awal yang dapat dipercaya), semakin kurang
nerharga pula informasi itu.
8.
Informasi
Pekerjaan Sebagai Pedoman Bagi Konselor Karier
Nathan
dan Hill (2012:165) menjelaskan beberapa pedoman yang harus diperhatikan bagi
konselor karier terkait informasi pekerjaan yang diberikan kepada klien, yaitu:
a. Pastikan
bahwa klien memahami bahwa merekalah yang bertanggung jawab untuk melakukan
risetnya sendiri. Hal ini mestinya sudah dimulai tahap contracting. Riset bukan sebuah proses klinis-vital bahwa
klien”merasa memiliki” bagian prosesnya, tetapi juga tahu sumber daya apa yang
tersedia, dan bagaimana cara mengaksesnya.
b. Hindari
penggunaan sesi konseling karier sebagai sarana untuk memasok informasi kepada
klien. Ada bahaya mengacaukan kontraknya.
c. Tunjukan
kepada klien bagaimana cara menghasilkan sebuah daftar bagaimana kemungkinan
karier.
d. Bantu
klien menjawab pertanyaan, “informasi apa yang saya butuhkan ?” dan, “dimana
dan bagaimana saya bisa mendapatkan”?.
e. Arahkan
klien kesumber-sumber informasi formal dan tertulis yang cendrung tidak memihak
dan objektif, dan juga ke sumber-sumber lisan –informal bilamana mungkin.
f. Dorongan
dan ukungan yang kuat dari klien didalam proses meriset opsi-opsi karier secara
terperinci.
g. Bantu
klien untuk mengaitkan informasi pekerjaan seobjektif mungkin dengan
hasil-hasil konseling karier. Sebagai contoh, seorang klien sangat tertarik
menjadi pengacara, tetapi tidak terlalu pandai bicara dengan mencoba meyakinkan
sendiri bahwa dia pandai bicara ketika membaca bahwa inilah salah satu kualitas
yang dibutuhkan. Mungkin membantu untuk membantu memberikan beberapa pertanyaan
untuk diajukan ketika meriset. Sebagai contoh, “apa yang benar-benar cocok ayau
tampaknya cocok dengan diri saya?” dan dapatkah saya melihat diri saya sendiri
seperti ini?”dan, dapatkah saya melihat diri saya sendiri menjadi seperti
ini”?.
h. Bantuan
klien untuk mengevaluasi informasinya, dan peringatkan mereka tentang
ketidakakuran atau ketidaklengkapan sebagian informasi. Sebagai contoh,
kebanyakan informasi pekerjaan ditunjukkan kepada school leavers, dan persyaratan-persyaratan entrynya kemungkinan berbeda di dalam praktik untuk entrants yang usianya sudah matang.
i.
Dukung klien dalam
mengatasi reaksi-reaksi emosional mereka ketika mengumpulkan informasi.
Sebagian klien akan membutuuhkan dukungan lebih jauh ketika menemui kesulitan
atau kemunduran.
Meriset informasi pekerjaan dapat
menghasilkan insaights yang
mengejutkan begi seorang klien, dan menghasilkan revisi atas konsep dirinya.
9.
Informasi
Pasar Kerja
Pemerintah telah menyediakan informasi
pasar kerja secara online. Bagi orang-orang yang ingin menggunakan web-nya,
pemerintah mempublikasikan Labour Market Trends secara bulanan, dan ini dapat
diakss diperpustakaan-perpustakaan referensi. Untuk informasi lebih terperinci
(misalnya tentang tren-tren pekerjaan dibidang pekerjaan tertentu), kami
menyarankan untuk mendekati badan perwakilan untuk pekerjaan itu. Informasi
dari sumber-sumber ini mungkin lebih anecdotal,
tetapi juga akan lebih spesifik.
Informasi tentang tren pekerjaan dan lowongan pekerjaan berubah sangat cepat
dan tidak tersedia luas dalam buku referensi. Laporan sesekali dibuat, misalnya
oleh the Skills and Enterprise Network, tetapi informasi sebaiknya diperolah
dari sumber-sumber yang lebih efemeral (jangka-pendek) seperti artikel surat
kabar atau mewawancarai ahli, dan bukan dari buku-buku. Hal ini juga bisa
menyesatkan, tren tidak abadi, orang-orang yang memutuskan untuk mengikuti
pelatihan dibidang pekerjaan yang saat ini banyak lowongan mungkin menemukan
bahwa ketika mereka sudah qualified, bidang
pekerjaan itu sudah jenuh. Di samping itu, generalisai tentang sektor-sektor
yang sedang menurun tidak selalu berarti bahwa klien tertentu tidak akan
berhasil dalam melamar sebuah posisi di sektor itu. Jelas, kesuksesan akan
lebih mungkin jika klien sangat termotivasi, kompeten, memiliki keterampilan, job-hunting
yang baik, dan siap untuk relokasi,
(dalam Nathan dan Hill, 2012:167-168).
BAB 3
PEMBAHASAN
Implementasi Pemanfaatan Kuesioner dan Informasi Karier
(Kerja)
Kuesioner adalah instrumen bukan-standar yang sangat
populer dan banyak orang pernah menghadapinya. Kuesioner tampaknya sudah menjadi bagian utama gaya hidup
Amerika karena terus digunakan untuk mendata reaksi publik, mengumpulkan opini,
memprediksi kebutuhan, dan mengevaluasi berbagai komoditas, jasa dan aktivitas. Popularitasnya terkadang sanggup
menutupi pereduksian kuesioner sebagai instrumen pengumpulan data jika digunakan untuk kelompok masyarakat umum lantaran
penekanan biaya, namun dalam wilayah konseling, akurasinya
bisa tetap terjaga.
Di Indonesia sendiri terkait penggunaan kuesioner dan informasi kerja
dalam rangka bimbingan dan konseling karier sendiri sudah banyak dilaksanakan
termasuk dalam jalur pendidikan formal di sekolah maupun di luar jalur
pendidikan sekalipun. Contohnya sudah banyak guru BK di sekolah-sekolah yang
memanfaatkan kuesioner sebagai alat bantu dalam pemberian layanan BK termasuk
dalam hal mengumpulkan informasi atau data terkait klien/ siswa termasuk yang
berkenaan dengan kariernya. Ini semacam asesmen awal yang dilakukan untuk
nantinya ditindak lanjuti sebagaimana kondisi dan kebutuhan dari klien. Jumlah
siswa di sekolah yang banyak menjadi salah satu alasan mengapa guru BK sangat
memanfaatkan kuesioner karena memang merupakan solusi untuk mendapatkan data
dari responden dalam jumlah besar dengan tingkat efektifitas dan efisiensi waktu
dan tenaga yang lebih baik ditambah dengan sudah banyaknya teknologi untuk
mempermudah dalam mengolah data hasil kuesioner yang ada.
Informasi karier juga sudah
banyak diberikan oleh guru BK di sekolah kepada siswa-siswinya, khususnya untuk
yang sudah menginjak kelas atas atau mendekati masa kelulusan. Informasi yang
diberikan biasanya berupa pilihan Sekolah untuk studi lanjutan, pilihan beragam
Perguruan Tinggi atau peluang kerja khususnya bagi siswa SMK. Pemberian
informasi pun melalui beragam media, bisa berupa mading, pengumuman lisan
dengan dibantu media yang ada dan melalui beragam cara lainnya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa
kesadaran seseorang untuk mencari informasi karier yang dapat menunjang kariernya semakin meningkat dan hal tersebut
dibarengi dengan meningkatnya teknologi sumber informasi di era saat ini,
sehingga kemudahan untuk mengakses informasi karier sudah lebih tersedia.
BAB 4
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam pelaksanaan bimbingan dan konseling karier, beragam bentuk asesmen
sangat dibutuhkan termasuk penggunaan kuesioner dan informasi kerja. Kuesioner
(angket) dalam BK Karier berupa kumpulan sejumlah pertanyaan/ pernyataan yang
harus dijawab dengan benar, jujur dan tepat oleh responden yang bersangkutan
terkait kebutuhan akan data yang berkenaan dengan karier responden untuk
selanjutnya diproses dan dianalisis data tersebut guna memasuki langkah
selanjutnya dalam proses BK karier yang dilakukan oleh konselor.
Informasi karier (kerja) sudah banyak jenis dan sumbernya yang dapat
diakses dengan mudah oleh konselor maupun secara mandiri oleh klien dengan
arahan atau bimbingan yang tepat oleh konselor, agar klien memperoleh manfaat
dari informasi tersebut guna menunjang karier yang akan atau sedang dijalani
olehnya.
.
B. Saran
1.
Bagi
calon konselor, pendidik konselor maupun konselor sekolah/ Guru BK yang telah
menjalankan profesi BK di lapangan diharapkan juga memahami terkait pentingnya pemanfaatan
kuesioner dan informasi kerja dalam praktek bimbingan dan konseling karier karena
dalam praktek kerjanya tidak dipungkiri akan menangani konseli dengan jumlah
besar yang memerlukan penanganan yang tepat guna menunjang kariernya yang lebih
baik di masa depan, sehingga segala bentuk media atau alat bantu yang dapat
menunjang pelaksanaan BK Karier harus dpat dipahami dan dimanfaatkan dengan
sebaik mungkin.
2.
Bagi
masyarakat luas diharapkan mampu memanfaatkan
informasi karier (kerja) yang tersedia dengan sebaik mungkin dengan tetap
meminta bimbingan dari ahlinya.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian: Suatu
Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Barrett, Jim. 2006. Career Aptitude and Selection Tests. London and Philadelphia: Kogan
Page.
Gibson, RL & Mitchell, MH. 2011. Bimbingan dan Konseling
(Introduction to Counseling and Guidance). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gladding, ST. 2012. Konseling: Profesi yang Menyeluruh (Edisi Keenam). Jakarta: Indeks.
Nathan, R & Hill, L . 2012. Konseling Karier (Career Counselling). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
nafi ahmed write
Subscribe to:
Posts (Atom)